SYEKH SITI JENAR DAN ISLAMISASI DI JAWA



Islamisasi Jawa

A. Latar Belakang

Perkembangan islamisasi di Indonesia khususnya di daerah Jawa diwarnai dengan adanya tokoh kontroversial yaitu syekh Jabaranta atau lebih dikenal dengan nama syekh Siti Jenar. Beliau berasal dari Cirebon, ayahnya seorang raja pendeta bernama Resi bungsu. Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Ali Hasan alias Syekh Abdul Jalil penganut kebatinan atau kejawen.

Syekh Siti Jenar sebagai salah satu wali yang mendapat tugas dari dewan walisongo, beliau diserahi tugas untuk mengajar sasahidan yaitu belajar syahadat dan tauhid, tetapi belakangan ajaran beliau lebih mengarah ke ilmu hakekat yang kemudian mengabaikan syari’at sehingga Walisongo menilai hal itu bukan konsumsi orang yang awam dengan ajaran Islam.

Dalam waktu dekat beliau mempunyai pengikut yang tidak sedikit, karena waktu itu masa perubahan dari agama lama ke Islam tidak berjalan mulus begitu saja. Karena kekuatan reformasi islam dipimpin oleh walisongo dan sultan Demak, maka masyarakat luas tidak berani menentang secara terang terangan. Tetapi setelah ada pemimpin yang secara terbuka berani menentang arus reformasi, maka masa yang masih belum mau dengan ajaran islam merasa memperoleh panutan, sehingga dengan senang hati mereka masuk kebarisan syekh Siti Jenar. Mereka yang tidak mau menerima ajaran islam secara utuh seperti ajaran rasulullah karena mereka menganggap ajaran itu bercampur dengan adat istiadat arab, maka mereka menerima islam seperti yang diajarkan oleh syekh Siti Jenar, di sisi lain mereka yan menerima dan meyakini ajaran islam sebagai suatu sistem nilai yang utuh seperti diajarkan oleh rasulullah SAW dan berpendapat bahwa mengamalkan islam seperti ajaran syekh Siti Jenar tersebut mengandung resiko tidak diakui sebagai umat Muhammad oleh rasulullah SAW. Adanya kedua kutub ekstrim di atas disebabkan kadar keyakinan masing-masing terhadap ajaran islam.

Oleh karena itu kiranya sangat urgen untuk sedikit membahas permasalahan syekh Siti Jenar agar umat islam di zaman modern ini mendapat sedikit informasi yang jelas dan cerah sehingga tidak banyak diskursus pemahaman. Sesuai dengan tujuan penulisan tersebut maka pembahasan tentang syekh Siti Jenar ini difokuskan pada dua hal penting, yaitu asal usul, ajaran, posisi syekh Siti Jenar dalam islamisasi kususnya di Jawa dan beberapa informasi lain yang mendukung kedua pokok masalah tersebut.



B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas dapat diambil rumusan masalah, yaitu:

1. Bagaimana asal ususl Syekh Siti Jenar?

2. Bagaimana ajaran Syekh Siti Jenar?

3. Bagaimana Peran Syekh Siti Jenar dalam Islamisasi khususnya di Jawa?



C. Tujuan Masalah

Dari rumusan masalah diatas dapat ditarik kesimpulan bahwasanya tujuan masala, yaitu:

1. Untuk mengetahui asal usul Syekh Siti Jenar.

2. Untuk mengetahui ajaran Syekh Siti Jenar.

3. Untuk mengetahui peran Syekh Siti Jenar dalam islamisasi di Jawa.



BAB II

PEMBAHASAN



A. Asal Usul Syekh Siti Jenar

Sebenarnya asal usul Syekh Siti Jenar sampai sekarang masih belum jelas, belum ada sumber yang dianggap sahih. Dari beberapa informasi, nama Syekh Siti Jenar kadang-kadang disebut Syekh Siti Brit atau Syekh Lemah Abang. Dalam bahasa Jawa, Jenar berarti kuning, sedang brit berasal dari abrit artinya merah, sama seperti abang yang juga berarti merah.

Menurut salah satu pendapat, Syekh Siti Jenar yang juga bernama Syekh Abdul Jalil atau Syekh Jabaranta itu adalah putra Syekh Datuk Sholeh. Nenek moyang Syekh Siti Jenar adalah Syekh Abdul Malik yang menikah dengan anak penguasa setempat, lalu diberi nama Asamat Khan, dari perkawinan itu beliau mempunyai beberapa anak,diantaranya bernama Abdullah Khanuddin atau Maulana Abdullah.

Kemudian Maulana Abdullah mempunyai beberapa anak, dua diantaranya adalah Ahmadsyah Jalaluddin atau Jainal Abidin Al-Kabir dan Syekh Kadir Kaelani. Setelah dewasa, Achmadsyah pindah ke kamboja dan menjadi penyiar agama islam disana. Syekh Kadir Kaelani sendiri mempunyai anak bernama Syekh Maulana Isa yang bermukim di Malaka. Syekh Maulana Isa mempunyai dua orang anak, yaitu Syekh Datuk Achmad dan Syekh Datuk Sholeh.

Menurut pendapat yang lain, Abdul Munir Mulkhan mengatakan bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari daerah Cirebon. Ayahnya seorang raja pendeta bernama Resi Bungsu. Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Ali Hasan alias Syekh Abdul Jalil. Suatu ketika ayah Syekh Siti Jenar marah lalu anaknya itu disihir menjadi cacing dan dibuang ke sungai. Pada waktu itu sunan Mbonang sedang mengajar ilmu luhur di atas perahu kepada murid-muridnya, termasuk sunan Kalijogo, perahu yang ditumpanginya bocor lalu ditambal dengan tanah. Ternyata didalam tanah itu terdapat cacing jelmaan syekh Siti Jenar tersebut. Karena sunan Mbonang tahu ada seseorang nguping, maka cacing tersebut lalu dirubah menjadi manusia kembali seperti wujudnya semula dan diberi nama Siti Jenar.

Tetapi pada halaman yang berbeda terdapat cerita yang berbeda, yaitu setelah perahu tidak bocor, maka sunan Mbonang melanjutkan wejangannya. Karena kecerdasan Syekh Siti Jenar mampu menyerap ajaran sunan Mbonang tersebut. Namun karena tidak lengkap, atau karena tidak mendapat perkenan dari gurunya, maka Syekh Siti Jenar menjadi sombong dan menyebarkan ajaran sesat. Beliau mengajarkan agama islam menurut pandanganya sendiri. Bahkan Syekh Siti Jenar menganggap dirinya sebagai dzat Allah, dan memandang budi serta kesadaran manusia sebagai tuhan itu sendiri. Menurut Syekh Siti Jenar, sifat Allah yang 20 terkonsentrasi melekat dalam budi manusia yang dapat bersifat kekal dan abadi dalam kodrat dan irodatnya. Inilah yang oleh Syekh Siti Jenar dinamakan ilmu Sejati.

Menurut pendapat yang lainya, Widji Saksono mengatakan bahwa Syekh Siti Jenar merupakan keturunan nabi Muhammad Saw melalui jalur Siti Fatimah, Imam husen, Said Jenal Ngabidin, Muhammad Bakir, Datuk Ngisa Tuwu yang tinggal di Malaka, Syekh Datuk Salek, kemudian Syekh Lemah Abang. Rinkes menganggap bahwa informasi ini merupakan sesuatu yang menggelikan, ia justru lebih tertarik untuk memperhatikan tulisan tangan R Ng Ronggowarsito, yang menganggap Syekh Siti Jenar adalah putra dari sunan Gunungjati yang demikian besar minat dan tekunnya mengaji berbagai ilmu keislaman, terutama mistik. Syekh Siti Jenar berguru kepada sunan Ampel, dan saking cintanya beliau tidak mau menikah. Selesai belajar di Ampeldenta beliau menetap di Kediri. Dr. H Kraemer menamakan Syekh Siti Jenar sebagai Al-Hallaj Jawa, yang menurut para wali kesalahanya bukan langsung terletak pada ajaranya, melainkan pada kenyataan bahwa Syekh Siti Jenar miak wirana (membuka rahasia tertinggi yang sesungguhnya, dan hanya boleh disampaikan kepada orang-orang khawwas).

Pendapat semacam itu memang diyakini oleh banyak tokoh dan penulis, padahal bukankah ajaran islam yang benar boleh diajarkan kepada siapa saja dan kapan saja?. Hanya ajaran Islam yang menyimpang yang memilah-milah siapa yang boleh menerimanya dan siapa yang belum boleh menerimanya. Uka tjandrasasmita termasuk yang mempunyai pendapat itu, ia mengatakan bahwa untuk murid yang sudah dianggap mampu menerima, di pesantren juga diajarkan ilmu tasawuf. Lebih lanjut diterangkan bahwa tasawuf merupakan salah satu faktor yang penting perananya dalam perkembangan Islam di Indonesia. Islam dengan warna tasawuf di Indonesia terutama terjadi sejak abad ke 15-18 M.

Satu pendapat lagi di dalam Serat Siti Jenar karya Ki Panji Notoroto mengatakan bahwa Syekh Siti Jenar adalah keturunan elit hindu-Budha dari Jawa Barat (Cirebon). Asal-usul Syekh Siti Jenar ini ada pula yang mengkaitkan bahwa orang tua Syekh Siti Jenar adalah keturunan penguasa di daerah Jawa yang sedang runtuh. Runtuhya penguasa tersebut barangkali oleh kekuatan baru, yaitu Islam.

Sampai disini ada empat versi asal usul Syekh Siti Jenar. Pertama, bernama Syekh Abdul Jalil atau Syekh Jabaranta itu adalah putra Syekh Datuk Sholeh. Kedua, Syekh Siti Jenar berasal dari daerah Cirebon. Ayahnya seorang raja pendeta bernama Resi Bungsu. Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Ali Hasan alias Syekh Abdul Jalil. Ketiga, Syekh Siti Jenar merupakan keturunan nabi Muhammad Saw melalui jalur Siti Fatimah, Imam husen, Said Jenal Ngabidin, Muhammad Bakir, Datuk Ngisa Tuwu yang tinggal di Malaka, Syekh Datuk Salek, kemudian Syekh Lemah Abang. Keempat, Syekh Siti Jenar adalah putra dari sunan Gunungjati yang demikian besar minat dan tekunnya mengaji berbagai ilmu keislaman, terutama mistik

Dan versi mana yang benar sulit untuk ditetapkan. Versi satu dengan yang lain sangat jauh berbeda, hampir-hampir tidak ada kemiripannya sama sekali. Dan nampaknya penulis-penulis hanya membiarkan kesimpang siuran itu, sehingga masalah Syekh Siti Jenar tetap menjadi misteri. Olek karena itu terserah kita mengambil yang mana sesuai dengan pemahaman dan kepercayaan masing-masing.



B. Ajaran-Ajaran Syekh Siti Jenar

Menurut Walisana, Syekh Siti Jenar adalah San Ali Ansor, yaitu seorang ahli sihir yang tidak diterima berguru kepada sunan Giri karena sang guru khawatir ilmunya akan diselewengkan.

Disisi lain Gatra dalam bukunya mengatakan bahwa Syekh Siti Jenar pada awalnya adalah bagian dari walisongo. Oleh dewan walisongo, Syekh Siti Jenar diserahi tugas untuk mengajar sasahidan, yaitu belajar syahadat dan tauhid. Tetapi belakangan ajaran Syekh Siti jenar lebih mengarah ke ilmu hakikat yang kemudian mengabaikan syari’at sehingga walisongo menilai hal itu bukan konsumsi orang yang awam dengan ajaran islam. Di daerah miskin dan terbelakang yang masyarakatnya baru saja meninggalkan agama Hindu dan terlepas dari kekangan aturan kasta, ajaran pembebasan seperti itu sangat menarik. Itulah sebabnya mengapa di daerah tertentu ajaran Syekh Siti Jenar cepat berkembang dari pada ajaran walisongo.

Ada kemungkinan, bahwa bergabungnya mereka dengan aliran Syekh Siti Jenar itu bukan karena landasan keyakinan agama, melainkan karena alasan politik stategis. Karena hal serupa pernah terjadi sekitat tahun 1965-1968, ketika para penganut faham komunis di Indonesia ketakutan dengan reformasi orde baru yang membubarkan partai komunis itu lalu menggabungkan diri dengan kelompok non Islam apa saja karena sebelumnya PKI sangat bermusuhan dengan golongan Islam.

Kepada siapa saja Syekh Siti Jenar menggali ilmu, beritanya sangat simpang siur. Mungkin Syekh Siti Jenar pernah berguru kepada Vendanta Budhisme, mungkin pula pada seorang guru Syi’ah Bathiniyah, bahkan mungkin dari mazhab Zindiq. Dalam kitab Walisana disebutkan bahwa Syekh Siti Jenar pernah berguru pada sunan Giri secara mencuri-curi, karena beliau dianggap memiliki ilmu sihir, dengan alasan ditakutkan kalau ajaran Islam disalah gunakan untuk meningkatkan ilmu sihir yang telah dimiliki oleh beliau.

Salah satu ajaranya yang dianggap aneh ialah tentang hidup dan mati, tentang tuhan dan manusia, serta kewajiban memenuhi rukun Islam. Syari’at yang dikenakan bagi orang hidup, tidak berlaku bagi orang yang mati. Padahal, Syekh Siti Jenar berpendapat bahwa semua orang di dunia ini adalah mati, dan kehidupan yang sesungguhnya baru dimulai setelah orang meninggalkan dunia. Orang-orang yang nampaknya hidup di dunia ini tak lain adalah bangkai-bangkai yang terdiri atas tulang dan daging yang kelak akan ditinggalkan.

Sebelumya, agar pembahasan lebih sistematis, maka dipisahkan antara inti ajaran dan pandangan Syekh Siti Jenar terhadap syari’at Islam. Kedua hal itu sebenarnya memang sangat erat hubunganya. Dengan pemisahan itu diharapkan pembahasan selanjutnya lebih terfokus.



a. Inti ajaran Syekh Siti Jenar

Dengan pendirian serta keyakinan kepada murid-muridnya, beliau mengajarkan lima tahap ilmu, yaitu:

1. tentang asal-usul manusia.

2. masalah yang berkaitan dengan pintu kehidupan.

3. tempat manusia hidup kekal dan abadi.

4. tempat alam kematian yang sekarang sedang dialami.

5. tentang adanya Yang Maha Luhur yang menciptakan bumi dan angkasa.

Para murid yang kebanyakan orang awam menerima dengan mentah-mentah, berlaku seperti orang kehilangan akal, sikapnya angkuh bahwa ia adalah orang pilihan sebagai murid beliau. Seperti gurunya mereka merasa bahwa hidup di dunia adalah siksaan maka tindakanya menunjukkan sebagai orang yang tidak betah hidup

Setelah menerima lima langkah ilmu tersebut, banyak murid Syekh Siti Jenar yang memilih mengakhiri kematian di dunia ini dengan cara bunuh diri atau berbuat onar agar mereka terbunuh. Murid-murid Syekh Siti Jenar merasa tidak tahan lagi berada di dunia yang selalu mengalami kesulitan, penderitaan dan kesengsaraan. Mereka merasa bosan dan muak melihat bangkai-bangkai berserakan dan berkeliaran ke mana-mana.

Bagi beliau hidup di dunia ini adalah mati yang disitu terdapat baik buruk, sakit dan enak, mujur dan celaka, surga dan dunia. Bahagia dan sempurna campur menjadi satu. Dengan adanya peraturan, maka manusia terbebani sejak lahir. Oleh karena itu, ajaran Syekh Siti Jenar sangat menekankan pada upaya mencari hidup yang abadi agar tahan mengalami hidup dunia itu. Beliau selalu mengajarkan bagaimana cara mencari moksa. Hidup ini mati karena mati adalah hidup yang sesungguhnya, karena manusia bebas dari segala derita.

Beliau memandang kehidupan di dunia ini sebagai kematian yang singgah di dalam raganya. Inilah yang membuat manusia tersesat di dalam neraka. Oleh karena itu Syekh Siti Jenar ingin segera mengakhiri kematianya di dunia dan menempuh kehidupan yang abadi.

Pandangan seperti ini ditolak oleh orang-orang yang tingkatanya masih syari’at, dengan rasionalisasi, Allah Swt memang beberapa kali bersabda dalam Al-Qur’an, bahwa setelah seseorang meninggal dunia, dia akan hidup kekal di alam lain. Misalnya surat Al-Baqoroh ayat 154 yang berbunyi:

Artinya:“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.”

Yang dimaksud hidup disini adalah hidup dalam alam yang lain yang bukan alam kita ini, di mana mereka mendapat kenikmatan-kenikmatan di sisi Allah, dan Hanya Allah sajalah yang mengetahui bagaimana keadaan hidup itu.

Dari ayat ini sama sekali tidak tersirat bahwa hidup di dunia itu sia-sia. Mereka telah berjihad dan rela mati karena Allah, kemudian setelah itu mereka hidup di alam akherat dengan menikmati jerih payahnya selama berjuang di alam dunia. Jadi jelas disini bahwa hidup di dunia dan akherat merupakan rangkaian yang saling berkaitan.

Selain itu dalam surat Adz-Dzariat ayat 56 mengatakan:



Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”

Jadi kalau beliau memandang kehidupan di dunia itu sebagai kematian, lalu orang hidup dianggap sebagai bangkai yang genthayangan, itu jelas penafsiran yang keliru atau penafsiran yang tidak berdasarkan ajaran al-Qur’an. Hidup di dunia hanya sementara waktu, paribahasanya “hanya mampir ngombe”, tetapi bukan berarti yang hanya sebentar itu tidak penting. Namun bukan berarti kita harus mencela ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar, memang kelihatannya lain dari pada yang lain tapi kalau dipikir secara mendalam semua perbedaan tidak ada yang salah karena memiliki dasar-dasar sendiri.

Dari sisi lain, Widji Saksono berpendapat bahwa faham Syekh Siti Jenar merupakan bibit Zindik, yaitu gerakan politik yang menentang atau melemahkan gerakan Islam yang dipimpin oleh walisongo. Pada waktu itu Zindiq merupakan gerakan politik yang datang dari kaum atheis, hindu, budha atau gerakan lain yang tidak rela melihat majapahit jatuh. Sikap ingin mempertahankan nilai-nilai Hidhu-Budha pada ajaran Syekh Siti Jenar maupun murid-muridnya dapat dilihat dari langgam pangkur yang dikutib Dr Rinkes sebagai berikut:





Kang kapindo aja sira, ngrusak barang tinggalan barang dingin, kaya rontal sastrayu, tulis-tulis neng sela, kayu watu patilasan, ywa kelebur, wharuhanira bangsa jawa, budine tan bisa enting. Kang kaping tri mbok menawa, kowe rujuk buangen masjid iki, sirnakna serana latu, sun owel turunanira, nora wurung tembe kanut mendem kulhu, edan kedanan mring Allah, nganggit-anggit nora panggih.



Ungkapan diatas sangat jelas menunjukkan keberatan dan kekhawatiran Syekh Siti Jenar akan hilangnya tradisi agama Hindhu-Budha yang akan diganti dengan agama Islam. Pada awal abad ke-16 rasa khawatir tersebut sudah memuncak, karena kekuasaan kerajaan Hindhu Majapahit telah digantikan oleh kerajaan Islam Demak Bintara. Begitu sengitnya sikap Syekh Siti Jenar demi menyaksikan meningkatnya perkembangan Islam, sampai-sampai dia ingin menggerakkan masyarakat untuk membakar masjid yang sudah mulai berdiri di mana-mana.

Yang paling unik dari ajaran beliau adalah cara dan kemampuanya dalam memilih mati. Dalam serat Syekh Siti Jenar disebutkan bahwa cara mati Syekh Siti Jenar dengan murid-muridnya membuat para wali terkejut. Namun boleh jadi hal itu hanya merupakan simbolik dengan pesan tertentu. Boleh jadi juga hal itu merupakan siasat walisongo dan raja Demak untuk menghindari tanggung jawab sebagai penyebab kematian mereka. Atau itu sekedar simbol dari para pembangkang untuk tidak mau kehilangan muka dan bukti bahwa mereka tetap tak terkalahkan.

Jika Al-hallaj mati dipancung kepalanya, Syekh Siti Jenar memilih sendiri cara matinya. Akan tetapi cara mati beliaupun penuh dengan kontrofersi. Dalam kaitan dengan kematianya, hal ini apa benar beliau memang mati dihukum pancung atau hanya mengelabui walisongo. Setelah ia matipun ada cerita aneh bahwa mayatnya berubah menjadi anjing kudisan, yang menurut cerita kejadian ini dilakukan oleh walisongo untuk meyakinkan kepada masyarakat akan kesesatan Syekh Siti Jenar.

Dilihat dari segi akhlak, beliau dianggap menyimpang dari akidah akhlak pada umumnya. Menurut Zoetmulder, praktik yang dijalankan murid-murid beliau, antara lain:

1. Lebe Lontang

2. Seks bebas

3. Cabul

Sesuai dengan diatas, pandangan Syekh Siti Jenar terhadap seks sangatlah bebas, tidak ada haram-halal, boleh sesukanya mengadakan hubungan intim meskipun bukan suami-istri. Padahal di antara agama Al Kitab, sudah jelas Islamlah yang paling ketat dalam mengatur hubungan pria-wanita. Hanya ajaran Islam yang mengenal istilah aurat dalam hal berpakaian, juga istilah mukhrim yang antara lain mengatur pergaulan.

Namun salah satu pendapat mengatakan bahwa beliau adalah wali yang terkenal setelah sunan Kalijogo, sehinggga delapan wali kecuali sunan Kalijogo kalah denganya.

Ada pula yang berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar hanya nama simbolik yang dipergunakan walisongo untuk melambangkan sifat-sifat tercela yang harus dijauhi oleh setiap muslim. Jadi kisah-kisah disekitar kematian beliau yang aneh-aneh itu hanya untuk membentuk opini masyarakat Islam agar tidak mudah terpengaruh oleh ajaran-ajaran yang berbeda dengan Al-qur’an.

Melihat bahwa dalam pelbagai serat dan babat, nama Syekh Siti Jenar disebut dan disertai dengan nama muridnya secara jelas, secara hipotesis bisa dikatakan bahwa jenar bukan tokoh fiktif. Perselisihan dikalangan para ahli tentang Siti Jenar sebagai tokoh fiktif atau bukan pada hemat penulis disebabkan perbedaan antara yang termuat pada peninggalan yang ada.

Sedangkan dibidang politik, ketundukan mutlak hanya taat kepada Allah yang dijadikan oleh pengikut Syekh Siti Jenar untuk membangkanng kekuasaan Demak Bintara.pandangan ini menjadi dasar para elit keturunan majapahit yang yang berada diluar istana demak untuk mendukung ajaran Syekh Siti Jenar, misalnya Ki Ageng Pengging. Jadi isu Syekh Siti Jenar sebenarnya hanya dijadikan motivator untuk untuk menggerakkan masyarakat yang masih mencintai kerajaan Majapahit menentang kerajaan Demak Bintara.

Jadi ajaran syekh siti jenar yang paling kontroversial terkait dengan konsepnya tentang hidup dan mati, tuhan dan kebebasan, serta tempat berlakunya syariat tersebut. Beliau memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai kematian. sebaliknya, yaitu apa yang disebut umum sebagai kematian justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi.

Konsekuensinya, ia tidak dapat dikenai hukum yang bersifat keduniawian (hukum negara dan lainnnya), tidak termasuk didalamnya hukum syariat peribadatan sebagaimana ketentuan syariah. dan menurut ulama pada masa itu yang memahami inti ajaran siti jenar bahwa manusia di dunia ini tidak harus memenuhi rukun islam yang lima, yaitu: syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. baginya, syariah itu baru berlaku sesudah manusia menjalani kehidupan paska kematian. syekh siti jenar juga berpendapat bahwa ALLAH itu ada dalam dirinya, yaitu di dalam budi. pemahaman inilah yang dipropagandakan oleh para ulama pada masa itu. mirip dengan konsep Al-Hallaj (tokoh sufi islam yang dihukum mati pada awal sejarah perkembangan islam sekitar abad ke-9 masehi) tentang hulul yang berkaitan dengan kesamaan sifat manusia dan tuhan. dimana pemahaman ketauhidan harus dilewati melalui 4 tahapan ;

1. syariat (dengan menjalankan hukum-hukum agama spt sholat, zakat dll).

2. tarekat, dengan melakukan amalan-amalan spt wirid, dzikir dalam waktu dan hitungan tertentu

3. hakekat, dimana hakekat dari manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan.

4. ma'rifat, kecintaan kepada allah dengan makna seluas-luasnya.

Bukan berarti bahwa setelah memasuki tahapan-tahapan tersebut maka tahapan dibawahnya ditiadakan. pemahaman inilah yang kurang bisa dimengerti oleh para ulama pada masa itu tentang ilmu tasawuf yang disampaikan oleh syekh siti jenar. ilmu yang baru bisa dipahami setelah melewati ratusan tahun pasca wafatnya sang syekh. para ulama mengkhawatirkan adanya kesalahpahaman dalam menerima ajaran yang disampaikan oleh syekh siti jenar kepada masyarakat awam dimana pada masa itu ajaran islam yang harus disampaikan adalah pada tingkatan 'syariat'. sedangkan ajaran siti jenar sudah memasuki tahap 'hakekat' dan bahkan 'ma'rifat'kepada allah (kecintaan dan pengetahuan yang mendalam kepada allah). oleh karenanya, ajaran yang disampaikan oleh siti jenar hanya dapat dibendung dengan kata 'sesat'.

Dalam pupuhnya, syekh siti jenar merasa malu apabila harus berdebat masalah agama. alasannya sederhana, yaitu dalam agama apapun, setiap pemeluk sebenarnya menyembah zat yang maha kuasa. hanya saja masing - masing menyembah dengan menyebut nama yang berbeda - beda dan menjalankan ajaran dengan cara yang belum tentu sama. oleh karena itu, masing - masing pemeluk tidak perlu saling berdebat untuk mendapat pengakuan bahwa agamanya yang paling benar.

Syekh siti jenar juga mengajarkan agar seseorang dapat lebih mengutamakan prinsip ikhlas dalam menjalankan ibadah. orang yang beribadah dengan mengharapkan surga atau pahala berarti belum bisa disebut ikhlas.

Seperti ajaranya yang sering dikenal dengan manunggaling kawula gusti

dalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat bahwa syekh siti jenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai tuhan. manunggaling kawula gusti dianggap bukan berarti bercampurnya tuhan dengan makhluknya, melainkan bahwa sang pencipta adalah tempat kembali semua makhluk. dan dengan kembali kepada tuhannya, manusia telah menjadi sangat dekat dengan tuhannya.







Dalam ajarannya, 'manunggaling kawula gusti' adalah bahwa di dalam diri manusia terdapat ruh yang berasal dari ruh tuhan sesuai dengan ayat al qur'an shaad: 71-72 yang menerangkan tentang penciptaan manusia.

                   

Artinya: ketika tuhanmu berfirman kepada malaikat: "sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah. maka apabila telah kusempurnakan kejadiannya dan kutiupkan kepadanya roh ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya.”

Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh tuhan dikala penyembahan terhadap tuhan terjadi.

Manunggaling Kawulo Gusti (Bersatunya Tuhan dan Manusia) adalah ajaran yang sangat kontroversial sampai saat ini. Banyak yang mengatakan kalau Syekh siti Jenar mengaku sebagai Tuhan dengan ajarannya itu. Tetapi kini banyak ditulis oleh penulis muda muslim yang tegas menolak pencitraan yang sudah sekian ratus tahun diyakini tersebut.

Dari sebuah karya sastra benama pupuh dimana Syekh Siti Jenar mendokumentasikan pendapat dan pandangannya tentang agama Islam, banyak yang berpendapat ajaran Syekh siti Jenar ternyata memiliki kesamaan dengan pandanga islam modern yang berkembang saat ini.

Tuhan ada dimana-mana, disetiap jengkal tanah dan setiap detakan jantung manusia. Tuhan ada di dalam hati dan otak manusia adalah inti ajaran manunggaling kawulo gusti itu sebenarnya.

Perbedaan penafsiran ayat al qur'an dari para murid syekh siti inilah yang menimbulkan polemik bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam ruh tuhan, yaitu polemik paham 'manunggaling kawula gusti'.


b. Pandangan Syekh Siti Jenar terhadap syariat Islam

Kaum sufi di dalam Islam mengenal empat tingkatan dalam ibadah yaitu, syariat, tarekat, hakekat dan ma’rifat. Kelompok sufi sudah ada sejak rasulullah masih hidup dan berkembang pesat setelah beliu wafat. Seiring dengan perkembanga itu, maka di versifikasi mulai terjadi adanya aliran sufi yang mengutamakan hakekat dan ma’rifat saja. Kelompok ini cenderung mengabaikan syari’at karena hal itu dianggap sebagai ritual yang bersifat riton dan diperuntukkan bagi mereka yang kurang cerdas dalam berhubungan langsung dengan allah Swt.

Mari kita coba bandingkan dengan empat pengklasifikasian Al-Ghazali yang membagi keimanan manusia menjadi empat tingkat, yaitu:

1. para nabi, paling tinggi dan dekat dengan Allah Swt, mendapat ilmu dari wahyu.

2. Para wali, ahli tasawuf yang telah makrifat kepada Allah, sebagai insan kamil selapis dibawah tingkat nabi, mendapat ilmu dari penghayatan mistik.

3. Para ulama’, mendapat ilmu dengan cara belajar.

4. Orang awam, mendapat ilmu dengan jalan taqlid.

Syekh Siti Jenar seolah-olah menghubungkan empat tingkatan cara beribadah denga empat tingkatan keimanan menurut al-Ghazali. Disini beliau menganggap bahwa syariat hanya diperlukan oleh orang awam, tarekat oleh ulama, sedang para wali dan nabi hanya memerlukan hakekat dan ma’rifat. Merasa wali atau bahkan nabi beliau tidak merasa perlu untuk melakukan syariat.

Sementara itu secara megejek Syek Siti Jenar menyatakan bahwa ritual formal yang diatur syariat hanya penting dan berguna bagi mereka yang belum mengenal tuhan dan ajaranya. Kualitas iman para walisongo menurut beliau, baru pada tataran rendahan. Jadi Syekh Siti Jenar menganggap rendah kualitas Islam dan iman para Walisongo, kemudian menganggap Walisongo sedang mabuk kekuasaan dan duniawi.



Kembali kepada masalah syariat, para pengikutnya mengatakan bahwa beliau tidak mau mengajari sholat, karena orang yang mengerjakan sholat karena budhinya yang memerintahkan. Sedang budhi itu bisa menjadi laknat dan mencelakakan, tidak dapat dipercaya dan diturit perintahnya berubah-ubah. Menurutnya, pada waktu sholat, budhinya dapat mencuri, pada waktu dzikir budhinya melepaskan hati, menaruh hati kepada yang lain, bahkan kadang menginginkan keduniaan yang lebih. Hal ini berbeda dengan dzat Allah yang ada pada dirinya. Kerana itu tidak perlu mengucapkan syahadat, sholat dan puasa. Zakat dan haji dipandang omong kosong, sebagai kedurjanaan budindan penipuan terhadap sesama manusia. Karena itu hanya orang-orang dungu dan tidak tau saja yang mau mengikuti ajaran para wali.

Sedang menurut orang syariat pernyataan-pernyataan tersebut tudak masuk akal, karena kalau demikian berarti semua orang adalah tuhan, tentang kedurjanaan zakat dan haji, apakah beliau sudah menjalankannya? Padahal pada umumnya orang yang sudah melakukan zakat dan haji memberikan dampak yang positif. Bisa jadi pernyataan beliau tadi hanya merupakan ekspresi kekecewaan terhadap Islam, iri dengki terhadap ketenaran walisongo. Seperti seorang pendeta yang menantang Sunan Mbonang, Begawan Mintosemeru dari gunung Lawu yang menantang Sunan Giri, dan Ki Ageng Kedu yang menantang Sunan Kudus.

Tapi kita tidak boleh berburuk sangka, semua itu hanya statemen untuk menguatkan pendapat masing-masing, yang pasti Walisongo ataupun Syekh Siti Jenar adalah tokoh-tokoh hebat yang mampu membuat manusia untuk berfikir, karena tanpa adanya mereka sejarah tidak akan menjadi kontrofersi dan menarik untuk dibahas di era modern ini.

Sebenarnya inti ajaran Syekh Siti Jenar sama dgn ajaran sufi ‘Abdul Qadir al-Jilani (w.1165), Ibnu ‘Arabi (560/1165-638-1240), Ma’ruf al-Karkhi, dan al-Jili. Hanya saja ketiga tokoh tsb mengalami nasib yg baik dalam artian, ajarannya tidak dipolitisasi, sehingga dalam kehidupannya di dunia tidak pernah mengalami intimidasi dan kekerasan sebagai korban politik dan menemui akhir hayat secara biasa.

C. Peran Syekh Siti Jenar dalam Islamisasi khususnya di Jawa

Peran tasawuf dalam islamisasi di tanah air terutama di Jawa menarik untuk dicermati. Eksesnya bukan saja terkait dengan persoalan “tata krama” hubungannya dengan tuhan, tapi juga persoalan sosial-kemasyarakatan, bahkan masalah politik. Proses pembentukannya pun sedikit banyak beradaptasi dengan kehidupan spiritual sekitar awal datangnya islam, yakni tradisi hindu dan budha.

Kejawen (bahasa Jawa: Kejawan) adalah sebuah kepercayaan atau mungkin boleh dikatakan agama yang terutama dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa. Agama Kejawen sebenarnya adalah nama sebuah kelompok kepercayaan-kepercayaan yang mirip satu sama lain dan bukan sebuah agama yang terorganisir seperti agama Islam atau agama Kristen. Ciri khas utama agama Kejawen ialah adanya perpaduan antara animisme, agama Hindu dan Buddha. Namun pengaruh agama Islam dan juga Kristen nampak pula. Kepercayaan ini merupakan sebuah kepercayaan sinkretisme. Seorang ahli antropologi Amerika Serikat, Clifford Geertz pernah menulis tentang agama ini dalam bukunya yang ternama The Religion of Java. Olehnya Kejawen disebut “Agami Jawi”.

Dari pernyataan ini perlu kita tinjau Islamisasi di Jawa tidak akan berjalan, keran dalam menjalankan satu misi, apalagi misi yang sangat berat, yaitu mengislamkan penduduk Jawa, dianggap perlu bahkan sangat perlu untuk mengetahui kondisi dan sosial masyarakat pada saat itu, kalau memang penduduk Jawa pada saat itu masih memiliki kepercayaan sinkretisme, didalam membahas Islamisasi di Jawa kita tidak akan pernah lepas dari Walisongo dan Syekh Siti Jenar sang tokoh kontroversial sekaligus legendaris dalam sejarah Islam di Jawa, karena “pembangkangan tasawuf”-nya, kejawennya serta mitos kesaktian yang dimilikinya. Syekh Siti Jenar dianggap menyimpang dari ajaran Islam oleh Wali Songo ini. Kemudian, ditunjukkan bagaimana Siti Jenar menerapkan ajarannya itu dan akhirnya tidak bisa tidak bertemu dengan kekuatan ulama paling dominan, yakni Wali Songo. Sudah jelas bahwa pada saat itu, peran ulama yang terorganisir dalam Wali Songo mengambil ruang paling besar dalam legitimasi agama. Kehadiran Siti Jenar dengan ajarannya yang jauh berbeda dari “kebenaran” yang digariskan Wali Songo menjadi ganjalan besar, baik untuk penyebarluasan Islam maupun pengaruh politik Wali Songo sendiri.

Seperti isu Syekh Siti Jenar yang merupakan gerakan politik, hal ini nampak pada karya Dr A. Johns, Dr DA Rinkes, dan Dr Hoesen Djaja Diningrat. Dr. A. Jhons menyatakan bahwa sebagai akibat surutnya kerajaan Majapahit, ada hasrat yang muncul dari masyarakat untuk mengganti kedudukan kerajaan itu. Hasrat tersebut bermanifestasi melalui berbagai bentuk dan gerakan politik, antara lain berpusat di Demak di bawah kepimpinanan walisongo. Ada pula gerakan yang berpusat di pengging dan panggung di bawah kepemimpinan pangeran Handayaningrat dan putera-puteranya. Kedua wilayah itu, pengging dan panggung, mengalami pengislaman sekitar tahun 1490-1550 berkat dakwah Syekh Siti Jenar. Oleh karena itu pengaruh Syekh Siti Jenar di kedua wilayah tersebut sangat besar.

Beliau memang menjadi tokoh yang memiliki andil besar dalam islamisasi di jawa, hal ini bisa kita tinjau dari murid-muridnya antara lain Ki Ageng Tingkir, pangeran Panggung, Ki lontang Semarang, dan sebagainya, yang mana kesemuaanya adalah tokoh-tokoh penting dalam masyarakat. Dalam hal ini beliau menggunakan pendekatan teratas untuk mencapai keinginanya, yaitu dengan cara melobi tokoh-tokohnya sehingga masyarakat yang dibawah turut mengikuti pemimpin-pemimpin mereka.

Selain itu Syekh Siti Jenar orang yang pertama kali mengusung gagasan al-Hallaj dan terutama al-Jili ke Jawa. Sementara itu para wali anggota Dewan Wali menyebarluaskan ajaran Islam syar’i madzhabi yg ketat. Sebagian memang mengajarkan tasawuf, namun tasawuf tarekati, yg kebanyakkan beralur pada paham Imam Ghazali. Sayangnya, Syekh Siti Jenar tidak banyak menuliskan ajaran-ajarannya karena kesibukannya menyebarkan gagasan melalui lisan ke berbagai pelosok Tanah Jawa. Dalam catatan sastra suluk Jawa hanya ada 3 kitab karya Syekh Siti Jenar; Talmisan, Musakhaf (al-Mukasysyaf) dan Balal Mubarak.

Masyarakat yg dibangunnya nanti dikenal sebagai komunitas Lemah Abang. Dari sekian banyak kitab sufi yg dibaca dan dipahaminya, yg paling berkesan pada Syekh Siti Jenar adalah kitab Haqiqat al-Haqa’iq, al-Manazil al-Alahiyah dan al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhiri wa al-Awamil (Manusia Sempurna dalam Pengetahuan tenatang sesuatu yg pertama dan terakhir). Ketiga kitab tersebut, semuanya adalah puncak dari ulama sufi Syekh ‘Abdul Karim

al-Jili.

Terutama kitab al-Insan al-Kamil, Syekh Siti Jenar kelak sekembalinya ke Jawa menyebarkan ajaran dan pandangan mengenai ilmu sangkan-paran sebagai titik pangkal paham kemanuggalannya. Konsep-konsep pamor, jumbuh dan manunggal dalam teologi-sufi Syekh Siti Jenar dipengaruhi oleh paham-paham puncak mistik al-Hallaj dan al-Jili, disamping itu karena proses pencarian spiritualnya yg memiliki ujung pemahaman yg mirip dengan secara praktis ‘amali-al-Hallaj; dan secara filosofis mirip dgn al-Jili dan Ibnu ‘Arabi.

Syekh Siti Jenar menilai bahwa ungkapan-ungkapan yg digunakan al-Jili sangat sederhana, lugas, gampang dipahami namun tetap mendalam. Yang terpenting, memiliki banyak kemiripan dengan pengalaman rohani yg sudah dilewatkannya, serta yg akan ditempuhnya. Pada akhirnya nanti, sekembalinya ke Tanah Jawa, pengaruh ketiga kitab itu akan nampak nyata, dalam berbagai ungkapan mistik, ajaran serta khotbah-khotbahnya, yang banyak memunculkan guncangan-guncangan keagamaan dan politik di Jawa.

Itulah Syekh Siti Jenar (juga dikenal dalam banyak nama lain, antara lain Sitibrit, Lemahbang, dan Lemah Abang) seorang tokoh yang dianggap Sufi dan juga salah satu penyebar agama Islam di pulau Jawa yang sangat kontroversial di Jawa, Indonesia. Tidak ada yang mengetahui secara pasti asal-usulnya, di masyarakat, terdapat banyak varian cerita mengenai asal-usul Syekh Siti Jenar. Jadi Percaya atau tidak, dialah tokoh yang istimewa yang mampu membuat sejarah menjadi hidup dan layak diperbincangkan oleh para ilmuan muda.



BAB III

KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwasanya:

1. Asal usul Syekh Siti Jenar ada empat versi, yaitu: Pertama, bernama Syekh Abdul Jalil atau Syekh Jabaranta itu adalah putra Syekh Datuk Sholeh. Kedua, Syekh Siti Jenar berasal dari daerah Cirebon. Ayahnya seorang raja pendeta bernama Resi Bungsu. Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Ali Hasan alias Syekh Abdul Jalil. Ketiga, Syekh Siti Jenar merupakan keturunan nabi Muhammad Saw melalui jalur Siti Fatimah, Imam husen, Said Jenal Ngabidin, Muhammad Bakir, Datuk Ngisa Tuwu yang tinggal di Malaka, Syekh Datuk Salek, kemudian Syekh Lemah Abang. Keempat, Syekh Siti Jenar adalah putra dari sunan Gunungjati yang demikian besar minat dan tekunnya mengaji berbagai ilmu keislaman, terutama mistik.

2. Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling terkenal adalah Manunggaling Kawulo Gusti.

3. Peran Syekh Siti Jenar terhadap Islamisasi di Jawa dapat dilihat secara jelas di daerah Pengging dan Panggung.





DAFTAR PUSTAKA

Gatra. Majalah. Walisongo, Syiar Panjang Tanpa Pedang. 2001. Gatra. Edisi Khusus.

HTTP://WWW.INDONESIA.FAITHFREEDOM.ORG/FORUM/VIEWTOPIC.PHP?T=88

http://id.wikipedia.org/wiki/Kejawen

Mulkhan, Abdul Munir. Syekh Siti Jenar, Pergumulan Islam Jawa. 1999. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Rachimsyah. Biografi dan Legenda Walisanga. 1997. Surabaya: Penerbit Indah.

Saksono, Widji. Mengislamkan Tanah Jawa; Telaah atas Metode Dakwah Walisongo. Bandung: Mizan.

Simon, Hasanu. Misteri Syekh Siti Jenar, 2005. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Sofwan, Ririn. Wasit, Mundiri, Islamisasi di Jawa, 2000. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tjandrasasmita, Uka. Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia. 2000. Yogyakarta: Menara Kudus.
logoblog
Previous
« Prev Post