PEMIKIRAN KONSEP PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF IBNU KHALDUN DAN PAULO FREIRE


PEMIKIRAN KONSEP PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF IBNU KHALDUN DAN PAULO FREIRE
A. Latar Belakang

Seorang pakar filsafat pendidikan, sebagaimana dikutip Muhaimin dalam bukunya Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, mengatakan bahwa tugas filsafat pendidikan Islam adalah menyelidiki suatu persoalan metafisika, epistemologi, etika, logika, estetika, maupun kombinasi dari semuanya.

Dalam kaitannya dengan pemikiran Ibnu Khaldun mengenai pendidikan dapat dikatakan bahwa pemikiran yang lahir pada pertengahan abad XIV telah mengakomodir ide-ide pendidikan yang masih aktual sampai hari ini. Hal itu sebagaimana dikatakan Ibnu Khaldun pada bab IV dari Muqaddimahnya, Bahwa:

Ilmu pendidikan bukan sebagai suatu aktifitas yang semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan, yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ia merupakan gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan kebudayaan.



Seiring dengan statemen di atas terbukti bahwa banyak tokoh pemikir yang lahir pasca ibnu khaldun, salah satunya adalah pemikiran intelektual paulo freire yang lahir pada abad ke-20 awal ini banyak mengeluarkan pemikiran-pemikiran pendidikan yang radikal, revolusioner dan kontradiktif. karena telah melawan terhadap pendidikan masa lalu yang dianggap tidak relevan. Sebagaimana di katakan paulo fraire bahwa:

Di dalam proses kehidupan di dunia, manusia merupakan makhluk yang dinamis yang senantiasa berkembang sejalan dengan perjalanan kehidupan itu sendiri. Begitu juga dengan pendidikan, ia tidak terlepas dari manusia dan terus melekat dalam kehidupan manusia di dunia ini, dari masa ke masa.



Hal ini semua menunjukkan bahwa ilmu pendidikan akan berkembang sesuai dengan semanagat zamannya Sehingga sejak manusia menghendaki perkembangan dan kemajuan, maka sejak itu timbul ide untuk melakukan pengalihan, pewarisan, pelestarian dan pengembangan kebudayaan melalui pendidikan.

Dengan demikian pendidikan merupakan sebuah keniscayaan dalam sebuah masyarakat manusia, dan ia akan selalu berkembang sesuai perkembangan dan kemajuan peradaban manusia. Yang menjadi permasalahanya sekarang, apakah di dalam dunia pendidikan perlu adanya integrasi antara pemikiran-pemikiran barat dan Islam? Padahal kita sebagai orang Islam telah memiliki literatur yang akurat dan sangat terpercaya, masihkah kita membutuhkan pemikiran barat yang notebenenya adalah non Islam, namun kita tidak boleh menafikan bahwasanya pemikiran barat juga relevan untuk digunakan namun tidak semuanya, oleh karena itu mari kita mengambil hal-hal yang positif dan kita tinggalkan hal-hal yang sekiranya merugikan, seperti pemikiran dua tokoh yang telah dijelaskan diatas. Mereka berkeyakinan pendidikan sesungguhnya tidak pernah mengenal batas usia, tempat dan waktu, sebab sepanjang kehidupannya pada hakekatnya manusia akan selalu berpikir, berkreasi serta tujuan-tujuan hidup yang akan dicapai dengan cara-cara itu atau metode tertentu. Selain itu pemikiran-pemikiran meraka banyak memberikan kontribusi terhadap pendidikan Islam disadari atau tidak.

Berangkat dari uraian tersebut di atas, tulisan ini akan mencoba mendiskripsikan pandangan, ide-ide Ibnu Khaldun dan Paulo freire tentang pendidikan secara implisit.



B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pemikiran pendidikan dalam persprktif Islam (Ibnu Kaldhun)?

2. Bagaimana pemikiran pendidikan dalam perspektif Barat (Paulo Freire)?



C. Tujuan Masalah

Dari rumusan masalah diatas dapat diambil tujuan masalahnya yaitu untuk mengetahui bagaimana pemikirann pendidikan dalam perspektif Islam dan Barat.

BAB II

PEMBAHASAN



A. Pemikiran Konsep Pendidikan Ibnu Khaldun

1. Riwayat Ibnu Khaldun

Nama lengkap Ibnu Khaldun yaitu Abdu al-Rahman ibn Muhamad ibn Muhamad ibn Muhamad ibn al-Hasan ibn Jabir ibn Muhamad ibn Ibrahim ibn Khalid ibn Utsman ibn Hani ibn Khattab ibn Kuraib ibn Ma`dikarib ibn al-Harits ibn Wail ibn Hujar, atau lebih dikenal dengan sebutan Abdur Rahman Abu Zayd Muhamad ibnu Khaldun. Ia dilahirkan pada 7 Mei 1332 di Tunisia.

Ibnu Khaldun menisbatkan nama dirinya kepada Khalid Ibn utsman karena Khalid adalah nenek moyangnya yang pertama kali memasuki Andalusia bersama para penakluk berkebangsaan Arab lainnya pada abad ke-8 masehi. Ibnu Khaldun adalah seorang yang memiliki prestasi yang gemilang, beliau sangat mahir dalam menyerap segala pelajaran yang diterimanya. Sejak masa kanak-kanak ia sudah terbiasa dengan filsafat, ilmu alam, seni dan kesusastraan yang dengan mudahnya ia padukan dengan bidang kenegaraan, perjalanan dan pengalamannya. Hal inilah salah satu pendorong kemunculan karya fenomenalnya Muqaddama Al Alamat (pengantar fenomenologis) yang lebih dikenal dengan sebutan Muqaddimah (prolegomena) saja.

Pada tahun 1352 Ibnu Kahldun berkelana ke Barat dan menetap di Fez. kemudian beliau pergi ke timur menuju Iskandariah dan Kairo. Disana beliau bertemu dengan Mamluk Sultan Al Zhahir Barquq yang menunjuknya menjadi guru besar fiqh mazhab Maliki dan hakim agung Mesir. Menjelang akhir hayatnya pada 1401, Ibnu Khaldun bertemu dengan Timurlane di luar garis perbatasan Damaskus. Penakluk Mongol tersebut menyambut ilmuwan ini dengan antusias dan mengemukakan minatnya untuk mengangkat Ibnu Khaldun sebagai pejabat pemerintahannya. Ibnu Khaldun sendiri kemudian lebih memilih untuk kembali ke Kairo dan melanjutkan pekerjaanya sebagai qadhi dan penulis hingga akhir hayatnya. Pada tahun 1808 h tanggal 26 ramadhan (16 maret 1406) ibnu khaldun wafat , dia dikebumikan di kawasan pemakaman orang sufi di kairo.

2. Pandangan Ibnu Khaldun Tentang Pendidikan

Menurut Ibnu Khaldun dalam awal pembahasannya pada bab empat dari Muqaddimahnya, dia menyatakan bahwa ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas yang semat-mata bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ilmu dan pendidikan merupakan gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan kebudayaan. Menurutnya bahwa ilmu dan pendidikan tidak lain merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani.

Di dalam kitab Muqaddimahnya Ibnu Khaldun tidak memberikan definisi pendidikan secara jelas, ia hanya memberikan gambaran-gambaran secara umum, seperti dikatakan Ibnu Khaldun bahwa:

Barangsiapa tidak terdidik oleh orang tuanya, maka akan terdidik oleh zaman, maksudnya barangsiapa tidak memperoleh tatakrama yang dibutuhkan sehubungan pergaulan bersama melalui orang tua mereka yang mencakup guru-guru dan para sesepuh, dan tidak mempelajari hal itu dari mereka, maka ia akan mempelajarinya dengan bantuan alam, dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang zaman, zaman akan mengajarkannya.



Penjelasan di atas menunjukkan bahwa pendidikan menurut ibnu khaldun adalah suatu proses belajar mengajar, di mana manusia secara sadar menangkap, menyerap, dan menghayati peristiwa-peristiwa alam sepanjang zaman. Ahmad safi’I ma’arif dalam bukunyanya memberikan penjelasan bahwa pendidikan ibnu khaldun adalah pendidikan nilai-nilai tinggi atau budi pekerti yang luhur, dan bersifat intelektual dan religius. Menurut Hamdani Ikhsan, ibnu khaldun memiliki pemikiran dan pandangan yang luas mengenai aspek-aspek pendidikan, dalam arti bukan hanya memperlihatkan aspek intelelektual semata-mata, tetapi juga akhlak, keimanan, sosial, jasmaniah, dan sebagainya.

Dari uraian d Pada tahun 1808 h tanggal 26 ramadhan (16 maret 1406) ibnu khaldun wafat , di atas, pendidikan menurut ibnu khaldun adalah proses yang bertujuan untuk mengembangkan potensi (fitrah) serta terwujudnya kemampuan manusia melaksanakan tugas-tugas keduniaan dengan baik demi tercapainya kebahagiaan dunia dan akhirat.

3. Pandangan Ibnu Khaldun Tentang Dasar dan Tujuan Pendidikan

Dasar atau sumber yang dijadikan pijakan pendidikan ibnu khaldun sama dengan dasar pendidikan Islam, yakni Al-Qur'an, As-Sunnah, dilengkapi dengan Atsar para sahabat Nabi serta tidak melupakan epistemologinya.

Dalam hal tujuan pendidikan pandangan ibnu khaldun berpijak pada konsep dan pendekatan filosofis empiris, melalui pendekatan ini, memberikan arah terhadap tujuan pendidikan secara ideal dan praktis. Meski ia tidak menghususkan sebuah bab atau penbahasan mengenai tujuan pendidikan, namun dari uraiannya memberikan kesimpulan terhadap arah tujuan pendidikan yang di inginkan. Menurutnya paling tidak ada tiga tingkatan tujuan yang hendak dicapai dalam proses pendidikan, yaitu: pertama pengembangan kemahiran (al-malakah atau skill) dalam bidang tertentu, orang awam yang bisa memiliki pemahaman yang sama tentang suatu persoalan dengan seorang ilmuan, beliau berkata:

“ pemahaman akan satu masalah yang termasuk bagian disiplin ilmu yang tunggal, bisa diperoleh sama bagus hasilnya bagi siswa baru, orang awam maupun serjana yang pandai”

Akan tetapi, potensi malakah tidak bisa dimiliki oleh setiap orang, kecuali setelah ia benar-benar memahami dan mendalami satu disiplin tertentu. Dalam hal ini, para pakar, (ilmuan khawas) yang memiliki malakah secara sempurna. Sementara untuk sampai pada saat ini, diperlukan pendidikan yang sistematis dan mendalam.Tujuan pendidikan ibnu khaldun ini adalah untuk memperoleh lapangan pekerjaan dan memperoleh rizki.

Kedua, penguasaan keterampilan profesional sesuai dengan tuntutan zaman (link and match) pendidikan yang hendak dicapai dapat diartikan sebagai upaya mempertahankan dan memajukanperadaban secara keseluruhan, seperti yang dikatakan ibnu khaldun:

“……kemudian pikiran sangat berhasrat untuk memperoleh pengetahuan yang dimilikinya. Dia kembali kepada orang yang lebih dahulu memiliki ilmu dari padanya, atau orang yang mempunyai kelebihan ilmu pengetahuan dan pemahaman, dan atau mengambil ajaran yang disampaikan oleh para nabi yang mendahuluinya, kemudian dia mempelajari ajaran tersebut dan mengamalkan ilmu dari mereka.”

Sari sini dapat dipahami, bahwa fitrah manusia mampu menangkap, menelaah dan mengkaji ilmu pengetahuan itu sampai memahami dan melekat dalam ingatannya. pada akhirnya akan membemtuk kebudayaan dan dilanjutkan dengan terbentuknya peradaban baru.

Ketiga: pembinaan cara berfikir yang baik, kemampuan berfikir merupakan garis pembeda antara manusia dengan binatang. melaluai pengembangan akal, akan dapat membimbing peserta didik untuk menciptakan hubungan kerja sama sosial, guna mewujudkan kesejahteraan hidup didunia dan akhirat. Maka keberadaan pendidikan merupakan bagian integral dari konstruksi sebuah peradaban. Seperti yang dikatakan ibnu khaldun:sesungguhnya manusia sama dengan seluruh hewan dalam hal-hal hewaninya, seperti indra, gerak, kebutuhan akan makanan dan tempat tinggal, dan lain sebagainya, akan tetapi manusia berbeda dengan seluruh hewan itu pikiran yang menunjukinya untuk memperoleh penghidupan, saling menolong sesama jenisnya, sosialisasi yang disediakan untuk saling menolong itu, serta menerima dan saling mengamalkan apa yang dibawa nabi dari allah taala.

Dari perkataan ibnu khaldun diatas, dapat ditafsirkan bahwa tujuan pendidikan adalah memberikan kesempatan kepada pikiran untuk bekerja, kerena aktivitas ini sangat penting bagi terbukanya pikiran, kematangan individu dan vaidah bagi masyarakat. Proses pembinaan pemikiran merupakan upaya mulia, karena berhubungan debgan penyebaran ilmu pengetahuan. Upaya tersebut merupakan salah satu tugas manusia sebagai khalifah fi al-ardh.

4. Pandangan Ibnu Khaldun tentang Pendidik

Menurut ibnu khaldun pendidik adalah orang yang berusaha membimbing, meningkatkan, menyempurnakan agar mempunyai ilmu, keterampilan dan menyucikan hati sehingga mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Ada beberapa hal yang dianjurkan ibnu khaldun terhadap peserta didik, antara lain:

a) Guru harus profesional. Ibnu khaldun berpendapat bahwa proses belajar mengajar membutuhkan suatu malakah (bakat/profesionalisme). Ibnu khaldun berkata:

“Malakah adalah suatu penguasaan utuh yang sudah sedemikian menyatu dalam kompetensi seorang pakar/ahli. Semua malakah membutuhkan proses belajar, sehingga wajar bila kemudian para guru yang pakar di tuju banyak orang untuk keperluan belajar”

Menurutnya dalam mencapai pengetahuan yang bermacam-macam itu seseorang tidak hanya membutuhkan ketekunan, tetapi juga bakat, termasuk seorang guru harus memiliki bakat ( profesionalisme). Karena berhasilnya suatu ke ahlian dalam satu bidang ilmu atau disiplin memerlukan bakat dan pengajaran.

b) Guru harus tau perkembangan psikologis psikologis peserta didik dan kemampuan dan daya serap peserta didik.

Disini ada dua maksud yang terkandung dalam pernyataan beliau di atas.

1). Guru harus tahu perkembangan psikologis peserta didik.

Seorang pendidik atau guru hendaknya memiliki pengetahuan yang mkemedai tentang perkembangan psikologis peserta didik. Pengethuan ini akan sangat membantunya untuk mengenal individu peserta didik dan mempermudah dalam melaksanakan proses belajar mengajar.



2). Guru harus tahu kemampuan dan daya serap peserta didik.

Pendidik hendaknya mengetahui kemempuan dan daya serap peserta didik. Kemamapuan ini akan bermamfaat untuk menetapkan materi pendidikan yang sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik.

5. Pandangan Ibnu Khaldun tentang Peserta didik

Peserta didik adalah anak yang sedang tumbuh dan berkembang baik secara fisik dan psikologis untuk mencapai tujuan pendidikan. Ibnu khaldun mengatakan bahwa pada dasarnya setiap anak didik dilahirkan dengan membawa potensi yang seimbang, dia jadi jahat karena pengaruh lingkungannya dan juga menjadi baik karena pengaruh lingkungannya. Namun demikian, Ibnu khaldun juga tidak menafikan adanya potensi bawaan yang juga berpretensi bagi pembentukan anak didik. Dan pendidikan merupakan media paling efektif dalam membentuk dan mengembangkan kepribadian serta ketrampilan anak.

Ada beberapa hal yang dianjurkan ibnu khaldun terhadap peserta didik, antara lain:

a). peserta didik jangan menggantungkan diri pada teks diktat kesimpulan-kesimpulan dari suatu ilmu pengetahuan.

Ibnu khaldun menganjurkan supaya peserta didik tidak boleh menggantungkan diri pada teks dan diktat-diktat, karena melemahkan akal pikiran, dan mengacaukan sistem berfikir serta membuang-buang waktu Belajar murid.

Ibnu khaldun ingin agar peserta didik yang belajar atau menunutut ilmu itu luas pemahamannya dan pengetahuannya serta memiliki malakah (keterampilan). Sebagaimana ibnu khaldun berkata:

“sesungguhnya kemumpunian dalam ilmu dan pemahaman mendalam terhadapnya hanya bisa dicapai dengan penguasaan penuh / profesionalitas (malakah) prinsip-prinsip dasar, rumus-rumus dan seluk-beluk problematikan ilmu terkait. Sebelum hal ini di kuasai, maka kemumpunian dan pemahaman mendalam pun tidak terjadi”

Dari pernyataan ini, bisa di ungkap bahwaseorang peserta didik bila ingin mempumyai profesionalitas maka tidak bolehmenggantungkan pada buku teks (teori), tapi juga harus praktek.

b). peserta didik harus sering berdiskusi dan berdebat.

Sistem diskusi atau berdebat merupakan suatu ke istimewaan dalam pendidikan. Sebagaimana ibnu khaldun berkata:

“Jalan yang termudah di kerjakan ialah menggunakan lidah untuk berdiskusi dan berdebat dalam masalah-masalah ilmiah, inilah jalan untuk mendekatkan kepada apa yang di kehendaki dan mencapai apa yang dituju. Kita perhatikan setelah umur mereka habis di bangku pelajaran, diam tidak berkutik dan tidak mengadakan perundingan-perundingan. Perhatian mereka kepada menghafal ilmu, melebihi dari kebutuhan, maka mereka tidak berhasil memamfaatkan daya kemampuan dalam ilmu dan dibidang pendidikan.”

Dari pernyataan di atas menurut pendapat ibnu khaldun diskusi dibidang masalah-masalah ilmiah membantu untuk memahami ilmu dan menguraikannya.

c). peserta didik harus belajar sendiri.

Para peserta didik memiliki kemerdekaan luas untuk memilih mata pelajaran, memilih guru yang dia sukai dan menghadiri kuliah-kuliahyang diberikan oleh gurunya tersebut. Sebagaimana beliau berkata:

Sebabnya ialah bahwa manusia memperoleh ilmu dan ahklak serta mazhab-mazhab yang mereka sukai, kadang-kadang dengan belajar menmgajar dan berpidato, kadang-kadang dengan bercerita dan pendidikan secara langsung. Tetapi mendapatkan ilmu secara langsung dan secara bertahap-tahap adalah lebih mendalam, maka sesuai dengan banyaknya guru yang didatangi semakin mantaplah ilmu yang ia miliki.

Pernyataan diatas memberikan amanah kepada peserta didik agar membaca sendidiri-sendiri bahan-bahan pelajaran, mencari ilmu sendiri yang di inginkan dari beberapa guru, mempersiapkan pelajaran sebelum diajarkandan mengajukan pertanyaan-pertanyaan.

6. Pandangan Ibnu Khaldun tentang Metode Pendidikan

Metode pentahapan dan pengulangan (tadaruj wat tiraari )

Menurut ibnu kholdun pendidikan pada anak-anak atau remaja hendaknya didasarkan atas prinsip tahap pengetahuan bersifat keseluruan(total), bertahap, dan baru terperinci, sehingga anak dapat menerima dan memahami permasalahan pada tiap bagian dari ilmu yang diajarkan, lalu guru menjelaskan dan uraian-uraian sesuai tingkat kemampuan dan kesiapan menerima apa yang diajarkan.

Kemudian guru mengulangi ilmu yang diajarkan itu agar anak lebih memahami melalui uraian dan pembuktian yang jelas,kemudian diulangi sekali lagi pelajaran tersebut sehingga tidak ada bagian-bagian yang diragukan. Sebagamana yang dikatakan Ibnu kholdun:

“Sebaiknya seorang guru memulainya dengan memberikan gambaran umum tentang mata pelajaran yang akan diberikan, dimana dirumuskan pokok-pokok isinya dan menghindarkan sedapat mungkin sedetail-detail mungkin(soal-soal kecil)yang tidak mudah dimengerti oleh siswa pada permulaan pelajaran.dalam hal ini diperhatikan otak para peserta didik dan kesiap sedianaya dalam menerima apa yang diberikan”.



Pengulangan secara bertingkat ini, sangat besar faedahnya dalam upaya Menjelaskan dan memantapkan ilmu dalam jiwa anak serta memperkuat dan memantapkan ilmu kedalam jiwa anak.alasan mengulang beberapa kali (tiga kali) adalah kesiapan anak memahami ilmu pengetahuan berlangsung bertahap.

Selain dari itu Pandangan Ibnu Khaldun tentang metode pendidikan merupakan bagian dari pembahasan pada buku Muqaddimahnya. Sebagaimana kita ketahui dalam sejarah pendidikan Islam dapat kita simak bahwa dalam berbagai kondisi dan situasi yang berbeda, telah diterapkan metode pendidikan. Dan metode yang dipergunakan bukan hanya metode mengajar bagi pendidik, melainkan juga metode belajar yang harus digunakan oleh anak didik. Hal ini sebagaimana telah dibahas Ibnu Khaldun dalam buku Muqaddimahnya.

Disamping itu Ibnu Khaldun juga menyebutkan keutamaan metode diskusi, karena dengan metode ini anak didik telah terlibat dalam mendidik dirinya sendiri dan mengasah otak, melatih untuk berbicara, disamping mereka mempunyai kebebasan berfikir dan percaya diri. Atau dengan kata lain metode ini dapat membuat anak didik berfikir reflektif dan inovatif. Lain halnya dengan metode hafalan, yang menurutnya metode ini membuat anak didik kurang mendapatkan pemahaman yang benar.

Disamping metode yang sudah disebut di atas Ibnu Khaldun juga menganjurkan metode peragaan, karena dengan metode ini proses belajar mengajar akan lebih efektif dan materi pelajaran akan lebih cepat ditangkap anak didik. Satu hal yang menunjukkan kematangan berfikir Ibnu Khaldun, adalah prinsipnya bahwa belajar bukan penghafalan di luar kepala, melainkan pemahaman, pembahasan dan kemampuan berdiskusi. Karena menurutnya belajar dengan berdiskusi akan menghidupkan kreativitas pikir anak, dapat memecahkan masalah dan pandai menghargai pendapat orang lain, disamping dengan berdiskusi anak akan benar-benar mengerti dan paham terhadap apa yang dipelajarinya. Demikian pandangan Ibnu Khaldun tentang berbagai masalah yang berkaitan dengan pendidikan.



B. Pemikiran Konsep Pendidikan Paulo Freire

1. Riwayat Hidup Paulo Freire

Paulo Freire adalah salah satu penulis paling penting dan bepengaruh mengenai teori dan praktik pendidikan kritis abad ke-20 dan tetap berpengaruh besar sampai saat ini. Nama lengkapnya adalah Reglus Neves Freire, filsuf dan pakar pendidikan Brazil, dilahirkan di Recife, timur laut Brazil pada tanggal 19 September 1921 dan meninggal di Sao pada tanggal 2 mei 1997.

Pada tahun 1944 ketika usianya 23 tahun, Freire menikah dengan Elza Maiocosta Olivera dari kota Recife. Istrinya adalah seorang guru Sekolah Dasar yang kemudian menjadi kepala sekolah, Mulai saat itu minat Freire untuk menekuni teori-teori pendidikan mulai tumbuh, dibacanya buku-buku pendidikan, filasafat dan sosiologi pendidikan.

Di awal tahun 1960-an berjuta-juta rakyat Brazil tidak berhak ikut pemilihan umum karena tidak mampu membaca dan menulis (khususnya di daerah timur laut tempat Freire bekerja). Dari sekitar 34,5 juta jiwa hanya 15,5 juta orang saja yang memberikan suara. Brazil bergejolak, banyak gerakan reformasi tumbuh pada saat itu, yaitu golongan sosialis, komunis, mahasiswa, pimpinan buruh, golongan politis dan militer kristen berjuang mengejar tujuan sosial politiknya masing-masing

Di tengah harapannya yang sedang bergejolak inilah, Paulo Freire menjadi kepala pada Kultural Extention Service yang pertama di Universitas Recife. Selanjutnya, mulai Juni 1963 sampai Maret 1964, tim Freire bekerja di seluruh negeri. Mereka menyatakan diri berhasil dalam menarik minat para orang dewasa "buta huruf " untuk belajar membaca dan menulis dalam waktu 45 Hari.

Dengan mengenalkan peran serta dalam proses politik melalui pengetahuan membaca dan menulis sebagai tujuan yang dapat diraih oleh semua orang Brazil. Freire memenangkan minat kaum miskin dan memberi mereka harapan bahwa mereka mempunyai suara dalam isu-isu yang lebih besar dalam kehidupan Brazil. Metodologi yang dikembangkannya telah banyak digunakan secara luas oleh kalangan gereja Katolik dan lainnya dalam kampanye melek huruf di seluruh pelosok timur laut Brazil, yang kemudian diangap sebagai sebuah ancaman bagi pemerintah ketika itu, hingga akhirnya Freire dipenjara. Freire segera dipenjara setelah kudeta militer pada tahun 1964. Ia dibebaskan 75 hari kemudian dan diperintahkan segera meninggalkan negerinya.

Selama pengasingannya, ia bekerja di pelbagai wilayah. Ia ikut terlibat dalam perjuangan memberantas buta huruf dan program-program pendidikan lain di Chili, Angola, Mozambik, Cape Verde, Guinea-Bissau, Nikaragua, dan negara-negara lain. Pada tahun 1964-1969 Freire bekerja sebagai konsultan UNESCO di Chili dan lembaga pembaharuan pertanian Chili dalam program pendidikan masyarakat. Ia kemudian menjadi konsultan di fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Harvard

Pada tahun 1970 Freire meninggalkan Amerika Serikat dan pindah ke Jenewa, ia bekerja sebagai konsultan sampai menjadi sekretaris bagian pendidikan dewan gereja-gereja dunia, dia juga menjabat sebagai ketua dalam komite eksekutif di Institude Action Culturelelle (IDAC). Kemudian di tahun 1988, menteri pendidikan kota Sao Paulo mengundang Freire dan memberinya tanggung jawab untuk memimpin reformasi sekolah bagi dua pertiga bagian dari wilayah kota tersebut. Sejak 1 Juni 1989 sampai 27 Mei 1991 Freire menjabat sekretaris kota madya. Setelah mengabdikan dirinya pada rakyat Brazil yang tertindas, akhirnya Paulo Freire meninggal dunia dalam usia 75 tahun, pada hari Jum’at, 2 Mei 1997.

Demikianlah riwayat Freire yang demikian kuat membuat Freire tidak dapat diragukan lagi sebagai seorang pendidik sejati atau sebagai pakar pendidikan sejati.

2. Pandangan Paulo freire tentang Pendidikan

Hakekat pendidikan Paulo Freire diarahkan atas pandangan Freire terhadap manusia dan dunia, pendidikan harus berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri. berbeda dengan yang dikatakan Erich Fromm, bahwa manusia adalah bagian dari alam atau dunia, manusia tidak mampu mengubahnya, tetapi mampu menguasai dunia.

Dalam pandangan Freire, pendidikan adalah sebuah kegiatan belajar bersama antara pendidik dan peserta didik dengan perantara dunia, oleh objek-objek yang dapat dikenal—yang dalam sistem pendidikan bank hanya dimiliki oleh pendidik. Pendidikan tidak lagi sekedar pengajaran, namun dialog antara para peserta didik dan pendidik yang juga belajar. Keduanya bertanggung jawab bersama atas proses pencapaian semua yang terlibat.

Usaha pendidikan menurut Freire, harus melepaskan diri dari kecenderungan hegemoni dan dominasi. Karena pendidikan yang memiliki karakteristik hegemonik dan dominatif tidak akan pernah mampu membawa rakyat pada pemahaman diri dan realitasnya secara utuh. Sebaliknya, akan membawa rakyat pada situasi “beku“ dan miskin kreatifitas. Situasi inilah yang nanti akan membuat rakyat sulit berkembang dan tidak terbiasa menghadapi tantangan-tantangan pada zamannya.

Freire, dalam pendidikan kaum tertindas menawarkan perang terhadap kondisi dan situasi pendidikan yang berorientasi pada domestifikasi. Baginya, pendidikan otentik haruslah membebaskan. Pendidikan pembebasan ini ia mulai dari usaha-usaha kreatifnya dalam pemberantasan buta huruf orang-orang dewasa di seluruh Brazilia, sebelum kudeta militer 1964, yang akhirnya menyebabkan Freire diasingkan dari negerinya

Dari ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa hakekat dari pendidikan Paulo Freire adalah pendidikan pembebasan, yang merupakan pengukuhan manusia sebagai subyek, memiliki kesadaran dan berpotensi sebagai Man of Action untuk mengubah dunianya dan harus dipecahkan. Karena itu, untuk bisa mewujudkan hal itu tidak lain dengan memanusiakan manusiawikan manusia.

3. Dasar dan Tujuan Pendidikan

Dasar pendidikannya dipengaruhi oleh ajaran Katolik yang menggunakan Injil sebagai kitabnya, kemudian filsafat dan teologi Thomas Aquinas, hal ini tampak dalam pandangannya yang statis tentang alam dan manusia serta pembedaannya yang ketat antara manusia dengan binatang. Selain itu juga dipengaruhi oleh beberapa pemikiran teolog dari para tokoh yang seagama pada saat itu. Namun juga tidak lepas dari kondisi sosial kehidupannya pada saat itu sehingga muncul suatu gagasan yang memberikan titik tekan pada pembebasan sebagai bentuk dari humanisasi.

Adapun tujuan pendidikan Freire adalah bertitik tolak dari pandangan filsafatnya tentang manusia dan dunia, pendidikan haruslah berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri. Pengenalan-pengenalan itu tidak cukup hanya bersifat obyektif atau subyektif, tapi harus kedua-duanya. Kebutuhan obyektif untuk merubah keadaan yang tidak manusia selalu memerlukan kemampuan yang subyektif (kesadaran subyektif) untuk mengenali terlebih dahulu keadaan yang tidak manusiawi, yang terjadi senyatanya, yang obyektif.

Kesadaran subyektif dan kemampuan obyektif adalah suatu fungsi dialektis yang konstant dalam diri manusia dan dalam hubungannya dengan kenyataan yang selau bertentangan. Oleh sebab itu, pendidikan menurut Freire harus melibatkan 3 unsur sekaligus yaitu; pengajar, pelajar, dan realitas dunia. Pelajar dan pengajar merupakan subyek yang sadar (kognitif) dan realitas dunia adalah obyek yang disadari (cognisable), Paulo Freire benar-benar telah menekankan bahwa pentingnya kesadaran yang memungkinkan manusia menggunakan pemikirannya dan penilaiannya secara kritis dan cermat untuk memahami realitas dunia dalam seluruh aspeknya.

Dengan programnya di perkampungan kumuh Brazil, Freire mulai mengkonseptualisasikan proses penyadaran menuju pembebasan dinamis yang disebutnya dengan “kemanusian yang lebih utuh”. Hasil dari proses ini dinamakannnya concientizacao, atau tingkat kesadaran dimana setiap individu mampu melihat sistem sosial secara kritis. Mereka dapat memahami akibat-akibat yang kontradiktif dalam kehidupan mereka sendiri, dapat menggeneresasikan kontradiksi-kontradiksi tersebut pada lingkungan lain di sekelilingnya serta dapat mentransformasikan masyarakat secara kreatif bersama-sama. Concientizacao Paulo Freire bukanlah kesadaran Cartesian yang membersitkan ketidaksadaran intelektual setelah menemukan cogito ergo sum-nya. Sebaliknya Concientizacao adalah suatu praksis, sebuah panggilan untuk pembebasan manusia.

Karya pertamanya “Pendidikan sebagai praktek pembebasan” dikemukakan oleh Paulo Freire dengan asumsi bahwa pendidikan sebenarnya dapat digunakan sebagai alat pembebasan, dengan meletakkan manusia pada fitrah kemanusiannya. Secara konsisten pendidikan harus ditempatkan dalam konfigurasi memanusiakan manusia, ini merupakan proses tanpa henti dan berorientasi pada pembebasan manusia.

Untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang membebaskan ini, ada dua tahap yang harus dilakukan: Pertama, kaum tertindas menyingkap selubung dunia penindasan serta lewat praksis mereka mengikatkan diri pada transformasi dunia penindasan tersebut. Kedua, ketika kenyataan penindasan sudah diubah, pendidikan ini tidak lagi menjadi milik khas kaum tertindas melainkan menjadi pendidikan semua manusia dalam proses pembebasan yang permanen.

Pendidikan pada tahap pertama, harus berurusan dengan masalah kesadaran kaum tertindas dan kesadaran penindasnya, yakni problema manusia yang menindas serta manusia yang menanggung penindasan. “konfrontasi berlangsung melalui perubahan cara kaum tertindas memahami dunia penindasan”. Sedangkan pada tahap kedua, konfrontasi terjadi lewat penghapusan mitos-mitos yang diciptakan dan dikembangkan dalam orde lama, yang kini menjadi mirip hantu-hantu membayangi struktur baru yang mengemuka dari transformasi revolusioner.

Berdasarkan ulasan di atas, jelas bahwa dasar atau sumber yang mendasari pemikiran Paulo Freire selain kondisi sosial kultural yang berkembang di zamannya, adalah pengaruh ajaran Katolik, pengaruh filsafat dan teologi Thomas Aquinas serta pemikiran teologi dari para tokoh seagama. Sedangkan tujuan dari pendidikan Pauo Freire adalah konseintasi (kesadaran kritis) untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan, manipulasi, penaklukan serta devide et empera melalui proses penyadaran (Concientizacao) yang meletakkan manusia pada fitrah kemanusiannya.

4. Pandangan Terhadap Pendidik

Menurut Freire pendidik adalah fasilitator dan partner dalam proses pendidikan dalam rangka mencapai sebuah penyadaran diri sebagai manusia. Guru tidak lagi monoton “mendoktrin” dan “mendikte” murid dengan pengetahuan yang dipelajarinya, tetapi lebih meminta kepada muridnya untuk mengembangkan sesuatu yang bermakna bagi pengembangan pribadinya dari bahan yang dipelajarinya.

Secara filosofis tanggung jawab guru (pendidik) yang menempatkan diri sebagai teman dialog siswa lebih besar dari pada guru yang hanya memindahkan informasi yang harus diingat oleh siswa.

Guru dan murid adalah makhluk yang belum sempurna dan keduanya harus belajar satu sama lain dalam proses pendidikan. Proses ini bukan berarti bahwa guru harus menolak perannya sebagai figur yang melaksanakan proses belajar. Namun proses tersebut didasarkan pada dialog kritis dan penciptaan pengetahuan bersama. Freire pernah menulis:

“Manakala pilihan dan mimpi saya sudah jelas, yang secara substantive bersifat politis dan secara atributif bersifat pedagogis, saya mengakui bahwa di samping seorang pendidik saya juga agen politik. Saya dapat mengerti dengan baik mengapa saya takut dan menyadari betapa jauhnya perjalanan yang harus kita tempuh untuk memperbaiki demokrasi kita. Saya juga memahami bahwa ketika kita mempraktekkan pendidikan secara kritis membangkitkan kesadaran anak didik, kita dengan sendirinya tengah melawan mitos yang merusak. Ketika menghadapi mitos seperti itu, kita juga menghadapi kekuasaan dominant karena mitos-mitos tersebut hanyalah ungkapan kekuasaan ini, ungkapan ideologinya”.



Dalam halaman lain ia juga mengungkapkan bahwa "Ada suatu kecenderungan kuat yang mendorong kita untuk menyatakan bahwa apa yang berbeda adalah inferior…inilah sikap tidak toleran yakni kecenderungan menentang perbedaan".

Dari beberapa uraian di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pendidik menurut pandangan Freire adalah sejajar dengan peserta didik, yakni orang yang juga sama-sama belajar dan di ajar dan membangun bersama pengetahuan mereka dari realitas yang dihadapi, saling memanusiakan dan saling membebaskan.

5. Pandangan Terhadap Peserta Didik

Mengutip Murtiningsih, Freire mengungkapkan bahwa sejak lahir peserta didik sudah membawa pengetahuan awal. Pengetahuan yang dimiliki peserta didik ini merupakan dasar untuk membangun serta memahami pengetahuan selanjutnya di dalam-dan-bersama-realitas dunia.

Peserta didik adalah teman dialog pendidik. Peserta didik menjadi subyek yang belajar, subyek yang bertidak dan berfikir, dan pada saat bersamaan berbicara menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya, begitu juga sang guru. Dalam prosesnya peserta didik di tuntut untuk berperan sebagai subyek-pencipta (creatur), pencipta kembali (recreator), dan penemu ulang (reinventor). sebab kegiatan belajar versi Freire adalah bersifat aktif yang mana peserta didik membangun sendiri pengetahuannya.

Dari paparan di atas, jelas bahwa Freire memandang peserta didik adalah subyek yang aktif. Dalam hal ini murid maupun guru saling mengembangkan budaya pemikiran dan sikap kritis dengan memadukan praktek dan teori. Keduanya sama-sama menjadi subyek yang belajar, subyek yang bertindak dan berfikir, dan pada saat yang bersamaan berbicara menyatakan hasil tindakan dan buah fikirannya.

6. Metode Pendidikan

a. Metode Hadap Masalah (Problem-Posing)

Metode ini merupakan penolakan terhadap metode pendidikan “Gaya Bank” yaitu model pendidikan yang hanya sekedar pengalihan-pengalihan informasi. Konsep pendidikan gaya bank yang berorientasi pada pembodohan manusia. Dalam metode ini, Freire menuntut adanya pemecahan terhadap masalah kontradiksi antara guru-murid.

Metode pendidikan hadap-masalah menegaskan bahwa manusia sebagai manusia yang berada dalam proses menjadi (becoming) -- sebagai sesuatu yang tidak pernah selesai dan terus menerus mencari. Guru tidak lagi menjadi orang yang mengajar, tetapi orang yang mengajar dirinya melalui dialog dengan para murid, sehingga pada gilirannya, di samping diajar, mereka juga belajar. Dengan demikian, tidak ada lagi subyek maupun obyek, yang ada hanyalah subyek sekaligus obyek; manusia saling mengajar satu sama lain, ditengahi oleh dunia.

b. Metode Dialog

Metode ini memposisikan guru hanya sebagai mediator dan fasilitator bagi murid dalam memahami informasi baru yang diperolehya, hal ini memunculkan adanya kesadaran bahwa guru bukan satu-satunya sumber informasi bagi muridnya. Dalam dialog ini, manusia ditempatkan pada posisi yang sama sebagai subyek perubahan. Ia mengedepankan komunikasi sebagai hakekat kesadaran manusia. Jadi guru bersedia belajar dari muridnya dalam informasi yang belum diketahuinya, sehingga tujuan pembelajaran adalah sama-sama untuk mencari ilmu pengetahuan.

Analisis Freire terhadap aksi kebudayaan dialogis tersebut, memberi kesimpulan bahwa aksi kebudayaan dialogis tidak mempunyai sasaran hilangnya dialektika keajegan perubahan (suatu sasaran yang tidak mungkin, menurut Freire, sebab hilangnya dialektika tersebut akan menuntut hilangnya struktur sosial itu sendiri dan demikian manusianya), melainkan mengatasi berbagai kontradiksi antagonistik dalam struktur sosial tersebut.

Lebih jauh Freire menegaskan bahwa dialog harus dipahami sebagai sesuatu yang terlibat di dalam sejarah umat manusia. Dialog adalah bagian dari kemajuan historis dalam menjadi manusia. Oleh karena itu dialog merupakan postur yang niscaya sehingga manusia menjadi makhluk yang sangat komunikatif-kritis.

Dalam kata-kata Freire:

"To exist, humanly, is to name the world, to change it". Freire juga tanpa malu-malu memegang teguh nilai-nilai seperti cinta sebagai esensi dari dialog: "If I do not love the world-if I do not love life-if I do not love people" ("jika tidak mencintai dunia-jika aku tidak mencintai hidup - jika aku tidak mencintai manusia"), Freire menyatakan, "I cannot enter into dialogue" (aku tidak terlibat dalam dialog).

Tentu saja dialog dapat membawa seseorang untuk memaknai dunia dan mendorong transformasi sosial dan pembebasan. Dialog merupakan hal yang esensial pada proses penyadaran. Dengan demikian, dialog harus berjalan bebas, efektif dan harapan.

Bagan di bawah ini akan menjelaskan bahwa sesungguhnya “penyadaran” dengan metode dialogis:







Obyek Obyek

Guru Bersama melakukan Murid

Subyek Refleksi, Dialog, Observasi Subyek

Tantangan ------------- Perubahan

Bagan di atas menunjukkan, pendidikan tidak berjibaku kepada kebenaran salah satu pihak atau kalangan tertentu. Jadi, dengan dialog pendidik dan anak didik berada pada posisi yang sejajar. Dalam dialoglah akan memberikan tempat kepada keduanya dalam realitas mereka sendiri sebagai subyek realitas yang mentransformasikan dengan sebenarnya.39 Dialog ini tidak dapat berlangsung tanpa adanya rasa cinta, kerendahan hati dan keyakinan.

Pesan Freire dalam metode dialogis ini, memuat komponen-komponen dasar dari pemberantasan buta huruf di negaranya. Unsur-unsur itu adalah:

1) Sebagai pengamat yang berpartisipasi, para pendidik mendengarkan kosa kata rakyat.

2) Dalam tugas sulit mencari kata-kata generatif itu, ada dua hal yang perlu dipertimbangkan, kekayaan silabik dan tingkat keterlibatannya dalam pengalaman.

3) Kodifikasi pertama atas kata-kata itu kedalam gambar-gambar visual, dapat menggugah kesadaran petani yang semula tenggelam dalam kebudayaan bisu menjadi “bangkit” sebagai kesadaran yang menciptakan kebudayaannya sendiri.

4) Dekodifikasi oleh lingkaran kebudayaan, didampingi oleh koordinator yang tidak menonjolkan diri, melainkan pendidik-terdidik dalam dialog dengan terdidik-pendidik. Yang oleh para pendidik formal terlampau sering dianggap penerima pengetahuan secara pasif.

5) Kodifikasi baru yang kreatif, kritis dan mengarah kepada aksi, dimana mereka yang sebelumnya buta huruf kini mulai menolak dijadikan obyek semata-mata dalam sejarah masyarakat dan berusaha untuk menjadi subyek atas diri sendiri.

Dengan demikian, proses dialogis dalam rangka penyadaran melalui pendidikan seperti yang diajukan Freire dalam metode pendidikan hadap-masalah, dapat di identifikasi sebagai berikut:

1) Guru belajar dari murid dan murid belajar dari guru (belajar bersama)

2) Guru menjadi rekan murid yang melibatkan diri dan menstimulasi daya kritis pada muridnya, dan mereka saling memanusiakan.

3) Manusia dapat mengembangkan kemampuan untuk mengerti secara kritis mengenai dirinya sendiri dan dunia dimana ia berada dan berhubungan

4) Pendidikan hadap-masalah senantiasa membuka rahasia realitas yang menantang manusia, kemudian menuntut suatu respon kritis terhadap tantangan-tantangan tersebut yang dapat membawa manusia kepada dedikasi sesungguhnya.

c. Metode Praksis

Jika dilihat dari pandangan Freire terhadap peserta didik dan pendidik, bahwa keduanya menjadi subyek yang belajar, subyek yang bertidak dan berfikir, dan pada saat bersamaan berbicara menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya. Metodologi praxis adalah “manunggal rasa, kata dan karya”, karena manusia pada dasarnya adalah kesatuan dari fungsi berfikir, berbicara, dan berbuat. Freire mengungkapkan hakekat praxis:







Kata = Karya = PRAXIS

(word) (word)









Ketiga aspek tersebut di atas padu dalam gagasan maupun cara wujud seseorang sebagai manusia seutuhnya. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan tidak hanya berkutat pada teori, namun juga reflektif sekaligus juga mampu diaplikasikan. Sehingga proses pendidikan merupakan suatu daur bertindak dan berpikir yang berlangsung terus menerus sepanjang hidup seseorang.



































STUDI KASUS



Terkait dengan ketertinggalan pendidikan Islam ini, menurut Muhaimin dikarenakan oleh terjadinya penyempitan terhadap pemahaman pendidikan Islam yang hanya berkisar pada aspek kehidupan ukhrawi yang terpisah dengan kehidupan duniawi, atau aspek kehidupan rohani yang terpisah dengan kehidupan jasmani.

Jika melihat pendapat Muhaimin ini, maka akan tampak adanya pembedaan dan pemisahan antara yang dianggap agama dan bukan agama, yang sakral dengan yang profan antara dunia dan akhirat. Cara pandang yang memisahkan antara yang satu dengan yang lain ini disebut sebagai cara pandang dikotomik. Adanya simtom dikotomik inilah yang menurut Abdurrahman Mas’ud sebagai penyebab ketertinggalan pendidikan Islam. Hingga kini pendidikan Islam masih memisahkan antar akal dan wahyu, serta fakir dan zikir. Hal ini menyebabkan adanya ketidakseimbangan paradigmatik, yaitu kurang berkembangnya konsep humanisme religius dalam dunia pendidikan Islam, karena pendidikan Islam lebih berorientasi pada konsep ‘abdullah (manusia sebagai hamba), ketimbang sebagai konsep khalifatullah (manusia sebagai khalifah Allah).

Selain itu orientasi pendidikan Islam yang timpang tindih melahirkan masalah-masalah besar dalam dunia pendidikan, dari persoalan filosofis, hingga persoalan metodologis. Di samping itu, pendidikan Islam menghadapi masalah serius berkaitan dengan perubahan masyarakat yang terus menerus semakin cepat, lebih-lebih perkembangan ilmu pengetahuan yang hampir-hampir tidak memperdulikan lagi sistem suatu agama.

Kondisi sekarang ini, pendidikan Islam berada pada posisi determinisme historik dan realisme. Dalam artian bahwa, satu sisi umat Islam berada pada romantisme historis di mana mereka bangga karena pernah memiliki para pemikir-pemikir dan ilmuwan-ilmuwan besar dan mempunyai kontribusi yang besar pula bagi pembangunan peradaban dan ilmu pengetahuan dunia serta menjadi transmisi bagi khazanah Yunani, namun di sisi lain mereka menghadapi sebuah kenyataan, bahwa pendidikan Islam tidak berdaya dihadapkan kepada realitas masyarakat industri dan teknologi modern.

Terjadinya pemilahan-pemilahan antara ilmu umum dan ilmu agama inilah yang membawa umat Islam kepada keterbelakangan dan kemunduran peradaban, lantaran karena ilmu-ilmu umum dianggap sesuatu yang berada di luar Islam dan berasal dari non-Islam atau the other, bahkan seringkali ditentangkan antara agama dan ilmu (dalam hal ini sains). Agama dianggap tidak ada kaitannya dengan ilmu, begitu juga ilmu dianggap tidak memeperdulikan agama. Begitulah gambaran praktik kependidikan dan aktivitas keilmuan di tanah air sekarang ini dengan berbagai dampak negataif yang ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat. Sisitem pendidikan Islam yang ada hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama saja. Di sisi lain, generasi muslim yang menempuh pendidikan di luar sisitem pendidikan Islam hanya mendapatkan porsi kecil dalam hal pendidikan Islam atau bahkan sama sekali tidak mendapatkan ilmu-ilmu keislaman. Dari berbagai persoalan pendidikan Islam di atas dapat

Ditarik benang merah problematika pendidikan Islam yaitu:

Pertama, masih adanya problem konseptual-teoritis atau filosofis yang kemudian berdampak pada persoalan operasional praktis.

Kedua, persoalan konseptual-teoritis ini ditandai dengan adanya paradigma dikotomi dalam dunia pendidikan Islam antara agama dan bukan agama, wahyu dan akal serta dunia dan akhirat.

Ketiga, kurangnya respon pendidikan Islam terhadap realitas sosial sehingga peserta didik jauh dari lingkungan sosio-kultural mereka. Pada saat mereka lulus dari lembaga pendidikan Islam merka akan mengalami social-shock.

Keempat, penanganan terhadap masalah ini hanya sepotong-potong, tidak integral dan komprehensif.

Solusi Problematika Pendidikan Islam Saat ini

Mencermati kenyatan tersebut, maka mau tidak mau persoalan konsep dualisme-dikotomik pendidikan harus segera ditumbangkan dan dituntaskan, baik pada tingkatan filosofis-paradigmatik maupun teknis departementel. Pemikiran filosofis menjadi sangat penting, karena pemikiran ini nanti akan memeberikan suatu pandangan dunia yang menjadi landasan idiologis dan moral bagi pendidikan.

Pemisahan antar ilmu dan agama hendaknya segera dihentikan dan menjadi sebuah upaya penyatuan keduannya dalam satu sistem pendidikan integralistik. Namun persoalan integrasi ilmu dan agama dalam satu sistem pendidikan ini bukanlah suatu persoalan yang mudah, melainkan harus atas dasar pemikiran filosofis yang kuat, sehingga tidak terkesan hanya sekedar tambal sulam. Langkah awal yang harus dilakukan dalam mengadakan perubahan pendidikan adalah merumuskan “kerangka dasar filosofis pendidikan” yang sesuai dengan ajaran Islam, kemudian mengembangkan secara “empiris prinsip-prinsip” yang mendasari terlaksananya dalam konteks lingkungan (sosio dan kultural)

Filsafat Integralisme (hikmah wahdatiyah) adalah bagian dari filsafat Islam yang menjadi alternatif dari pandangan holistik yang berkembang pada era postmodern di kalangan masyarakat barat. Inti dari pandangan hikmah wahdatiyah ini adalah bahwa yang mutlak dan yang nisbi merupakan satu kesatuan yang berjenjang, bukan sesuatu yang terputus sebagaimana pandangan ortodoksi Islam. Pandangan Armahedi Mahzar, pencetus filsafat integralisme ini, tentang ilmu juga atas dasar asumsi di atas, sehingga dia tidak membedakan antara ilmu agama dan ilmu umum, ilmu Tuhan dan ilmu skular, ilmu dunia dan ilmu akhirat. Dari pandangan dia tentang kesatuan tersebut juga akan berimplikasi pula pada pemikiran Armahedi pada permasalahan yang lain, termasuk juga pendidikan Islam.

Bagi Armahedi, pendidikan Islam haruslah menjadi satu kesatuan yang utuh atau integral. Baginya, manusia-manuisa saat ini merupakan produk dari pemikiran Barat Modern yang mengalami suatu kepincangan, karena merupakan suatu perkembangan yang parsial. Peradaban Islam adalah contoh lain. Keduanya dapat ditolong dengan membelokkan arah perkembangannya ke arah perkembangan yang evolusioner yang lebih menyeluruh dan seimbang. Hanya ada beberpa sisi saja dari kehidupan manusia yang dikembangkan. Begitu juga halnya dengan masyarakat yang ada, pada hakikatnya adalah cerminan dari satu sistem pendidikan yang ada saat itu.

Yang pasti pemikiran dan konsep-konsep pakar pendidikan baik dari barat maupun timur dapat diterima dengan penyaringan-penyaringan yang maksimal, sehingga tidak memperburuk malah mensistematiskan ranah pendidikan yang agak semerawut.

Masyarakat saat ini adalah masyarakat materialis yang dapat dibina dengan menggunakan suatu mesin raksasa yang bernama teknostrutur. Di sini ada satu link yang hilang, yaitu spiritualisme. Dengan demikian, pendidikan sebagai produksi sistem ini haruslah mengembangkan seluruh aspek dari manusia dan masyarakat sesuai dengan fitrah Islam, yaitu tauhid.

Pandangan filosofis inilah yang menjadikan pentingnya kajian terhadap pemikiran Armahedi Mahzar tentang sistem pendidikan Islam integratif, karena permasalahan pendidikan sebenarnya terletak pada dua aspek, filosofis dan praktis. Persoalan filosofis ini yang menjadi landasan pada ranah praktis pendidikan. Ketika ranah filosofis telah terbangun kokoh, maka ranah praktis akan berjalan secara sistematis. Dengan demikian, filsafat integralisme atau hikmah wahdatiyah nantinya akan menjadi landasan idiologis dalam pengembangan sistem pendidikan integratif.























BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

1. Konsep pendidikan Ibnu khaldun memiliki corak intelektual dan religius. Yang menggunakan sumber Al-Qur’an, hadist, atsar dan dilengkapi dengan logika. Tujuan pendidikannya memberikan kesempatan kepada pikiran untuk bekerja. Beliau memandang pendidik sebagai orang profesional (mengetahui perkembangan psikologis peserta didik, kemampuan dan daya serap peserta didik). Sedangkan peserta didik dipandang sebagai makhluk Allah dan makhluk sosial yang memiliki potensi sesuai fitrahnya, dengan harus tidak menggantungkan pada teks atau diktat, berdiskusi dan berdebat serta belajar sendiri. Metode yang digunakan ada tiga: metode pentahapan dan pengulangan (tadaruj wat tiraari), metode peragaan dan metode diskusi.

2. Freire dalam pemikiran konsepnya juga berangkat dari pandangannya terhadap manusia. Konsepsinya bersifat antroposentris, tanpa dikaitkan dengan ke-Mahakuasaan. Hal itu terlihat dari perjuangannya melawan berbagai bentuk dominasi. Dasar pendidikanny berlandaskan pada agama Katolik kitab suci Injil, serta beberapa pemikiran teolog dari para tokoh yang seagama pada saat itu. Tujuan pendidikannya adalah kesadaran kritis melalui pembebasan menuju humanisasi. Baginya pendidik dianggap sebagai fasilitator sekaligus partner bagi siswa. sedangkan peserta didik, dianggap sebagai subyek yang aktif. adapun metode yang digunakan adalah: metode hadap masalah, dan metode dialog, dan prakxis.


DAFTAR PUSTAKA


Ahmad dan Imam Thalkhah. 2004. Membuka Jendela Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Dhakiri, Hanif. 2000. Islam dan Pembebasan . Jakarta: Djambatan & Pena.

Firdaus M. Yunus. 2005. Pendidikan Berbasis Realitas Sosial Paulo Freire & YB, Mangun Wijaya. Jogjakarta: Logung Pustaka.

Finger, Mathias dan dan Jose Manuel Asun. 2004. Pendidikan Orang Dewasa. Yogyakarta: Pustaka Kendi.

Fromm, Erich. 2000. Akar Kekerasan Analis Sosio Psikologis Atas Watak Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gopinathan, Miguel Fernandes Peres S. 1982. Krisis Dalam Pendidikan. Jakarta: Balai Pustaka.

Joy A. Palmer. 2003. 50 Pemikir Pendidikan Dari Piaget Sampai Masa Sekarang. Yogyakarta: Jendela

Ma’arif, Ahmad safi’i. 1996. Ibnu khaldun Dalam Penulis Barat dan Timur. Jakarta: Gema Insani Press.

Muhaimin dan Abdul Mujib. 1993. Pemikiran Pendidikan islam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasarnya Operasionalnya. Bandung: Trigenda Karya.

Muhaimin. 2003. wacana pengembangan pendidikan islam. Surabaya: Pustaka Belajar.

Murtiningsih. 2004. Pendidikan Alat Perlawanan; Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire. Yogyakarta: Resist Book.

Usman, Ali. 2006. Kebebasan Dalam Perbincangan Filsafat, Pendidikan dan Agama. Yogyakarta: Pilar Media.

Nizar, Samsul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis Dan Praktis. Jakarta: Ciputat Press.

Supeno, Hadi. 1999. Pendidikan dalam Belenggu Kekuasaan. Magelang: Pustaka Paramedia.









logoblog

SYEKH SITI JENAR DAN ISLAMISASI DI JAWA



Islamisasi Jawa

A. Latar Belakang

Perkembangan islamisasi di Indonesia khususnya di daerah Jawa diwarnai dengan adanya tokoh kontroversial yaitu syekh Jabaranta atau lebih dikenal dengan nama syekh Siti Jenar. Beliau berasal dari Cirebon, ayahnya seorang raja pendeta bernama Resi bungsu. Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Ali Hasan alias Syekh Abdul Jalil penganut kebatinan atau kejawen.

Syekh Siti Jenar sebagai salah satu wali yang mendapat tugas dari dewan walisongo, beliau diserahi tugas untuk mengajar sasahidan yaitu belajar syahadat dan tauhid, tetapi belakangan ajaran beliau lebih mengarah ke ilmu hakekat yang kemudian mengabaikan syari’at sehingga Walisongo menilai hal itu bukan konsumsi orang yang awam dengan ajaran Islam.

Dalam waktu dekat beliau mempunyai pengikut yang tidak sedikit, karena waktu itu masa perubahan dari agama lama ke Islam tidak berjalan mulus begitu saja. Karena kekuatan reformasi islam dipimpin oleh walisongo dan sultan Demak, maka masyarakat luas tidak berani menentang secara terang terangan. Tetapi setelah ada pemimpin yang secara terbuka berani menentang arus reformasi, maka masa yang masih belum mau dengan ajaran islam merasa memperoleh panutan, sehingga dengan senang hati mereka masuk kebarisan syekh Siti Jenar. Mereka yang tidak mau menerima ajaran islam secara utuh seperti ajaran rasulullah karena mereka menganggap ajaran itu bercampur dengan adat istiadat arab, maka mereka menerima islam seperti yang diajarkan oleh syekh Siti Jenar, di sisi lain mereka yan menerima dan meyakini ajaran islam sebagai suatu sistem nilai yang utuh seperti diajarkan oleh rasulullah SAW dan berpendapat bahwa mengamalkan islam seperti ajaran syekh Siti Jenar tersebut mengandung resiko tidak diakui sebagai umat Muhammad oleh rasulullah SAW. Adanya kedua kutub ekstrim di atas disebabkan kadar keyakinan masing-masing terhadap ajaran islam.

Oleh karena itu kiranya sangat urgen untuk sedikit membahas permasalahan syekh Siti Jenar agar umat islam di zaman modern ini mendapat sedikit informasi yang jelas dan cerah sehingga tidak banyak diskursus pemahaman. Sesuai dengan tujuan penulisan tersebut maka pembahasan tentang syekh Siti Jenar ini difokuskan pada dua hal penting, yaitu asal usul, ajaran, posisi syekh Siti Jenar dalam islamisasi kususnya di Jawa dan beberapa informasi lain yang mendukung kedua pokok masalah tersebut.



B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas dapat diambil rumusan masalah, yaitu:

1. Bagaimana asal ususl Syekh Siti Jenar?

2. Bagaimana ajaran Syekh Siti Jenar?

3. Bagaimana Peran Syekh Siti Jenar dalam Islamisasi khususnya di Jawa?



C. Tujuan Masalah

Dari rumusan masalah diatas dapat ditarik kesimpulan bahwasanya tujuan masala, yaitu:

1. Untuk mengetahui asal usul Syekh Siti Jenar.

2. Untuk mengetahui ajaran Syekh Siti Jenar.

3. Untuk mengetahui peran Syekh Siti Jenar dalam islamisasi di Jawa.



BAB II

PEMBAHASAN



A. Asal Usul Syekh Siti Jenar

Sebenarnya asal usul Syekh Siti Jenar sampai sekarang masih belum jelas, belum ada sumber yang dianggap sahih. Dari beberapa informasi, nama Syekh Siti Jenar kadang-kadang disebut Syekh Siti Brit atau Syekh Lemah Abang. Dalam bahasa Jawa, Jenar berarti kuning, sedang brit berasal dari abrit artinya merah, sama seperti abang yang juga berarti merah.

Menurut salah satu pendapat, Syekh Siti Jenar yang juga bernama Syekh Abdul Jalil atau Syekh Jabaranta itu adalah putra Syekh Datuk Sholeh. Nenek moyang Syekh Siti Jenar adalah Syekh Abdul Malik yang menikah dengan anak penguasa setempat, lalu diberi nama Asamat Khan, dari perkawinan itu beliau mempunyai beberapa anak,diantaranya bernama Abdullah Khanuddin atau Maulana Abdullah.

Kemudian Maulana Abdullah mempunyai beberapa anak, dua diantaranya adalah Ahmadsyah Jalaluddin atau Jainal Abidin Al-Kabir dan Syekh Kadir Kaelani. Setelah dewasa, Achmadsyah pindah ke kamboja dan menjadi penyiar agama islam disana. Syekh Kadir Kaelani sendiri mempunyai anak bernama Syekh Maulana Isa yang bermukim di Malaka. Syekh Maulana Isa mempunyai dua orang anak, yaitu Syekh Datuk Achmad dan Syekh Datuk Sholeh.

Menurut pendapat yang lain, Abdul Munir Mulkhan mengatakan bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari daerah Cirebon. Ayahnya seorang raja pendeta bernama Resi Bungsu. Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Ali Hasan alias Syekh Abdul Jalil. Suatu ketika ayah Syekh Siti Jenar marah lalu anaknya itu disihir menjadi cacing dan dibuang ke sungai. Pada waktu itu sunan Mbonang sedang mengajar ilmu luhur di atas perahu kepada murid-muridnya, termasuk sunan Kalijogo, perahu yang ditumpanginya bocor lalu ditambal dengan tanah. Ternyata didalam tanah itu terdapat cacing jelmaan syekh Siti Jenar tersebut. Karena sunan Mbonang tahu ada seseorang nguping, maka cacing tersebut lalu dirubah menjadi manusia kembali seperti wujudnya semula dan diberi nama Siti Jenar.

Tetapi pada halaman yang berbeda terdapat cerita yang berbeda, yaitu setelah perahu tidak bocor, maka sunan Mbonang melanjutkan wejangannya. Karena kecerdasan Syekh Siti Jenar mampu menyerap ajaran sunan Mbonang tersebut. Namun karena tidak lengkap, atau karena tidak mendapat perkenan dari gurunya, maka Syekh Siti Jenar menjadi sombong dan menyebarkan ajaran sesat. Beliau mengajarkan agama islam menurut pandanganya sendiri. Bahkan Syekh Siti Jenar menganggap dirinya sebagai dzat Allah, dan memandang budi serta kesadaran manusia sebagai tuhan itu sendiri. Menurut Syekh Siti Jenar, sifat Allah yang 20 terkonsentrasi melekat dalam budi manusia yang dapat bersifat kekal dan abadi dalam kodrat dan irodatnya. Inilah yang oleh Syekh Siti Jenar dinamakan ilmu Sejati.

Menurut pendapat yang lainya, Widji Saksono mengatakan bahwa Syekh Siti Jenar merupakan keturunan nabi Muhammad Saw melalui jalur Siti Fatimah, Imam husen, Said Jenal Ngabidin, Muhammad Bakir, Datuk Ngisa Tuwu yang tinggal di Malaka, Syekh Datuk Salek, kemudian Syekh Lemah Abang. Rinkes menganggap bahwa informasi ini merupakan sesuatu yang menggelikan, ia justru lebih tertarik untuk memperhatikan tulisan tangan R Ng Ronggowarsito, yang menganggap Syekh Siti Jenar adalah putra dari sunan Gunungjati yang demikian besar minat dan tekunnya mengaji berbagai ilmu keislaman, terutama mistik. Syekh Siti Jenar berguru kepada sunan Ampel, dan saking cintanya beliau tidak mau menikah. Selesai belajar di Ampeldenta beliau menetap di Kediri. Dr. H Kraemer menamakan Syekh Siti Jenar sebagai Al-Hallaj Jawa, yang menurut para wali kesalahanya bukan langsung terletak pada ajaranya, melainkan pada kenyataan bahwa Syekh Siti Jenar miak wirana (membuka rahasia tertinggi yang sesungguhnya, dan hanya boleh disampaikan kepada orang-orang khawwas).

Pendapat semacam itu memang diyakini oleh banyak tokoh dan penulis, padahal bukankah ajaran islam yang benar boleh diajarkan kepada siapa saja dan kapan saja?. Hanya ajaran Islam yang menyimpang yang memilah-milah siapa yang boleh menerimanya dan siapa yang belum boleh menerimanya. Uka tjandrasasmita termasuk yang mempunyai pendapat itu, ia mengatakan bahwa untuk murid yang sudah dianggap mampu menerima, di pesantren juga diajarkan ilmu tasawuf. Lebih lanjut diterangkan bahwa tasawuf merupakan salah satu faktor yang penting perananya dalam perkembangan Islam di Indonesia. Islam dengan warna tasawuf di Indonesia terutama terjadi sejak abad ke 15-18 M.

Satu pendapat lagi di dalam Serat Siti Jenar karya Ki Panji Notoroto mengatakan bahwa Syekh Siti Jenar adalah keturunan elit hindu-Budha dari Jawa Barat (Cirebon). Asal-usul Syekh Siti Jenar ini ada pula yang mengkaitkan bahwa orang tua Syekh Siti Jenar adalah keturunan penguasa di daerah Jawa yang sedang runtuh. Runtuhya penguasa tersebut barangkali oleh kekuatan baru, yaitu Islam.

Sampai disini ada empat versi asal usul Syekh Siti Jenar. Pertama, bernama Syekh Abdul Jalil atau Syekh Jabaranta itu adalah putra Syekh Datuk Sholeh. Kedua, Syekh Siti Jenar berasal dari daerah Cirebon. Ayahnya seorang raja pendeta bernama Resi Bungsu. Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Ali Hasan alias Syekh Abdul Jalil. Ketiga, Syekh Siti Jenar merupakan keturunan nabi Muhammad Saw melalui jalur Siti Fatimah, Imam husen, Said Jenal Ngabidin, Muhammad Bakir, Datuk Ngisa Tuwu yang tinggal di Malaka, Syekh Datuk Salek, kemudian Syekh Lemah Abang. Keempat, Syekh Siti Jenar adalah putra dari sunan Gunungjati yang demikian besar minat dan tekunnya mengaji berbagai ilmu keislaman, terutama mistik

Dan versi mana yang benar sulit untuk ditetapkan. Versi satu dengan yang lain sangat jauh berbeda, hampir-hampir tidak ada kemiripannya sama sekali. Dan nampaknya penulis-penulis hanya membiarkan kesimpang siuran itu, sehingga masalah Syekh Siti Jenar tetap menjadi misteri. Olek karena itu terserah kita mengambil yang mana sesuai dengan pemahaman dan kepercayaan masing-masing.



B. Ajaran-Ajaran Syekh Siti Jenar

Menurut Walisana, Syekh Siti Jenar adalah San Ali Ansor, yaitu seorang ahli sihir yang tidak diterima berguru kepada sunan Giri karena sang guru khawatir ilmunya akan diselewengkan.

Disisi lain Gatra dalam bukunya mengatakan bahwa Syekh Siti Jenar pada awalnya adalah bagian dari walisongo. Oleh dewan walisongo, Syekh Siti Jenar diserahi tugas untuk mengajar sasahidan, yaitu belajar syahadat dan tauhid. Tetapi belakangan ajaran Syekh Siti jenar lebih mengarah ke ilmu hakikat yang kemudian mengabaikan syari’at sehingga walisongo menilai hal itu bukan konsumsi orang yang awam dengan ajaran islam. Di daerah miskin dan terbelakang yang masyarakatnya baru saja meninggalkan agama Hindu dan terlepas dari kekangan aturan kasta, ajaran pembebasan seperti itu sangat menarik. Itulah sebabnya mengapa di daerah tertentu ajaran Syekh Siti Jenar cepat berkembang dari pada ajaran walisongo.

Ada kemungkinan, bahwa bergabungnya mereka dengan aliran Syekh Siti Jenar itu bukan karena landasan keyakinan agama, melainkan karena alasan politik stategis. Karena hal serupa pernah terjadi sekitat tahun 1965-1968, ketika para penganut faham komunis di Indonesia ketakutan dengan reformasi orde baru yang membubarkan partai komunis itu lalu menggabungkan diri dengan kelompok non Islam apa saja karena sebelumnya PKI sangat bermusuhan dengan golongan Islam.

Kepada siapa saja Syekh Siti Jenar menggali ilmu, beritanya sangat simpang siur. Mungkin Syekh Siti Jenar pernah berguru kepada Vendanta Budhisme, mungkin pula pada seorang guru Syi’ah Bathiniyah, bahkan mungkin dari mazhab Zindiq. Dalam kitab Walisana disebutkan bahwa Syekh Siti Jenar pernah berguru pada sunan Giri secara mencuri-curi, karena beliau dianggap memiliki ilmu sihir, dengan alasan ditakutkan kalau ajaran Islam disalah gunakan untuk meningkatkan ilmu sihir yang telah dimiliki oleh beliau.

Salah satu ajaranya yang dianggap aneh ialah tentang hidup dan mati, tentang tuhan dan manusia, serta kewajiban memenuhi rukun Islam. Syari’at yang dikenakan bagi orang hidup, tidak berlaku bagi orang yang mati. Padahal, Syekh Siti Jenar berpendapat bahwa semua orang di dunia ini adalah mati, dan kehidupan yang sesungguhnya baru dimulai setelah orang meninggalkan dunia. Orang-orang yang nampaknya hidup di dunia ini tak lain adalah bangkai-bangkai yang terdiri atas tulang dan daging yang kelak akan ditinggalkan.

Sebelumya, agar pembahasan lebih sistematis, maka dipisahkan antara inti ajaran dan pandangan Syekh Siti Jenar terhadap syari’at Islam. Kedua hal itu sebenarnya memang sangat erat hubunganya. Dengan pemisahan itu diharapkan pembahasan selanjutnya lebih terfokus.



a. Inti ajaran Syekh Siti Jenar

Dengan pendirian serta keyakinan kepada murid-muridnya, beliau mengajarkan lima tahap ilmu, yaitu:

1. tentang asal-usul manusia.

2. masalah yang berkaitan dengan pintu kehidupan.

3. tempat manusia hidup kekal dan abadi.

4. tempat alam kematian yang sekarang sedang dialami.

5. tentang adanya Yang Maha Luhur yang menciptakan bumi dan angkasa.

Para murid yang kebanyakan orang awam menerima dengan mentah-mentah, berlaku seperti orang kehilangan akal, sikapnya angkuh bahwa ia adalah orang pilihan sebagai murid beliau. Seperti gurunya mereka merasa bahwa hidup di dunia adalah siksaan maka tindakanya menunjukkan sebagai orang yang tidak betah hidup

Setelah menerima lima langkah ilmu tersebut, banyak murid Syekh Siti Jenar yang memilih mengakhiri kematian di dunia ini dengan cara bunuh diri atau berbuat onar agar mereka terbunuh. Murid-murid Syekh Siti Jenar merasa tidak tahan lagi berada di dunia yang selalu mengalami kesulitan, penderitaan dan kesengsaraan. Mereka merasa bosan dan muak melihat bangkai-bangkai berserakan dan berkeliaran ke mana-mana.

Bagi beliau hidup di dunia ini adalah mati yang disitu terdapat baik buruk, sakit dan enak, mujur dan celaka, surga dan dunia. Bahagia dan sempurna campur menjadi satu. Dengan adanya peraturan, maka manusia terbebani sejak lahir. Oleh karena itu, ajaran Syekh Siti Jenar sangat menekankan pada upaya mencari hidup yang abadi agar tahan mengalami hidup dunia itu. Beliau selalu mengajarkan bagaimana cara mencari moksa. Hidup ini mati karena mati adalah hidup yang sesungguhnya, karena manusia bebas dari segala derita.

Beliau memandang kehidupan di dunia ini sebagai kematian yang singgah di dalam raganya. Inilah yang membuat manusia tersesat di dalam neraka. Oleh karena itu Syekh Siti Jenar ingin segera mengakhiri kematianya di dunia dan menempuh kehidupan yang abadi.

Pandangan seperti ini ditolak oleh orang-orang yang tingkatanya masih syari’at, dengan rasionalisasi, Allah Swt memang beberapa kali bersabda dalam Al-Qur’an, bahwa setelah seseorang meninggal dunia, dia akan hidup kekal di alam lain. Misalnya surat Al-Baqoroh ayat 154 yang berbunyi:

Artinya:“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.”

Yang dimaksud hidup disini adalah hidup dalam alam yang lain yang bukan alam kita ini, di mana mereka mendapat kenikmatan-kenikmatan di sisi Allah, dan Hanya Allah sajalah yang mengetahui bagaimana keadaan hidup itu.

Dari ayat ini sama sekali tidak tersirat bahwa hidup di dunia itu sia-sia. Mereka telah berjihad dan rela mati karena Allah, kemudian setelah itu mereka hidup di alam akherat dengan menikmati jerih payahnya selama berjuang di alam dunia. Jadi jelas disini bahwa hidup di dunia dan akherat merupakan rangkaian yang saling berkaitan.

Selain itu dalam surat Adz-Dzariat ayat 56 mengatakan:



Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”

Jadi kalau beliau memandang kehidupan di dunia itu sebagai kematian, lalu orang hidup dianggap sebagai bangkai yang genthayangan, itu jelas penafsiran yang keliru atau penafsiran yang tidak berdasarkan ajaran al-Qur’an. Hidup di dunia hanya sementara waktu, paribahasanya “hanya mampir ngombe”, tetapi bukan berarti yang hanya sebentar itu tidak penting. Namun bukan berarti kita harus mencela ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar, memang kelihatannya lain dari pada yang lain tapi kalau dipikir secara mendalam semua perbedaan tidak ada yang salah karena memiliki dasar-dasar sendiri.

Dari sisi lain, Widji Saksono berpendapat bahwa faham Syekh Siti Jenar merupakan bibit Zindik, yaitu gerakan politik yang menentang atau melemahkan gerakan Islam yang dipimpin oleh walisongo. Pada waktu itu Zindiq merupakan gerakan politik yang datang dari kaum atheis, hindu, budha atau gerakan lain yang tidak rela melihat majapahit jatuh. Sikap ingin mempertahankan nilai-nilai Hidhu-Budha pada ajaran Syekh Siti Jenar maupun murid-muridnya dapat dilihat dari langgam pangkur yang dikutib Dr Rinkes sebagai berikut:





Kang kapindo aja sira, ngrusak barang tinggalan barang dingin, kaya rontal sastrayu, tulis-tulis neng sela, kayu watu patilasan, ywa kelebur, wharuhanira bangsa jawa, budine tan bisa enting. Kang kaping tri mbok menawa, kowe rujuk buangen masjid iki, sirnakna serana latu, sun owel turunanira, nora wurung tembe kanut mendem kulhu, edan kedanan mring Allah, nganggit-anggit nora panggih.



Ungkapan diatas sangat jelas menunjukkan keberatan dan kekhawatiran Syekh Siti Jenar akan hilangnya tradisi agama Hindhu-Budha yang akan diganti dengan agama Islam. Pada awal abad ke-16 rasa khawatir tersebut sudah memuncak, karena kekuasaan kerajaan Hindhu Majapahit telah digantikan oleh kerajaan Islam Demak Bintara. Begitu sengitnya sikap Syekh Siti Jenar demi menyaksikan meningkatnya perkembangan Islam, sampai-sampai dia ingin menggerakkan masyarakat untuk membakar masjid yang sudah mulai berdiri di mana-mana.

Yang paling unik dari ajaran beliau adalah cara dan kemampuanya dalam memilih mati. Dalam serat Syekh Siti Jenar disebutkan bahwa cara mati Syekh Siti Jenar dengan murid-muridnya membuat para wali terkejut. Namun boleh jadi hal itu hanya merupakan simbolik dengan pesan tertentu. Boleh jadi juga hal itu merupakan siasat walisongo dan raja Demak untuk menghindari tanggung jawab sebagai penyebab kematian mereka. Atau itu sekedar simbol dari para pembangkang untuk tidak mau kehilangan muka dan bukti bahwa mereka tetap tak terkalahkan.

Jika Al-hallaj mati dipancung kepalanya, Syekh Siti Jenar memilih sendiri cara matinya. Akan tetapi cara mati beliaupun penuh dengan kontrofersi. Dalam kaitan dengan kematianya, hal ini apa benar beliau memang mati dihukum pancung atau hanya mengelabui walisongo. Setelah ia matipun ada cerita aneh bahwa mayatnya berubah menjadi anjing kudisan, yang menurut cerita kejadian ini dilakukan oleh walisongo untuk meyakinkan kepada masyarakat akan kesesatan Syekh Siti Jenar.

Dilihat dari segi akhlak, beliau dianggap menyimpang dari akidah akhlak pada umumnya. Menurut Zoetmulder, praktik yang dijalankan murid-murid beliau, antara lain:

1. Lebe Lontang

2. Seks bebas

3. Cabul

Sesuai dengan diatas, pandangan Syekh Siti Jenar terhadap seks sangatlah bebas, tidak ada haram-halal, boleh sesukanya mengadakan hubungan intim meskipun bukan suami-istri. Padahal di antara agama Al Kitab, sudah jelas Islamlah yang paling ketat dalam mengatur hubungan pria-wanita. Hanya ajaran Islam yang mengenal istilah aurat dalam hal berpakaian, juga istilah mukhrim yang antara lain mengatur pergaulan.

Namun salah satu pendapat mengatakan bahwa beliau adalah wali yang terkenal setelah sunan Kalijogo, sehinggga delapan wali kecuali sunan Kalijogo kalah denganya.

Ada pula yang berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar hanya nama simbolik yang dipergunakan walisongo untuk melambangkan sifat-sifat tercela yang harus dijauhi oleh setiap muslim. Jadi kisah-kisah disekitar kematian beliau yang aneh-aneh itu hanya untuk membentuk opini masyarakat Islam agar tidak mudah terpengaruh oleh ajaran-ajaran yang berbeda dengan Al-qur’an.

Melihat bahwa dalam pelbagai serat dan babat, nama Syekh Siti Jenar disebut dan disertai dengan nama muridnya secara jelas, secara hipotesis bisa dikatakan bahwa jenar bukan tokoh fiktif. Perselisihan dikalangan para ahli tentang Siti Jenar sebagai tokoh fiktif atau bukan pada hemat penulis disebabkan perbedaan antara yang termuat pada peninggalan yang ada.

Sedangkan dibidang politik, ketundukan mutlak hanya taat kepada Allah yang dijadikan oleh pengikut Syekh Siti Jenar untuk membangkanng kekuasaan Demak Bintara.pandangan ini menjadi dasar para elit keturunan majapahit yang yang berada diluar istana demak untuk mendukung ajaran Syekh Siti Jenar, misalnya Ki Ageng Pengging. Jadi isu Syekh Siti Jenar sebenarnya hanya dijadikan motivator untuk untuk menggerakkan masyarakat yang masih mencintai kerajaan Majapahit menentang kerajaan Demak Bintara.

Jadi ajaran syekh siti jenar yang paling kontroversial terkait dengan konsepnya tentang hidup dan mati, tuhan dan kebebasan, serta tempat berlakunya syariat tersebut. Beliau memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai kematian. sebaliknya, yaitu apa yang disebut umum sebagai kematian justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi.

Konsekuensinya, ia tidak dapat dikenai hukum yang bersifat keduniawian (hukum negara dan lainnnya), tidak termasuk didalamnya hukum syariat peribadatan sebagaimana ketentuan syariah. dan menurut ulama pada masa itu yang memahami inti ajaran siti jenar bahwa manusia di dunia ini tidak harus memenuhi rukun islam yang lima, yaitu: syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. baginya, syariah itu baru berlaku sesudah manusia menjalani kehidupan paska kematian. syekh siti jenar juga berpendapat bahwa ALLAH itu ada dalam dirinya, yaitu di dalam budi. pemahaman inilah yang dipropagandakan oleh para ulama pada masa itu. mirip dengan konsep Al-Hallaj (tokoh sufi islam yang dihukum mati pada awal sejarah perkembangan islam sekitar abad ke-9 masehi) tentang hulul yang berkaitan dengan kesamaan sifat manusia dan tuhan. dimana pemahaman ketauhidan harus dilewati melalui 4 tahapan ;

1. syariat (dengan menjalankan hukum-hukum agama spt sholat, zakat dll).

2. tarekat, dengan melakukan amalan-amalan spt wirid, dzikir dalam waktu dan hitungan tertentu

3. hakekat, dimana hakekat dari manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan.

4. ma'rifat, kecintaan kepada allah dengan makna seluas-luasnya.

Bukan berarti bahwa setelah memasuki tahapan-tahapan tersebut maka tahapan dibawahnya ditiadakan. pemahaman inilah yang kurang bisa dimengerti oleh para ulama pada masa itu tentang ilmu tasawuf yang disampaikan oleh syekh siti jenar. ilmu yang baru bisa dipahami setelah melewati ratusan tahun pasca wafatnya sang syekh. para ulama mengkhawatirkan adanya kesalahpahaman dalam menerima ajaran yang disampaikan oleh syekh siti jenar kepada masyarakat awam dimana pada masa itu ajaran islam yang harus disampaikan adalah pada tingkatan 'syariat'. sedangkan ajaran siti jenar sudah memasuki tahap 'hakekat' dan bahkan 'ma'rifat'kepada allah (kecintaan dan pengetahuan yang mendalam kepada allah). oleh karenanya, ajaran yang disampaikan oleh siti jenar hanya dapat dibendung dengan kata 'sesat'.

Dalam pupuhnya, syekh siti jenar merasa malu apabila harus berdebat masalah agama. alasannya sederhana, yaitu dalam agama apapun, setiap pemeluk sebenarnya menyembah zat yang maha kuasa. hanya saja masing - masing menyembah dengan menyebut nama yang berbeda - beda dan menjalankan ajaran dengan cara yang belum tentu sama. oleh karena itu, masing - masing pemeluk tidak perlu saling berdebat untuk mendapat pengakuan bahwa agamanya yang paling benar.

Syekh siti jenar juga mengajarkan agar seseorang dapat lebih mengutamakan prinsip ikhlas dalam menjalankan ibadah. orang yang beribadah dengan mengharapkan surga atau pahala berarti belum bisa disebut ikhlas.

Seperti ajaranya yang sering dikenal dengan manunggaling kawula gusti

dalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat bahwa syekh siti jenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai tuhan. manunggaling kawula gusti dianggap bukan berarti bercampurnya tuhan dengan makhluknya, melainkan bahwa sang pencipta adalah tempat kembali semua makhluk. dan dengan kembali kepada tuhannya, manusia telah menjadi sangat dekat dengan tuhannya.







Dalam ajarannya, 'manunggaling kawula gusti' adalah bahwa di dalam diri manusia terdapat ruh yang berasal dari ruh tuhan sesuai dengan ayat al qur'an shaad: 71-72 yang menerangkan tentang penciptaan manusia.

                   

Artinya: ketika tuhanmu berfirman kepada malaikat: "sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah. maka apabila telah kusempurnakan kejadiannya dan kutiupkan kepadanya roh ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya.”

Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh tuhan dikala penyembahan terhadap tuhan terjadi.

Manunggaling Kawulo Gusti (Bersatunya Tuhan dan Manusia) adalah ajaran yang sangat kontroversial sampai saat ini. Banyak yang mengatakan kalau Syekh siti Jenar mengaku sebagai Tuhan dengan ajarannya itu. Tetapi kini banyak ditulis oleh penulis muda muslim yang tegas menolak pencitraan yang sudah sekian ratus tahun diyakini tersebut.

Dari sebuah karya sastra benama pupuh dimana Syekh Siti Jenar mendokumentasikan pendapat dan pandangannya tentang agama Islam, banyak yang berpendapat ajaran Syekh siti Jenar ternyata memiliki kesamaan dengan pandanga islam modern yang berkembang saat ini.

Tuhan ada dimana-mana, disetiap jengkal tanah dan setiap detakan jantung manusia. Tuhan ada di dalam hati dan otak manusia adalah inti ajaran manunggaling kawulo gusti itu sebenarnya.

Perbedaan penafsiran ayat al qur'an dari para murid syekh siti inilah yang menimbulkan polemik bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam ruh tuhan, yaitu polemik paham 'manunggaling kawula gusti'.


b. Pandangan Syekh Siti Jenar terhadap syariat Islam

Kaum sufi di dalam Islam mengenal empat tingkatan dalam ibadah yaitu, syariat, tarekat, hakekat dan ma’rifat. Kelompok sufi sudah ada sejak rasulullah masih hidup dan berkembang pesat setelah beliu wafat. Seiring dengan perkembanga itu, maka di versifikasi mulai terjadi adanya aliran sufi yang mengutamakan hakekat dan ma’rifat saja. Kelompok ini cenderung mengabaikan syari’at karena hal itu dianggap sebagai ritual yang bersifat riton dan diperuntukkan bagi mereka yang kurang cerdas dalam berhubungan langsung dengan allah Swt.

Mari kita coba bandingkan dengan empat pengklasifikasian Al-Ghazali yang membagi keimanan manusia menjadi empat tingkat, yaitu:

1. para nabi, paling tinggi dan dekat dengan Allah Swt, mendapat ilmu dari wahyu.

2. Para wali, ahli tasawuf yang telah makrifat kepada Allah, sebagai insan kamil selapis dibawah tingkat nabi, mendapat ilmu dari penghayatan mistik.

3. Para ulama’, mendapat ilmu dengan cara belajar.

4. Orang awam, mendapat ilmu dengan jalan taqlid.

Syekh Siti Jenar seolah-olah menghubungkan empat tingkatan cara beribadah denga empat tingkatan keimanan menurut al-Ghazali. Disini beliau menganggap bahwa syariat hanya diperlukan oleh orang awam, tarekat oleh ulama, sedang para wali dan nabi hanya memerlukan hakekat dan ma’rifat. Merasa wali atau bahkan nabi beliau tidak merasa perlu untuk melakukan syariat.

Sementara itu secara megejek Syek Siti Jenar menyatakan bahwa ritual formal yang diatur syariat hanya penting dan berguna bagi mereka yang belum mengenal tuhan dan ajaranya. Kualitas iman para walisongo menurut beliau, baru pada tataran rendahan. Jadi Syekh Siti Jenar menganggap rendah kualitas Islam dan iman para Walisongo, kemudian menganggap Walisongo sedang mabuk kekuasaan dan duniawi.



Kembali kepada masalah syariat, para pengikutnya mengatakan bahwa beliau tidak mau mengajari sholat, karena orang yang mengerjakan sholat karena budhinya yang memerintahkan. Sedang budhi itu bisa menjadi laknat dan mencelakakan, tidak dapat dipercaya dan diturit perintahnya berubah-ubah. Menurutnya, pada waktu sholat, budhinya dapat mencuri, pada waktu dzikir budhinya melepaskan hati, menaruh hati kepada yang lain, bahkan kadang menginginkan keduniaan yang lebih. Hal ini berbeda dengan dzat Allah yang ada pada dirinya. Kerana itu tidak perlu mengucapkan syahadat, sholat dan puasa. Zakat dan haji dipandang omong kosong, sebagai kedurjanaan budindan penipuan terhadap sesama manusia. Karena itu hanya orang-orang dungu dan tidak tau saja yang mau mengikuti ajaran para wali.

Sedang menurut orang syariat pernyataan-pernyataan tersebut tudak masuk akal, karena kalau demikian berarti semua orang adalah tuhan, tentang kedurjanaan zakat dan haji, apakah beliau sudah menjalankannya? Padahal pada umumnya orang yang sudah melakukan zakat dan haji memberikan dampak yang positif. Bisa jadi pernyataan beliau tadi hanya merupakan ekspresi kekecewaan terhadap Islam, iri dengki terhadap ketenaran walisongo. Seperti seorang pendeta yang menantang Sunan Mbonang, Begawan Mintosemeru dari gunung Lawu yang menantang Sunan Giri, dan Ki Ageng Kedu yang menantang Sunan Kudus.

Tapi kita tidak boleh berburuk sangka, semua itu hanya statemen untuk menguatkan pendapat masing-masing, yang pasti Walisongo ataupun Syekh Siti Jenar adalah tokoh-tokoh hebat yang mampu membuat manusia untuk berfikir, karena tanpa adanya mereka sejarah tidak akan menjadi kontrofersi dan menarik untuk dibahas di era modern ini.

Sebenarnya inti ajaran Syekh Siti Jenar sama dgn ajaran sufi ‘Abdul Qadir al-Jilani (w.1165), Ibnu ‘Arabi (560/1165-638-1240), Ma’ruf al-Karkhi, dan al-Jili. Hanya saja ketiga tokoh tsb mengalami nasib yg baik dalam artian, ajarannya tidak dipolitisasi, sehingga dalam kehidupannya di dunia tidak pernah mengalami intimidasi dan kekerasan sebagai korban politik dan menemui akhir hayat secara biasa.

C. Peran Syekh Siti Jenar dalam Islamisasi khususnya di Jawa

Peran tasawuf dalam islamisasi di tanah air terutama di Jawa menarik untuk dicermati. Eksesnya bukan saja terkait dengan persoalan “tata krama” hubungannya dengan tuhan, tapi juga persoalan sosial-kemasyarakatan, bahkan masalah politik. Proses pembentukannya pun sedikit banyak beradaptasi dengan kehidupan spiritual sekitar awal datangnya islam, yakni tradisi hindu dan budha.

Kejawen (bahasa Jawa: Kejawan) adalah sebuah kepercayaan atau mungkin boleh dikatakan agama yang terutama dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa. Agama Kejawen sebenarnya adalah nama sebuah kelompok kepercayaan-kepercayaan yang mirip satu sama lain dan bukan sebuah agama yang terorganisir seperti agama Islam atau agama Kristen. Ciri khas utama agama Kejawen ialah adanya perpaduan antara animisme, agama Hindu dan Buddha. Namun pengaruh agama Islam dan juga Kristen nampak pula. Kepercayaan ini merupakan sebuah kepercayaan sinkretisme. Seorang ahli antropologi Amerika Serikat, Clifford Geertz pernah menulis tentang agama ini dalam bukunya yang ternama The Religion of Java. Olehnya Kejawen disebut “Agami Jawi”.

Dari pernyataan ini perlu kita tinjau Islamisasi di Jawa tidak akan berjalan, keran dalam menjalankan satu misi, apalagi misi yang sangat berat, yaitu mengislamkan penduduk Jawa, dianggap perlu bahkan sangat perlu untuk mengetahui kondisi dan sosial masyarakat pada saat itu, kalau memang penduduk Jawa pada saat itu masih memiliki kepercayaan sinkretisme, didalam membahas Islamisasi di Jawa kita tidak akan pernah lepas dari Walisongo dan Syekh Siti Jenar sang tokoh kontroversial sekaligus legendaris dalam sejarah Islam di Jawa, karena “pembangkangan tasawuf”-nya, kejawennya serta mitos kesaktian yang dimilikinya. Syekh Siti Jenar dianggap menyimpang dari ajaran Islam oleh Wali Songo ini. Kemudian, ditunjukkan bagaimana Siti Jenar menerapkan ajarannya itu dan akhirnya tidak bisa tidak bertemu dengan kekuatan ulama paling dominan, yakni Wali Songo. Sudah jelas bahwa pada saat itu, peran ulama yang terorganisir dalam Wali Songo mengambil ruang paling besar dalam legitimasi agama. Kehadiran Siti Jenar dengan ajarannya yang jauh berbeda dari “kebenaran” yang digariskan Wali Songo menjadi ganjalan besar, baik untuk penyebarluasan Islam maupun pengaruh politik Wali Songo sendiri.

Seperti isu Syekh Siti Jenar yang merupakan gerakan politik, hal ini nampak pada karya Dr A. Johns, Dr DA Rinkes, dan Dr Hoesen Djaja Diningrat. Dr. A. Jhons menyatakan bahwa sebagai akibat surutnya kerajaan Majapahit, ada hasrat yang muncul dari masyarakat untuk mengganti kedudukan kerajaan itu. Hasrat tersebut bermanifestasi melalui berbagai bentuk dan gerakan politik, antara lain berpusat di Demak di bawah kepimpinanan walisongo. Ada pula gerakan yang berpusat di pengging dan panggung di bawah kepemimpinan pangeran Handayaningrat dan putera-puteranya. Kedua wilayah itu, pengging dan panggung, mengalami pengislaman sekitar tahun 1490-1550 berkat dakwah Syekh Siti Jenar. Oleh karena itu pengaruh Syekh Siti Jenar di kedua wilayah tersebut sangat besar.

Beliau memang menjadi tokoh yang memiliki andil besar dalam islamisasi di jawa, hal ini bisa kita tinjau dari murid-muridnya antara lain Ki Ageng Tingkir, pangeran Panggung, Ki lontang Semarang, dan sebagainya, yang mana kesemuaanya adalah tokoh-tokoh penting dalam masyarakat. Dalam hal ini beliau menggunakan pendekatan teratas untuk mencapai keinginanya, yaitu dengan cara melobi tokoh-tokohnya sehingga masyarakat yang dibawah turut mengikuti pemimpin-pemimpin mereka.

Selain itu Syekh Siti Jenar orang yang pertama kali mengusung gagasan al-Hallaj dan terutama al-Jili ke Jawa. Sementara itu para wali anggota Dewan Wali menyebarluaskan ajaran Islam syar’i madzhabi yg ketat. Sebagian memang mengajarkan tasawuf, namun tasawuf tarekati, yg kebanyakkan beralur pada paham Imam Ghazali. Sayangnya, Syekh Siti Jenar tidak banyak menuliskan ajaran-ajarannya karena kesibukannya menyebarkan gagasan melalui lisan ke berbagai pelosok Tanah Jawa. Dalam catatan sastra suluk Jawa hanya ada 3 kitab karya Syekh Siti Jenar; Talmisan, Musakhaf (al-Mukasysyaf) dan Balal Mubarak.

Masyarakat yg dibangunnya nanti dikenal sebagai komunitas Lemah Abang. Dari sekian banyak kitab sufi yg dibaca dan dipahaminya, yg paling berkesan pada Syekh Siti Jenar adalah kitab Haqiqat al-Haqa’iq, al-Manazil al-Alahiyah dan al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhiri wa al-Awamil (Manusia Sempurna dalam Pengetahuan tenatang sesuatu yg pertama dan terakhir). Ketiga kitab tersebut, semuanya adalah puncak dari ulama sufi Syekh ‘Abdul Karim

al-Jili.

Terutama kitab al-Insan al-Kamil, Syekh Siti Jenar kelak sekembalinya ke Jawa menyebarkan ajaran dan pandangan mengenai ilmu sangkan-paran sebagai titik pangkal paham kemanuggalannya. Konsep-konsep pamor, jumbuh dan manunggal dalam teologi-sufi Syekh Siti Jenar dipengaruhi oleh paham-paham puncak mistik al-Hallaj dan al-Jili, disamping itu karena proses pencarian spiritualnya yg memiliki ujung pemahaman yg mirip dengan secara praktis ‘amali-al-Hallaj; dan secara filosofis mirip dgn al-Jili dan Ibnu ‘Arabi.

Syekh Siti Jenar menilai bahwa ungkapan-ungkapan yg digunakan al-Jili sangat sederhana, lugas, gampang dipahami namun tetap mendalam. Yang terpenting, memiliki banyak kemiripan dengan pengalaman rohani yg sudah dilewatkannya, serta yg akan ditempuhnya. Pada akhirnya nanti, sekembalinya ke Tanah Jawa, pengaruh ketiga kitab itu akan nampak nyata, dalam berbagai ungkapan mistik, ajaran serta khotbah-khotbahnya, yang banyak memunculkan guncangan-guncangan keagamaan dan politik di Jawa.

Itulah Syekh Siti Jenar (juga dikenal dalam banyak nama lain, antara lain Sitibrit, Lemahbang, dan Lemah Abang) seorang tokoh yang dianggap Sufi dan juga salah satu penyebar agama Islam di pulau Jawa yang sangat kontroversial di Jawa, Indonesia. Tidak ada yang mengetahui secara pasti asal-usulnya, di masyarakat, terdapat banyak varian cerita mengenai asal-usul Syekh Siti Jenar. Jadi Percaya atau tidak, dialah tokoh yang istimewa yang mampu membuat sejarah menjadi hidup dan layak diperbincangkan oleh para ilmuan muda.



BAB III

KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwasanya:

1. Asal usul Syekh Siti Jenar ada empat versi, yaitu: Pertama, bernama Syekh Abdul Jalil atau Syekh Jabaranta itu adalah putra Syekh Datuk Sholeh. Kedua, Syekh Siti Jenar berasal dari daerah Cirebon. Ayahnya seorang raja pendeta bernama Resi Bungsu. Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Ali Hasan alias Syekh Abdul Jalil. Ketiga, Syekh Siti Jenar merupakan keturunan nabi Muhammad Saw melalui jalur Siti Fatimah, Imam husen, Said Jenal Ngabidin, Muhammad Bakir, Datuk Ngisa Tuwu yang tinggal di Malaka, Syekh Datuk Salek, kemudian Syekh Lemah Abang. Keempat, Syekh Siti Jenar adalah putra dari sunan Gunungjati yang demikian besar minat dan tekunnya mengaji berbagai ilmu keislaman, terutama mistik.

2. Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling terkenal adalah Manunggaling Kawulo Gusti.

3. Peran Syekh Siti Jenar terhadap Islamisasi di Jawa dapat dilihat secara jelas di daerah Pengging dan Panggung.





DAFTAR PUSTAKA

Gatra. Majalah. Walisongo, Syiar Panjang Tanpa Pedang. 2001. Gatra. Edisi Khusus.

HTTP://WWW.INDONESIA.FAITHFREEDOM.ORG/FORUM/VIEWTOPIC.PHP?T=88

http://id.wikipedia.org/wiki/Kejawen

Mulkhan, Abdul Munir. Syekh Siti Jenar, Pergumulan Islam Jawa. 1999. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Rachimsyah. Biografi dan Legenda Walisanga. 1997. Surabaya: Penerbit Indah.

Saksono, Widji. Mengislamkan Tanah Jawa; Telaah atas Metode Dakwah Walisongo. Bandung: Mizan.

Simon, Hasanu. Misteri Syekh Siti Jenar, 2005. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Sofwan, Ririn. Wasit, Mundiri, Islamisasi di Jawa, 2000. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tjandrasasmita, Uka. Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia. 2000. Yogyakarta: Menara Kudus.
logoblog