Pendekatan Normatif



Pendekatan Normatif

Pendekatan normatif adalah studi Islam yang memandang masalah dari sudut legal formal dan atau normatifnya. Maksud legal formal adalah hubungannya dengan halal dan haram, boleh atau tidak, dan sejenisnya. Sementara normatif adalah seluruh ajaran yang terkandung dalam nash. Dengan demikian, pendekatan normatif mempunyai cakupan yang sangat luas. Misalnya, seluruh pendekatan yang digunakan oleh ahli ushul fikih (usuliyin), ahli hokum Islam (fuqaha’), ahli tafsir (mufassirin), dan ahli hadist (muhaditsin) yang berusaha menggali aspek legal-formal dan ajaran Islam dari sumbernya adalah termasuk pendekatan normatif.[1]
Ada beberapa teori popular yang dapat digunakan dengan pendekatan normatif:[2]
1.      Teori teologis-filosofis, memahami al Quran dengan cara menginterpretasikannya secara teologis filosofis, yakni mencari nilai-nilai obyektif dari subjektifitas al Quran.
2.      Teori normatif-sosiologis, memahami nash (al Quran dan sunnah Nabi SAW) ada pemisahan antara nash normatif dengan nash sosiologis. Nash normatif adalah nash yang tidak bergantung pada konteks, sedangkan nash sosiologis adalah nash yang pemahamannya harus disesuaikan dengan konteks (situasi dan kondisi yang ada).
Charles J. Adams membuat formulasi baru pendekatan dalam pengkajian Islam. Menurutnya, terdapat dua pola pendekatan untuk mengkaji Islam, yaitu pendekatan normatif dan pendekatan deskriptif.
Pendekatan normatif oleh Adams diklasifikasi menjadi tiga bagian, yaitu:[3]
1)      Pendekatan missionaris tradisional
Pada abad 19, terjadi gerakan misionaris besar-besaran yang dilakukan oleh gereja-gereja, aliran, dan sekte dalam Kristen. Gerakan ini menyertai dan sejalan dengan pertumbuhan kehidupan politik, ekonomi, dan militer di Eropa yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat di Asia dan Afrika. Sebagai konsekuensi logis dari gerakan itu, banyak misionaris dari kalangan Kristen yang pergi ke Asia dan Afrika mengikuti kolonial (penjajah) untuk merubah suatu komunitas masyarakat agar masuk agama Kristen serta meyakinkan masyarakat akan pentingnya peradaban Barat.
Untuk mewujudkan tujuannya tersebut, para missionaris berusaha dengan sungguh untuk membangun dan menciptakan pola hubungan yang erat dan cair dengan masyarakat setempat. Begitu juga dengan penjajah, mereka harus mempelajari bahasa daerah setempat dan bahkan tidak jarang mereka terlibat dalam aktivitas kegiatan masyarakat yang bersifat kultural. Dengan demikian, eksistensi dua kelompok itu, missionaris tradisional dan penjajah (yang sama-sama beragama Kristen) mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap perkembangan keilmuan Islam.
Dalam konteks itu karena adanya relasi yang kuat antara Islam dan missionaris Kristen, maka Charles J. Adams berpendapat bahwa studi Islam di Barat dapat dilakukan dengan memanfaatkan missionaris tradisional itu sebagai alat pendekatan yang efektif. Dan inilah yang kemudian disebut dengan pendekatan missionaris tradisional “traditional missionaris approach” dalam studi Islam.

2)      Pendekatan apologetik
Di antara ciri utama pemikiran Muslim pada abad kedua puluh satu adalah “keasyikannya” (preoccupation) dengan pendekatan apologetik dalam studi agama. Dorongan untuk menggunakan pendekatan apologetik dalam khazanah pemikiran keislaman semakin kuat. Di sebagian wilayah dunia Islam, seperti di India, cukup sulit ditemukan penulis yang tidak menggunakan pendekatan apologetik. Perkembangan pendekatan apologetik ini dapat dimaknai sebagai respon mentalitas umat Islam terhadap kondisi umat Islam secara umum ketika dihadapkan pada kenyataan modernitas. Selain itu, apologetik ini muncul didasari oleh kesadaran seorang yang ingin keluar dari kebobrokan internal dalam komunitasnya dan dari jerat penjajahan peradaban Barat.
Menurut Adams, pendekatan apologetik memberikan kontribusi yang positif dan cukup berarti terhadap generasi Islam dalam banyak hal. Sumbangsih yang terpenting adalah menjadikan generasi Islam kembali percaya diri dengan identitas keislamannya dan bangga terhadap warisan klasik. Dalam konteks pendekatan studi Islam, pendekatan apologetik mencoba menghadirkan Islam dalam bentuk yang baik. Sayangnya, pendekatan ini terkadang jatuh dalam kesalahan yang meniadakan unsur ilmu pengetahuan sama sekali.
Secara teoritis, pendekatan apologetik dapat dimaknai dalam tiga hal yaitu:
a.       Metode yang berusaha mempertahankan dan membenarkan kedudukan doktrinal melawan para pengecamnya.
b.      Dalam teologi, usaha membenarkan secara rasional asal muasal ilahi dari iman.
c.       Apologetik dapat diartikan sebagai salah satu cabang teologi yang mempertahankan dan membenarkan dogma dengan argumen yang masuk akal.
Ada yang mengatakan bahwa apologetika mempunyai kekurangan internal. Karena, di satu pihak, apologetik menekankan rasio, sementara di pihak lain, menyatakan dogma-dogma agama yang pokok dan tidak dapat ditangkap oleh rasio. Dengan kata lain, apologetik, rasional dalam bentuk, tetapi irasional dalam isi.

3)      Pendekatan irenic
Yang ketiga ini ada semacam usaha untuk membuat jembatan antara cara pandang para orientalis terdahulu yang penuh dengan motivasi negatif dan para pengikut Islam yang merasa hasil kajian para orientalis tersebut banyak mengandung penyimpangan.
Sejak Perang Dunia II,  gerakan yang berakar dari lingkungan kegamaan dan universitas tumbuh di Barat. Gerakan itu bertujuan untuk memberikan apresiasi yang baik terhadap keberagamaan Islam dan membantu mengembangkan sikap apresiatif itu. Langkah ini dilakukan untuk menghilangkan prasangka, perlawanan, dan hinaan yang dilakukan oleh barat, khususnya Kristen Barat, terhadap Islam. Oleh karena itu, langkah praktis yang dilakukan adalah membangun dialog antara umat Islam dengan kaum Kristen untuk membangun jembatan penghubung yang saling menguntungkan antara tradisi kegamaan dan bangsa.
Salah satu bentuk dari usaha untuk harmonisasi itu adalah melalui pendekatan irenic. Usaha ini pernah dilakukan oleh uskup Kenneth Gragg, seorang yang mumpuni dalam kajian Arab dan teologi. Melalui beberapa seri tulisannya yang cukup elegan dan dengan gaya bahasa yang puitis, ia telah cukup berhasil menunjukkan kepada Barat secara umum dan kaum Kristen secara khusus tentang adanya keindahan dan nilai religius yang menjiwai tradisi Islam. Karenanya, menjadi tugas bagi kaum Kristen untuk bersikap terbuka terhadap kenyataan ini.
Tokoh lain yang telah mengembangkan pendekatan ini adalah W.C. Smith yang mensosialisasikan konsep ini melalui buku dan tulisan-tulisannya yang lain. Smith sangat concern pada persoalan diversitas (perbedaan) agama. Menurutnya, perbedaan agama “religious diversity” merupakan karakter dari rasa tau bangsa manusia secara umum, sedang eksklusifitas agama “religous exclusiviness” merupakan karakter dari sebagian kecil dari umat manusia.
Berkenaan dengan realitas perbedaan agama, Smith membuat tiga model pertanyaan, yaitu: pertama, pertanyaan ilmiah “scientific question” untuk menanyakan apa bentuk perbedaan, mengapa, dan bagaimana perbedaan itu dapat terjadi. Kedua, pertanyaan teologis “theological question” untuk mengetahui bagaimana seseorang dapat memahami normativitas agama dan ketiga, pertanyaan moral “moral question” yang mengetahui sikap seseorang terhadap perbedaan kepercayaan.
Tentu saja, dua pendekatan ini tidak muncul seketika. Adams menjelaskan bahwa dua pendekatan ini terilhami oleh realitas ketika seseorang mengkaji Islam (atau agama lainnya) dengan tujuan agar lebih kokoh keislaman dan kepercayaannya “proselytizing” pada satu sisi, dan pada sisi yang lain, ada yang didasarkan atas dorongan intelektual “intellectual curiosity” semata karena melihat adanya persoalan agama yang cukup kompleks dalam konteks sosial.


[1] Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam (Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009), hlm. 197-198
[2] Ibid, hlm. 199
[3] Muhammad Latif Fauzi, Pendekatan Normatif dan Deskriptif dalam Studi Islam (Telaah atas Karya Charles J. Adams), file:///G:/New%20folder/Center%20For%20Islamics%20Studies%20-%20Pendekatan%20Normatif%20dan%20Deskriptif%20dalam%20Studi%20Islam%20%28Telaah%20atas%20Karya%20Charles%20J.%20Adams%29.htm, diakses 2 Maret 2012.
logoblog
Previous
« Prev Post