Pendekatan Sejarah



Pendekatan Sejarah


Sejarah adalah suatu ilmu yang didalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur, tempat, waktu, objek, latar belakang dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini, segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, dimana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.[1]
            Menurut Kuntowijoyo sejarah adalah rekonstruksi masa lalu. Jangan dibayangkan bahwa membangun kembali masa lalu itu untuk kepentingan masa lalu sendiri, itu antikuarianisme dan bukan sejarah. Juga jangan dibayangkan masa lalu yang jauh. Kata seorang sejarahwan Amerika, sejarah itu ibarat orang naik kereta menghadap ke belakang, Ia dapat melihat ke belakang, kesamping kanan dan kiri. Satu-satunya kendala ialah ia tidak bisa melihat ke depan.[2]
Pendekatan sejarah amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Dalam hubungan ini, Kuntowijoyo telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini Islam, menurut pandekatan sejarah. Ketika ia mempelajari alQuran, ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan alQuran itu terbagi menjadi dua bagian:[3]
1.      Berisi konsep-konsep
2.      Berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan
Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Seperti orang yang ingin memahami alQuran maka ia harus memahami ilmu Asbabun Nuzul yang pada intinya berisi sejarah turunnya alQuran, dengannya seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu dan ditujukan untuk memelihara syariat dan kekeliruan memahaminya.[4]
Ada beberapa teori dalam menggunakan pendekatan sejarah:[5]
1.      Idealist approach, seorang peneliti yang berusaha memahami dan menafsirkan fakta sejarah dengan mempercayai secara penuh fakta yang ada tanpa keraguan.
2.      Reductionalist approach, seorang peniliti yang berusaha memahami dan menafsirkan fakta sejarah dengan penuh keraguan.
Selain dua diatas ada beberapa teori lagi yang digunakan dalam pendekatan sejarah, yaitu:[6]
1.      Diakronik, penelusuran sejarah dan perkembangan satu fenomena yang sedang diteliti. Misalnya, kalau sedang meneliti konsep riba menurut Muhammad Abduh, diakroninya adalah harus lebih dahulu membahas kajian-kajian orang sebelumnya yang pernah membahas riba.
2.      Sinkronik, kontekstualisasi atau sosiologis kehidupan yang mengitari fenomena yang sedang diteliti. Misalnya, konsep riba Muhammad Abduh, maka sosial kehidupan Muhammad Abduh dan sosial kehidupan tokoh-tokoh yang pernah membahas fenomena yang sama juga harus dibahas.
3.      Sistem nilai, budaya sang tokoh dan budaya dimana dia hidup.
Maka penelitian dengan teori diakroni, sinkronik dan sistem budaya adalah penelitian yang menelusuri latar belakang dan perkembangan fenomena yang diteliti lengkap dengan sejarah sosio historis dan nilai budaya yang mengitarinya.
            Sumber penelitian dengan menggunakan pendekatan historis dibagi menjadi sumber primer dan sumber skunder. Adapun  sumber primer dapat melalui dokumen, prasasti dan orang-orang yang terlibat langsung, sedangkan sumber skunder adalah orang-orang yang tidak terlibat langsung karena dia mendapat informasi dari sumber primer.
            Sejarah adalah fakta yang benar-benar terjadi bukan yang seharusnya terjadi, ia adalah realitas bukan idealitas. Sejarah itu memiliki guna intrinsik dan ekstrinsik. Adapun guna intrinsik diantaranya sejarah sebagai ilmu, sebagai cara mengetahui masa lalu, sebagai pernyataan danpendapat serta sebagai profesi.[7]
            Guna sejarah secara ekstrinsik diantaranya sejarah sebagai pendidikan moral, penalaran, politik, kebijakan, perubahan, masa depan, keindahan dan ilmu bantu, latar belakang, rujukan dan bukti.[8]
            Peneliti dengan menggunakan pendekatan sejarah tidak dilarang memiliki sifat subjektifitas, karena itu fitrah manusia. Namun, yang tidak diperbolehkan ketika peneliti memiliki sifat subjektifisme. Maka perlu dibedakan antara subjektifisme dan subjektifitas. Jika sampai terjadi subjektifisme maka muncullah kritik sejarah yang digunakan sebagai kritik terhadap sejarah saat memahami sejarah, yang menurut Mukti Ali menggunakan komparasi, sehingga akan dapat dilihat mana yang obyektif, subyektifitas dan subyektifisme.



Daftar Rujukan

Nata, Abuddin. 2010. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali Press.

Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Budaya.

Nasution, Khoiruddin. 2009. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: ACAdeMia+Tazzafa.


[1] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hlm. 46-47
[2] Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1995), hlm. 17
[3] Ibid, hlm. 47
[4] Ibid, hlm. 48
[5] Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam (Yogyakarta: ACAdeMia+Tazzafa, 2009), hlm. 223
[6] Ibid, hlm. 223
[7]Ibid, hlm. 19
[8] Ibid, hlm. 24
logoblog
Previous
« Prev Post