PEMIKIRAN KLASIK (Syi'ah Dan Khawarij)
Aliran Khawarij adalah salah
satu pemikiran klasik dalam Islam yang muncul pada saat terjadinya pertentangan
imamah antara pengikut Mu’awiyah
dengan pengikut Ali, yang kemudian berujung dengan diselenggarakannya majlis tahkim. Dalam upaya perdamaian
tersebut yang dipertentangkan adalah tentang siapakah yang berhak menggantikan
khalifah setelah khalifah Utsman bin Affan meninggal.
Selain Khawarij terdapat
juga pemikiran klasik lainnya yaitu Syi’ah. Syi’ah adalah gerakan politik dan
pemikiran yang setia terhadap Ali bin Abi Thalib, yang memiliki pandangan
teologis bahwa yang berhak menggantikan kursi kekhalifahan setelah nabi
Muhammad SAW wafat adalah Ali bin Abi Thalib beserta keturunannya. Sedangkan
Khawarij adalah gerakan pemikiran dan politik yang menentang adanya majlis tahkim termasuk semua hasil yang
diputuskannya. Mereka menganggap, bahwa orang-orang yang mengikuti bahkan
menyepakati hasil majlis tahkim itu telah menyimpamg dari ajaran Islam (dosa
besar), dan bahkan dihukumkan kafir. Sebenarnya, para pengikut Khawarij adalah
pengikut setia Ali bin Abi thalib.
Uraian singkat diatas
menjadi awal pemakalah untuk menulis pemikiran-pemikiran Syi’ah dan Khawarij.
Namun, disini akan lebih difokuskan pada pembahasan asal-usul dan
perkembangannya serta buah pikirannya dalam hal politik dan teologi. Kedua
aliran ini mulanya berangkat dari ranah politik dan akhirnya berlabuh pada
ranah teologi.
PEMBAHASAN
A. Lahirnya Aliran Syi'ah
Dan Khawarij
1. Lahirnya Syi'ah
Syi'ah menurut bahasa berarti "sahabat" atau
"pengikut". Menurut Macdonal, para pengikut atau pendukung Ali ini
tidak pernah mau menerima penamaan diri mereka dengan Syi’ah, sebagai satu
golongan atau sekte; kaum Sunnilah yang memberi nama Syi’ah kepada mereka itu
sebagai satu ejekan. Tetapi menurut Watt penamaan Syi’ah terhadap para
pendukung dan pengikut Ali itu bukanlah diciptakan oleh lawan-lawan mereka,
termasuk kaum Sunni, namun oleh mereka sendiri. Lepas dari perbedaan ini, asy
Syahrastani memberi batasan bahwasanya Syi'ah adalah nama kelompok bagi mereka
yang menjadi pengikut Ali.[1]
Mengenai lahirnya Syi’ah, terdapat beberapa pendapat
diantaranya:
a)
Sebagaimana dikutip oleh Abu Bakar
Atjeh, dengan lahirnya Nash mengenai pengangkatan Ali bin Abi Thalib oleh nabi
Muhammad sebagai khalifah sesudahnya, nash yang dimaksudkan disini antara lain
mengenai kisah perjamuan makan dan minum yang diselenggarakan oleh nabi di
rumah pamannya Abu Thalib, yang dihadiri oleh 40 orang keluarganya, dalam
perjamuan tersebut belau menyatakan “inilah Ali saudaraku, penerima wasiatku
dan khalifahku untuk kalian, oleh karena itu dengarkan dan taati perintahnya”.
Pernyataan ini konon disampaikan nabi sesudah Ali menerima tawaran beliau
sebagai khalifahnya. Nas tersebut tidak terdapat dalam kitab Sahih al Bukhari dan Sahih Muslim, karena itu golongan Sunni menolak nash tersebut bila
dijadikan dalil untuk mengklaim kekhalifahan Ali sebagaimana dikehendaki oleh
golongan Syi’ah. Sebaliknya kaum Syi’ah menuduh golongan Sunni memanipulasi
hadist shahih tersebut yang berkaitan dengan kekhalifahan Ali.[2]
b)
Syi’ah lahir pada akhir masa
pemerintahan khalifah Usman bin Affan,[3] tumbuh
dan bertambah tersebar dalam masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib.
c)
Syi’ah lahir pada hari arbitrase
antara pihak Ali dan Muawiyah dalam perang Shiffin atau biasa dikenal dengan
Yaumul Tahkim.[4]
Syi’ah sebagai aliran keagamaan yang bersifat politis
secara utuh dan dilihat dari aspek ajaran dan doktrin politiknya yaitu hak dan
legitimasi kekhalifahan pada keturunan Ali dan Fatimah, sebab dari segi doktrin
inilah aliran Syi’ah tampak lebih jelas, berbeda dengan identitas sekte-sekte
Islam lainnya. Dan munculnya doktrin Syi’ah seperti ini bermula sejak timbulnya
tuntutan penduduk Kufah (pendukung Ali) agar masalah kekhalifahan dikembalikan
kepada keluarga khalifah atau ahlul bait dari tangan orang yang dianggap telah merampasnya.[5]
Dari penerapan doktrin tersebut, pemakalah
memilih pendapat dari tulisan Nourouzzaman Shiddiqi bahwa isu
politik hak legitimasi ahlul bait untuk jabatan khalifah memang mereda
sejak Ali memberikan bai’atnya kepada Abu Bakar sampai dengan berakhirnya masa
pemerintahan Umar bin Khatab. Memasuki masa pemerintahan Ustman bin Affan isu
ini mulai mengeras lagi. ‘Abdullah bin Saba’, seorang asal Yahudi, dengan
maksudnya sendiri berkampanye bahwa hak Ali telah terampas oleh orang lain.
Dalam kampanyenya, Abdullah bin Saba’ tidak tanggung-tanggung sampai dia
mengatakan bahwa Ali bukan saja orang yang paling berhak untuk jabatan Imam,
bahkan Ali adalah tuhan.
Setelah Ali wafat, terbunuh dalam bulan Januari
41H/661 M, terjadilah pertarungan berebut kekuasaan politik antara pendukung-pendukung
Ali dengan pendukung Mu'awiyah, atau jika dilihat dari segi lokasi, pertarungan
antara penduduk Iraq (Ali) dengan pendukung Syiria (Mu’awiyah). Orang-orang
Kufah menuntut agar hak jabatan keimanan tetap dipegang oleh keluarga Ali.
Mereka merealisasikan tuntutannya ini dengan mengangkat al-Hasan putera Ali
sebagai Khalifah (Imam). Peristiwa pengangkatan al Hasan sebagai Imam inilah
yang menjadi awal doktrin politik Syi'ah.[6]
Setelah kematian Hasan bin Ali, maka diangkatlah
Husain bin Ali sebagai imam. Husain tampak memiliki semangat dan daya juang
seperti yang dimiliki oleh ayahnya, namun pada 689 M Husain tewas diujung
pedang Yazid di padang Karbala. Kematiannya bermula dari banyaknya surat
penduduk Kufah yang menyatakan janji setia, dan kematiannya dianggap syahid.
Kematian Husain menimbulkan unsure baru dalam moral beragama Syi’ah Kufah,
yaitu mereka merasa atas kematian tersebut dan berkeinginan menebus dosan
mereka dengan mengangkat senjata menuntut bela pada penguasa Mu’awiyah.
Kemudian ketidakpuasan kaum mawali dari Persia terhadap penguasa
Umayyah, mendorong mereka memberikan arah kepada kegiatan-kegiatan
sosio-politik kaum Syi’ah, sejak itulah kaum Syi’ah mengalami perubahan besar
dan mulai mengarahkan gerakannya, dari gerakan politik semata kepada gerakan
keagamaan yang bercorak kemadzahaban.
2. Lahirnya
Khawarij
Khawarij artinya orang-orang yang pergi ke luar atau
memisah diri, atau bisa juga diartikan dengan si pemberontak. Kini kata
Khawarij telah mempunyai makna khusus yaitu orang-orang yang memisahkan diri
dari Ali.[7]
Ada pendapat dari kalangan Khawarij
yang mengatakan bahwa kata khariji
terambil dari kata yakhruju yang
terdapat dalam al Qur'an, surat an Nisa’ ayat 100, yang maknanya yaitu orang
yang meninggalkan rumah (kampung halaman) demi karena Allah dan rasulNya
(muhajirun).[8]
Dengan demikian mereka memaknakan khawarij
sama dengan muhajirun, yakni
orang yang meninggalkan Makkah berhijrah ke Yatsrib (Madinah) bersama
Rasulullah. Dalam pengertian yang seperti inilah mereka menyebutkan tempat-tempat
yang mereka tuju dengan muhajar atau darul hijrah.[9]
Pada tahun 37/657, Mu'awiyah
gubernur Damaskus dan Syiria memberontak terhadap imam Ali bin Abi Thalib.
Tindakan awal pembangkangannya ialah penolakannya terhadap keputusan Ali yang
memberhentikannya dari jabatan gubernur. Sikap pembangkangan Mu'awiyah ini
memaksa Ali mengambil tindakan paksa. Inilah yang menyebabkan terjadinya
pertempuran di Shiffin pada bulan Mei 37/657.
Sesungguhnya, sebelum pertempuran
meletus Ali telah berupaya menempuh jalan lunak. Namun Mu'awiyah mengajukan
tuntutan yang terlalu berat untuk dipenuhi oleh Ali. Mu'awiyah mengajukan
tuntutan:[10]
a) Ekstradisi
dan penghukuman terhadap para pelaku pembunuhan Amirul Mukminin 'Utsman bin
'Affan.
b) Pengunduran
diri Ali dari jabatan Imam (khalifah) dan dibentuk sebuah syura untuk memilih
khalifah baru.
Tuntutan Mu'awiyah yang memojokkan Ali
inilah yang menyebabkan pertempuran tak dapat dihindari.
Pada tanggal 26 Juli 657 M, pasukan
sayap kanan Ali dibawah pimpinan Malik al Asytar telah berhasil mengobak abrik
pasukan Mu'awiyah yang memaksanya meminta genjatan senjata dan berdamai dengan
menjunjung al Qur'an. Ali pada mulanya menolak permintaan genjatan senjata ini,
karena maklum permintaan itu hanyalah satu muslihat untuk tarik nafas. Akan
tetapi Ali tidak mampu menolak desakan pendukung-pendukungnya sendiri, terutama
dari orang-orang salih, yang menganggap adalah satu perbuatan tercela dan tidak
sesuai dengan ajaran Islam menolak permintaan damai apalagi sesama Muslim yang
sama-sama berpegang pada al Qur'an.[11]
Memang ada dua versi tentang
terjadinya genjatan senjata Shiffin ini. Menurut sejarawan Khawarij, kehendak
untuk berdamai ini datang dari Ali sendiri. Padahal mereka sejak semula
menolaknya. Sedangkan menurut sejarahwan Sunny, Ali dipaksa oleh pengikutnya
yang kemudian menjadi golongan Khawarij itu, untuk berdamai bahkan ada pula
yang berpendapat, bahwa yang terdesak dalam pertempuran Shiffin ini adalah
pihak Ali. Karena jika dilihat pada perjalanan sejarah berikutnya, hasil Tahkim
Shiffin sangat merugikan Ali. Tahkim itu seakan sebuah sekte dari Mu'awiyah.
Adalah tidak logis jika pihak pemenang didikte oleh pihak yang kalah.
Terlepas dari siapa yang kalah dan
siapa yang menghendaki perdamaian, namun yang jelas, genjatan senjata dan
perdamaian ini telah menempatkan Ali pada posisi yang sangat buruk. Golongan
tentara meminta agar Ali menunjuk Abu Musa al Asy'ari sebagai wakilnya dalam
perundingan dengan Mu'awiyah, padahal Ali sendiri menghendaki 'Abdullah ibn
'Abbas atau Malik al Asytar yang mewakilinya. Namun Ali terpaksa mengabulkan
tuntutan golongan tentaranya. Golongan tentara menghendaki agar Abu Musa al
Asy'ari yang mewakilinya dengan pertimbangan bahwa Abu Musa nampaknya cenderung
kepada Ahlul Qurra'. Disamping itu
Mu'awiyah menunjuk 'Amr bin Ash, seorang perunding cerdik dan gigih serta
loyal, sebagai wakilnya.
Akibatnya, kelompok penting dari
kubu Ali, sebagian besarnya Ahlul Qurra'
dari banu Tamim, memprotes hasil perundingan itu dengan mengemukakan dalil La hukma illa lillah (tidak ada hukum
kecuali hukum Allah), yang kemudian menjadi masyhur sebagai slogan mereka.
Mereka menutut agar Ali menolak bunyi perjanjian itu. Karena desakan mereka
tidak terpenuhi, maka mereka pun memisahkan diri dan lahirlah golongan Khawarij
itu.[12]
Orang-orang Khawarij ini meninggalkan Kufah pergi ke luar kota menuju desa
Harura yang tidak seberapa jauh dari Kufah, dari nama desa Harura inilah maka
untuk pertama kali mereka dikenal dengan nama al Haruriyah al Muhakkimah. Desa
inilah mereka membentuk organisai sendiri dan memilih Abdullah ibn Wahb al
Rasibidari banu ‘Azd sebagai pemimpin mereka. Sejak itu Khawarij memulai
gerakan-gerakan mereka yang ekstrim yang banyak menumpahkan darah kaum muslim.[13]
B.
Sekte-sekte Syi'ah dan Khawarij
- Sekte Syi'ah
Kendati Syi'ah telah terbagi-terbagi dalam sekte yang
jumlahnya hampir tidak terhitung, tetapi menurut al Baghdadi pengarang kitab al Farqu baina al Firaq, secara umum
mereka terbagi menjadi empat sekte dan masing-masing dari keempat sekte
tersebut terbagi pula menjadi beberapa sekte kecil. Hanya dua sekte di antara
mereka itu yang dapat dimasukkan ke dalam golongan umat Islam, yaitu sekte
Zaidiyah dan Imamiyah. Adapaun 4 sekte itu adalah:[14]
a)
Ghulat (ekstremis)
Syi'ah
kelompok ini hampir dapat dikatakan telah punah. Mereka antara lain:
1)
As Sabaiyah
Menurut
asy Syahrastany, mereka adalah pengikut-pengikut Abdullah bin Saba' yang konon
pernah berkata kepada Sayyidina Ali: "Anta Anta," yakni engkau
adalah tuhan. Dia juga menyatakan dan mempopulerkan keyakinan bahwa Ali ra.
Memiliki tetesan ketuhanan. Dia menjelma melalui awan. Guntur adalah suaranya,
kilat adalah senyumnya. Dia kelak akan turun kembali ke bumi untuk menegakkan
keadilan sempurna. Aliran kepercayaan yang serupa dengan ini bermacam-macam dan
bercabang-cabang.
2)
Al Khaththabiyah
Mereka adalah penganut aliran Abu al Khathtab al
Asady, yang menyatakan bahwa imam Ja'far ash Shadiq dan leluhurnya adalah
tuhan. Imam Ja'far sendiri mengingkari bahkan mengutuk kelompok ini. Karena
sikap Imam Ja'far yang tegas itu, maka pimpinannya, yakni Abu al Khaththab
mengankat dirinya sebagai imam. Ia mengajarkan bahwa para nabi adalah tuhan,
bahkan imam Ja'far dan para leluhur beliau pun dijadikannya tuhan. Al
Khaththabiyah terbagi juga pada sekian kelompok yang berbeda-beda. Sebagian
diantara mereka percaya bahwa dunia itu kekal, tidak akan binasa; surga adalah
kenikmatan duniawi, mereka tidak mewajidkan shalat dan membolehkan minuman
keras.
3)
Al Ghurabiyah
Cabang kelompok ini, antara lain percaya bahwa
sebenarnya Allah mengutus malaikat Jibril as kepada Ali bin Abi Thalib ra,
tetapi malaikat itu keliru atau bahkan berkhianat sehingga menyampaikan wahyu
kepada Nabi. Karena itu, mereka mengutuk malaikat Jibril as. Sambil berkata:
"khana al Amin" (yang dipercayai
telah berkhianat). Almarhum Ali Syari'ati, pemikir Syi'ah kontemporer,
berkomentar: "jika Jibril memang salah dalam menyampaikan wahyu yang
pertama kali, mengapa ia mengulangi kesalahannya selama dua puluh tiga tahun?
(Yakni sejak masa turunnya wahyu pertama hingga terakhir). Atau jika Jibril
telah berkhianat, mengapa Allah tidak memecatnya dari tugasnya sebagai
penyampai wahyu.
4)
Al Qaramithah
Kelompok ini dinisbahkan kepada seseorang yang
bermukim di Kufah, Irak, yang bernama Hamdan Ibn al Asy'at, dan dikenal luas
dengan gelar Qirmith (si pendek), karena perawakan dan kakinya sangat menonjol
pendeknya. Kelompok ini pada mulanya adalah kelompok yang terpengaruh oleh
aliran Syi'ah Ismailiyah.
b)
Ismailiyah
Syi’ah
ini tersebar dalam kelompok minoritas di sekian banyak Negara, antara lain
Afganistan, India, Pakistan, Suriah dan Yaman, serta beberapa negara Barat
seperti Inggris dan Amerika Utara.
Kelompok
ini meyakini bahwa Ismail, putra Imam Ja’far ash Shadiq, adalah Imam yang
menggantikan ayahnya Ja’far ash Shadiq yang merupakan imam keenam dari aliran
Syi’ah secara umum.[15]
c)
Zaidiyah
Golongan
ini adalah pegikut Zaid ibn Hasan ibn Ali ibn Husain ibn Ali ibn Abi Thalib.
Madzhab golongan inilah yang paling moderat da paling dekat kepada ahli sunnah.
Mungkin hal ini disebabkan karena Zaid adalah murid Washil bin Atha'.[16]
Pandangan
golongan ini terhadap diri imam juga moderat, tak adaimam yang ditentukatuha,
dan tak ada wahyu untuk menetapkan imam-imam; tetpi semua keuarrga fatimah yag
tidak suka kepada dunia, pemberani, murah hati,pandai berperang untuk kebenaran
dania mau berperang menutut chilafah maka sah menjadi imam. Golonganini
mensyaratkan seorang imam harus berani berperang menentang para amir dan
penguasa menuntut khilafah.[17]
Oleh
sebab itu jabatan khalifah menurut mereka dapat diusahakan bukan penetapan
demikian saja. Sebagaimana pula pada golongan Imamia, imam pada golongan ini
berakhir dengan imam yang bersembunyi. Mereka tidak percaya kepada
tahayul-tahayul yang melekat pada diri-diri imam sehingga mendekatkannya pada
sifat-sifat ketuhanan.
d)
Istna 'Asyariyah
Biasa
juga dikenal dengan nama Imamiyah atau Ja’fariyah, adalah kelompok Syi’ah yang
mempercayai adanya dua belas Imam yang kesemuannya dari keturunan Ali bin Abi
Thalib dan Fatimah.
Kelompok
ini merupakan mayoritas penduduk Iran. Serta ditemukan juga di beberapa daerah
di Suriah, Kuwait, Bahrain, India, juga di Saudi Arabia, dan beberapa daerah
Uni Sofyet.[18]
- Sekte Khawarij
Dalam kalangan Khawarij sendiri terjadi
perbedaan pendapat mengenai persoalan politik dan teologi, sehingga timbullah
berbagai golongan dalam kalangan Khawarij yang memecah mereka menjadi 18 hingga
20 sub sekte.[19]
Beberapa golongan dalam kalangan Khawarij:
a)
Al-Muhakkimah: Khawarij asli dan terdiri
dari pengikut-pengikut Ali.
Bagi mereka, Ali. Mu’awiyah, kedua pengantara ‘Amr ibn
‘As dan Abu Musa al Asy’ari dan semua orang yang menyetujui arbitrase bersalah
dan menjadi kafir.
b)
Al-Azariqah: ada di perbatasan Irak dan
Iran, dipimpin Nafi Ibn Azraq.[20]
Sekte ini lebih ekstrim dari al Muhakkimah, karena menganggap musyrik semua
orang Islam yang tak sepaham dengan mereka.
c)
Al-Najdat: dipimpin Najdah Ibn Amir
al-Hanafi dari Yamamah. Berangkat dari ketidak setujuan dengan pendapat al
Azariqah tentang boleh dan halalnya dibunuh anak istri orang-orang Islam yang
tak sepaham dengan mereka.
d)
Al-Ajaridah: pemimpinnya Abd al-Karim
Ibn Ajrad. Golongan ini berpendapat anak kecil tidak bersalah, tidak musyrik
menurut orang tuanya.
e)
Al-Sufriah: pemimpinnya Ziad Ibn Asfar.
Dalam paham mereka dekat sama dengan golongan Azariwah dan oleh karena itu juga
merupakan golongan yang ekstrim.
f)
Al-Ibadah: paling moderat, diambil dari
nama Abdullah Ibn Ibad. Golongan ini masih ada sampai sekarang dan terdapat di
Zanziber, Afrika Utara, Umman dan Arabia Selatan. Salah satu corak pemikiranya
Islam yang tak sefaham dengan mereka bukanlah mu’min dan bukanlah musrik,
tetapi kafir. Dengan orang Islam yang sesemikian boleh diadakan hubungan
perkawinan dan hubungan warisan, syahadat mereka dapat diterima, dan membunuh
mereka adalah haram.[21]
C. Pemikiran Politik dan Teologi
Syi’ah dan Khawarij
- Pemikiran Politik dan Teologi Syi’ah
Syi’ah telah menyerap semangat yang
lebih rasional yang mereka warisi dari aliran Mu’tazilah: mayoritas mereka
menolak paham resmi Sunni yang percaya kepada takdir, tetap membuka pintu
ijtihad pemikiran dan penafsiran atas dogma hukum secara individual dan
kreatif. Berkaitan dengan masalah hukum, Syi’ah membolehkan nikah mut’ah.[22]
Adapun prinsip dan konsep pemikiran
madzhab Syi’ah yaitu:[23]
a)
Itrah, para pengganti
nabi suci yang saleh.
b)
Ishamah, kesucian para
imam dari dosa
c)
Wishayah, pengangkatan
washi dan wali oleh Nabi SAW
d)
Wilayah, menerima
kepemimpinan seorang imam
e)
Imamah, kepemimpinan
orang-orang shaleh
f)
‘adl, keadilan dalam
semua tindakan Allah
g)
Taqiyah, menyembunyikan
dan berhati-hati dalam masalah-masalah agama disebabkan adanya
larangan-larangan atas kebebasan beragama dan beribadah dalam rezim penguasa
tirani dan zalim.
h)
Ghaybah, gaibnya imam
Mahdi
i)
Syafa’ah, pertolongan dari
salah seorang empat belas manusia suci bagi orang-orang beriman pada hari
kiamat.
j)
Ijtihad, integrasi
fatwa-fatwa hukum agama dengan evolusi dan perubahan dalam kondisi-kondisi
kehidupan manusia.
k)
Do’a, permohonan
l)
Taqlid, mengikuti ulama’
dalam masalah-masalah tekhnis keagamaan yang orang lain tidak mampu
menganalisis dan memahaminya.
Dalam masalah keimanan, Syi’ah menganut
teori hak legitimasi berdasarkan hak suci tuhan “the devine right of god”.
Oleh karena itu seseorang yang memangku jabatan imam haruslah berdasarkan nash
dan wasiat dari imam sebelumnya.[24]
Menurut pandangan Syi’ah kecuali
Zaidiyah, bahwa pengangkatan imam itu adalah hak suci tuhan, bukan berdasarkan
prinsip pemilihan demokratis. Setiap imam sejak dari Ali adalah orang-orang
yang memangku jabatannya berdasarkan nash dan wasiat. Orang yang
diangkat dinamakan manshush. Ali diangkat oleh Nabi, imam sesudah Ali
diangkat oleh Ali sedang imam-imam berikutnya diangkat oleh imam yang
mendahuluinya. Para imam itu mempunyai kewenangan mengangkat penggantinya
adalah karena dia mempunyai kewenangan untuk menetapkan hukum dan memimpin
ibadah.[25]
Kaum Syi’ah menetapkan bahwa seorang imam:
a)
Harus ma’shum (terpelihara) salah, lupa, dan maksiat.
b)
Seorang imam boleh membuat hal luar biasa dari adat
kebiasaan.
c)
Seorang iam harus memiliki ilmu yang meliputi setiap
sesuatu yang berhubugan dengan syari’at.
d)
Imam adalah pembela agama dan pemelihara kemurnian dan
kelestarian agar terhindar dari penyelewengan.
Golongan Syi’ah seluruhnya meyakini bahwa
kepemimpinan setelah Rasulullah berada di tangan Ali ibn Abi Thalib bukan
berada di tangan Abu Bakar Ash Shiddiq sebagaimana yang telah terjadi. Abu Bakar dipilih sebagai
khalifah oleh sejumlah orang disaat umat Islam menghadiri pemakaman rasulullah.
Oleh karena adanya suatu aturan orang Arab jika seseorang telah terpilih
sebagai pemimpin walaupun itu dilakukan oleh sejumlah anggota suku, maka yang
lainnya walaupun tidak ikut memilih harus menerima sebagai pemimpin tanpa
berkomentar apapun. Khalifah kedua Umar ibn Khattab dinobatkan sebagai Amirul
Mukminin karena ditunjuk oleh khalifah yang pertama. Begitu pula ketika
menjelang ajalnya Umar menunjuk dan mengangkat sebuah komite 6 orang yang
bertugas memilih seorang khalifah pengganti yang harus dipilih dari 6 anggota
panaitia kecil itu sendiri. Golongan Syi’ah menganggap bahwa kepemimpinan
khulafaur rasyidin sebelum Ali ibn Abi Thalib hampir-hampir tidak sah dan tidak
mencerminkan kehendak Rasulullah.[26]
- Pemikiran Politik dan Teologi Khawarij
Adapun teori politik Khawarij
sebagaimana yang diungkapkan oleh Nourouzzaman Shiddiqi
sebagai berikut:
a)
Posisi politik dan pandangan
Khawarij tentang keimanan berangkat dari pertanyaan yang mendasar, “apakah
keimanan itu perlu,” “apakah karena perintah agama ataukah hanya sekedar
memenuhi kepentingan masyarakat”. Menururt pandangan Khawarij pada dasarnya
keimanan itu tidak diperlukan, jika seandainya masyarakat dapat menyelesaikan
masalahnya sendiri, maka konsekuensinya keimanan tidak diperlukan, maka imam
bukanlah suatu hal yang wajib ada.
b)
Imam
itu harus dipilih oleh rakyatnya di kalangan mereka sendiri, tidak ada seorang
pun yang mempunyai hal lebih hanya adanya tali hubungan darah dengan seseorang,
hanya ketaqwaan dan kecakapan serta kemampuannya sajalah yang membuat seseorang
lebih berhak dari pada orang lain.
c)
Etika
pribadi dan etika negara adalah sama, orang yang berperilaku baik pasti akan
baik pula dalam mengelola negara.
d)
Khawarij
menganut teori kedaulatan tuhan. Kewenangan sumber dari tuhan, dialah pemangku
kedaulatan yang sesungguhnya, sebab dialah pembuat hukum. Al Qur’an baik dalam
teori maupun praktek adalah dasar konstruksi negara.
e)
Khawarij
dapat menerima kehadiran dua orang imam atau lebih dalam satu waktu, dalam
keadaan tertentu mereka memilih dua orang imam, yang satu untuk memimpin shalat
dan yang satu lagi untuk memimpin perang.
f)
Jabatan
imam adalah jabatan duniawi yang dijabat oleh manusia biasa, ia bisa berbuat
salah seperti halnya dengan orang lain. Oleh karena itu rakyat berhak
memecatnya jika seseorang yang menduduki jabatan imam itu sudah tidak memenuhi
persyaratan yang ditentukan. Imam yang sudah melanggar itu bukan saja berhak
dipecat, bahkan wajib di bunuh.
Pemikiran Politiknya
antara lain :[27]
a)
Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh
umat Islam,
b)
Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab. Dengan
demikian setiap orang muslim berhak menjadi khalifah apabila sudah memenuhi
syarat.
c)
Khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan
bersikap adil dan menjalankan syariat Islam. Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh
kalau melakukan kezaliman.
d) Khalifah sebelum Ali adalah
sah, tetapi setelah tahun ke tujuh dari masa kekhalifahannya, Utsman r.a.
dianggap telah menyeleweng.
e)
Khalifah Ali adalah sah tetapi setelah terjadi arbitrase
(tahkim), ia dianggap telah menyeleweng.
f)
Muawiyah, Amr bin Al-Ash dan Abu Musa Al-Asy’ari juga
dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir.
g)
Pasukan perang Jamal yang melawan Ali juga kafir.
Sedangkan
masalah teologi yang pernah dibahas kaum Khawarij adalah:
a)
Seorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga
harus di bunuh. Yang sangat anarkis lagi, mereka menganggap bahwa seorang
muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak mau membunuh muslim lain yang telah
di anggap kafir dengan resiko ia menanggung beban harus dilenyapakan pula.
b)
Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan
mereka. Bila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi karena hidup dalam darul
harb (negara musuh), sedang golongan mereka sendiri di anggap darul islam (negara
islam).
c)
Seseorang harus menghindari pimpinan yang menyeleweng.
d) Adanya wa’ad dan wa’id
(orang yang baik harus masuk surga sedangkan orang yang jahat masuk ke dalam
neraka).
PENUTUP
Kesimpulan
Dari ke dua aliran Islam
pertama, yaitu Khawarij dan Syi’ah, menurut penulis memiliki persamaan dalam
tema umum doktrin yang diangkat, yaitu tentang imamah-khilafah (politik).
Berangkat dari doktrin yang sama yaitu, politik Khawarij dan Syi’ah muncul
sebagai aliran yang juga menyinggung hal-hal teologi.
Kedua aliran tersebut lahir
berawal dari ‘ketidaksepahaman’ yang bermuara pada peristiwa terjadinya
pertentangan politik (imamah) antara pengikut Mu’awiyah dan pengikut Ali, yang
kemudian berujung dengan digelarnya upaya perdamaian (Majlis Tahkim). Yang
dipertentangkan itu adalah tentang siapakah yang berhak menggantikan khalifah
setelah khalifah Utsman bin Affan meninggal.
Adapun pemikiran Syi’ah
banyak menyerap semangat rasional yang mereka warisi dari Mu’tazilah, seperti
contohnya dalam masalah teologi menolak takdir, ijtihad tetap terbuka baik
dalam pemikiran dan penafsiran atas dogma dan hokum secara individual dan
kreatif. dalam masalah politik, mereka meyakini imam setelah nabi Muhammad
adalah Ali bin Abi Thalib.
Khawarij memiliki doktrin politik
yang demokratis, bahwa imam bisa dari kalangan manapun asalkan memenuhi syarat.
Sedangkan doktrin teologinya, mayoritas dari mereka berpendapat bahwa amal
adalah sebagian dari iman. Dengan demikian, maka iman itu bukanlah semata-mata i’tiqat
dan mengucapkan dua kalimat syahadat saja, melainkan haruslah disempurnakan
dengan amal yang sesuai dengan perintah-perintah agama, misalnya sembahyang,
puasa, haji, berlaku adil dan jujur.
DAFTAR PUSTAKA
Aceh, Abubakar.
1980. Perbandingan Mazhab Syi'ah: Rasionalisme Dalam Islam. Semarang:
CV. Ramadhani.
Amin,
Ahmad. 1968. Fadjar Islam. Terj. Zaini Dahlan. Jakarta: Bulan Bintang.
Faudah,
Muhammad Basuni. 1987. Tafsir al Qur’an. Bandung:
Pustaka Pelajar.
Fathoni,
Muslih. 1994. Faham Mahdi Syi’ah dan
Ahmadiyah Dalam Perspektif. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Gharib,
Abdullah Muh. 1987. Hakikat Syi’ah. Terj. Mustofa Mahdamy. Solo: Pustaka
Mantiq.
Maghluts,
Sami bin Abdullah. 2010. Atlas Agama Islam. Cet. 2. Terj. Fuad Syaifudin Nur.
Semarang: Almahera.
Musawi,
Syarafuddin. 1983. Dialog Sunnah dan
Syi’ah. Terj. Muhammad al Baqir. Bandung: Mizan.
Nasution,
Harun. 1986. Teologi Islam: Aliran-Aliran
Sejarah Analisa Perbandingan. cet. 5. Jakarta: UI Press.
Rahman, Fazlur. 1984. Islam. Terj. Ahsin
Mohammad. Bandung: Pustaka.
Salabi, Ahmad.
1995. Sejarah dan Kebudayaan Islam 2. Jakarta: Alhusna Zikra.
Shiddiqi,
Nourouzzaman. 1985. Syi’ah dan Khawarij:
Dalam Perspektif Sejarah Yogyakarta: PLP2M.
Shihab, Quraish.
2007. Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan Mengkinkah?: Kajian atas Pemikiran
dan Konsep. Jakarta: Lentera Hati.
Syari’ati,
Ali. 1995. Islam Madzhab Pemikiran dan Aksi. Terj. M. S. Nasrullah dan
Afif Muhammad. Bandung: Mizan.
Khawarij
dan Doktrin-Doktrin Pokoknya, http:\syiah\Khawarij dan Doktrin-Doktrin Pokoknya.com,
diakses pada tanggal, 20 Maret 2012.
[1] Nourouzzaman Shiddiqi, Syi’ah
dan Khawarij: dalam Perspektif Sejarah (Yogyakarta: PLP2M, 1985), hlm. 5-6
[2] Syarafuddin al Musawi, Dialog
Sunnah dan Syi’ah, terj. Muhammad al Baqir (Bandung: Mizan, 1983), hlm. 140
[3] Abubakar Aceh, Perbandingan Mazhab Syi'ah: Rasionalisme Dalam Islam,
Semarang: CV. Ramadhani, 1980, cet. 2, hlm. 15
[4] Muhammad Basuni Faudah, Tafsir
al Qur’an (Bandung: Pustaka Pelajar, 1987), hlm. 119-120
[5] Muslih Fathoni, Faham Mahdi
Syi’ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1994), hlm. 17-23
[6] Nourouzzaman Shiddiqi, Ibid,
hlm. 10
[7] Ibid, hlm. 7
[8] Harun Nasution, Teologi
Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, cet.
5, 1986), hlm. 13
[9] Nourouzzaman Shiddiqi, Ibid,
hlm. 7
[10] Ibid, hlm.36
[11] Ibid, hlm. 36
[12] Ibid, hlm. 37
[13] Ibid, hlm. 38-39
[14] Quraish Shihab, Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan Mengkinkah?:
Kajian atas Pemikiran dan Konsep (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hlm. 70
[15] Ibid, hlm. 73-74
[16] Ahmad Amin, Fadjar Islam, terj. Zaini Dahlan (Jakarta: Bulan Bintang, 1968), hlm. 348
[17] Ibid, 348-349
[18] Ibid, 83
[19] Harun Nasution, Ibid, hlm. 15
[20] Ali Syari’ati, Islam Madzhab Pemikiran dan Aksi. Terj. M. S.
Nasrullah dan Afif Muhammad. (Bandung: Mizan. 1995), hlm. 366
[21] Ibid, 29
[22] Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad (Bandung:
Pustaka, 1984), hlm. 255
[23] Ali Syari’ati, Islam Madzhab Pemikiran dan Aksi, terj. M. S.
Nasrullah dan Afif Muhammad (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 60-74
[24] Nourouzzaman Shiddiqi, Ibid,
hlm. 62
[25] Ibid, hlm. 65-66
[26] Abdullah Muh. Gharib, Hakikat Syi’ah, terj. Mustofa Mahdamy
(Solo: Pustaka Mantiq, 1987), hlm. 39-42
[27] Khawarij dan Doktrin-Doktrin Pokoknya, http:\syiah\Khawarij
dan Doktrin-Doktrin Pokoknya.com, diakses pada tanggal, 20 Maret 2012.