Antropologi
secara sederhana adalah ilmu yang mempelajari tentang masyarakat dan kebudayaan.
Kebudayaan adalah semua produk hasil penelitian, ciptaan serta kreasi
masyarakat baik material maupun non material. Contoh kebudayaan adalah rumah
sebagai tempat tinggal, model pakaian dan lainnya. Contoh yang non material
adalah kesenian, agama, pandangan hidup, aturan, dogma, nilai yang diakui,
dijunjung dan mengikat bersama secara kelompok.[1]
Agama
sebagai sasaran studi antropologi dapat disimpulkan dalam dua hal. Pertama,
antropologi yang merupakan bagian dari kebudayaan dan menjadi salah satu
sasaran kajian yang penting sehingga menghasilkan kajian cabang tersendiri yang
disebut dengan antropologi agama. Kedua, semua cabang-cabang antropologi
sebenarnya masih ada pada satu rumpun kajian yang bisa saling berhubungan yaitu
antropologis. Karena itu pendekatan antropologi identik dengan pendekatan
kebudayaan.[2]
Adapun
metode yang lebih tepat dengan pendekatan antropologi adalah metode holistik.
Artinya, dalam melihat satu fenomena sosial harus diteliti dalam konteks
totalitas kebudayaan masyarakat yang dikaji.[3]
Sedang
tehnik pengumpulan data yang paling tepat adalah dengan pengamatan terlibat
(observasi) dan wawancara mendalam, yaitu terjun langsung berbaur dalam
masyarakat yang diteliti. Pengumpulan data semacam ini dimaksudkan sebagai
upaya untuk memperoleh pemahaman yang maksimal dari perspektif masyarakat yang
diteliti bukan dari perspektif pengamat atau peneliti.[4]
Islam
sebagai gejala antropologi, banyak objek kajian yang dapat dilakukan.
Diantaranya dalam bentuk apa yang disebut gejala agama dan keagamaan:[5]
1.
Scripture atau
naskah-naskah atau sumber ajaran atau simbol-simbol.
2.
Penganut atau
pemimpin atau tokoh atau pemuka agama, yakni pemahaman, sikap, perilaku dan
penghayatan.
3.
Ritus-ritus,
lembaga-lembaga, dan ibadah seperti sholat, puasa, zakat , waris, sekaten,
maulid Nabi, lembaga wakaf.
4.
Alat-alat agama dan
keagamaan, seperti masjid, peci, tasbih dll.
5.
Organisasi-organisasi
sosial keagamaan, seperti UN, Muhammadiyah, Persis, dll.
Menurut
Amin Abdullah setidaknya ada 4 (empat) ciri fundamendal cara kerja
pendekatan antropologi terhadap agama:[6]
1.
bercorak descriptive,
bukan normatif. Pendekatan antropologi
bermula dan diawali dari kerja lapangan
(field work), berhubungan
dengan orang, masyarakat, kelompok
setempat yang diamati dan diobservasi dalam jangka waktu yang lama dan
mendalam. Inilah yang biasa disebut dengan thick
description (pengamatan dan observasi di lapangan yang dlakukan secara
serius, terstuktur, mendalam dan berkesinambungan). Thick
description dilakukan dengan cara
antara lain Living in yaitu hidup
bersama masyarakat yang diteliti, mengikuti ritme
dan pola hidup sehari-hari mereka dalam waktu yang cukup lama. Bisa berhari-hari,
berbulan-bulan, bahkan bisa bertahun-tahun, jika ingin memperoleh hasil yang
akurat dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.
2. local practices,
yaitu praktik konkrit dan nyata di lapangan. Praktik hidup yang dilakukan
sehari-hari, agenda mingguan, bulanan dan tahunan, lebih –lebih ketika
manusia melewati hari-hari atau peristiwa-peristiwa penting dalam
menjalani kehidupan. Ritus-ritus atau amalan-amalan apa saja yang
dilakukan untuk melewati peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan
tersebut (rites de pessages). Persitiwa kelahiran, perkawinan,
kematian, penguburan.
3. antropologi
selalu mencari keterhubungan dan keterkaitan antar berbagai domain kehidupan
secara lebih utuh (connections
across social domains). Bagaimana hubungan antara wilayah
ekonomi, sosial, agama, budaya dan politik. Kehidupan tidak dapat dipisah-pisah.
Keutuhan dan kesalingterkaitan antar berbagai domain kehidupan manusia.
Hampir-hampir tidak ada satu domain wilayah kehidupan yang dapat berdiri
sendiri, terlepas dan tanpa terkait dan terhubung dengan lainnya.
4. comparative. Studi dan pendekatan
antropologi memerlukan perbandingan dari berbagai tradisi, sosial, budaya dan
agama-agama. Talal Asad menegaskan lagi disini bahwa “What is distinctive
about modern anthropology is the comparisons of embedded concepts
(representation) between societies differently located in time or space.
The important thing in this comparative analysis is not their origin (Western
or non-Western), but the forms of life that articulate them, the power
they release or disable.”
Relevansi pendekatan antropologi dengan perkembangan terakhir
studi hukum Islam dan usul fikih pada umumnya yaitu membuka perspektif
baru tentang bagaimana sesungguhnya peran para jurist dan fakih dalam
menentukan corak, perbedaan interpretasi serta tingkat kedalaman
pemahaman keagamaan terjadi pergeseran pemahaman dan peran yang dimainkan oleh
para fuqaha dalam setiap jaman. Sebagaimana skema di bawah ini.[7]
Era fikih era tradisional,[8]
Era fikih era modernitas.[9]
Kasus
di Indonesia, dapat kita lihat pada salah satu contoh penelitian yang dilakukan
oleh Clifford Geertz dalam karyanya The
Religion of Java, buku ini diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Aswab
Mahasin dengan judul Abangan, Santri,
Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Disini Geertz melihat adanya klasifikasi
sosial dalam masyarakat muslim di Jawa, antara golongan santri, priyayi, dan
abangan. Selain itu penelitian ini mendapat sanggahan dari berbagai ilmuan
sosial yang lain, namun konstruksi sosial yang dikemukakannya cukup membuat
orang berfikir ulang untuk mengecek ulang keabsahannya.
Melalui
pendekatan antropologi kita juga dapat melihat hubungan antara agama dan
Negara. Seperti, negara Turki Modern yang mayoritas penduduknya beragama Islam,
tetapi konstitusi negaranya menyebut sekularisme sebagai prinsip dasar
kenegaraan yang tidak dapat ditawar-tawar. Saudi Arabia dan negara Republik
Iran yang berdasarkan Islam, orang akan bertanya apa sebenarnya yang
menyebabkan kedua sistem pemerintahan tersebut sangat berbeda, yaitu kerajaan
dan republik, tetapi sama-sama menyatakan Islam sebagai asas tunggalnya.[11]
Daftar Pustaka
Nasution, Khoiruddin. 2009. Pengantar Studi
Islam. Yogyakarta:
ACAdeMia+Tazzafa.
Nata, Abuddin. 2009. Metodologi
Studi Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Abdallah, M. Amin. Urgensi Pendekatan
Antropologi Untuk Studi Agama Dan Studi Islam, http://aminabd.wordpress.com/2011/01/14/urgensi-pendekatan-antropologi-untuk-studi-agama-dan-studi-islam/, diakses, 20 Mei 2012.
[6]M. Amin
Abdallah, Urgensi Pendekatan Antropologi
Untuk Studi Agama Dan Studi Islam,
http://aminabd.wordpress.com/2011/01/14/urgensi-pendekatan-antropologi-untuk-studi-agama-dan-studi-islam/, diakses,
20 Mei 2012.