ETIKA
TERHADAP BUKU
(Studi
Pemikirian Pendidikan KH. Hasyim Asy’ari)
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam
tradisi Islam ilmu menempati posisi yang sangat tinggi. Beberapa ayat al Quran
berbicara mengenai posisi ahli ilmu yang sangat dihormati oleh Tuhan. Ilmu
ibarat cahaya dalam kegelapan yang menerangi manusia dalam menapaki kehidupan
di dunia. pencarian terhadap ilmu merupakan kewajiban dalam agama baik kepada
pria atau wanita. Bahkan dalam salah satu sabdanya Nabi mengatakan bahwa
pencarian terhadap ilmu tidak mengenal batas ruang dan waktu.
Semangat mencari ilmu di kalangan umat
Islam telah timbul pada masa-masa di mana Nabi hidup sebagai suri teladan dan
guru bagi para sahabatnya. Pada masa nabi pula penyebaran guru-guru al Quran ke
beberapa daerah telah dilakukan. Dalam hal ini kita bisa membaca kisah yang
sangat masyhur mengenai Muaz bin Jabal yang diutus oleh Nabi untuk mengajarkan
al Quran di Yaman. Pada masa ini setidaknya ada dua sumber pengetahuan, yaitu
al Quran dan Nabi.
Al Quran dan hadist begitu dimuliakan
di kalangan muslim. Banyak hadist nabi menyebutkan etika terhadap al Quran, salah
satunya untuk menyentuhnya seseorang harus dalam keadaan suci. Fenomena ini
merambat ke berbagai hal yang tidak hanya al Quran tapi semua kitab yang berbau
agama, sehingga para ulama’ memberikan formulasi tersendiri bagaimana cara
memuliakan buku.
Sebagaimana
syaikh Syamsul Aimmah pernah berkata,
“Sesungguhnya saya berhasil mendapat ilmu ini adalah
dengan penghormatan, karena saya tidak pernah menyentuh kertas belajar selain
dalam keadaan suci”.[1]
Memuliakan buku ternyata memiliki etika
tersediri, namun etika tersebut sudah jarang diperhatikan oleh pelaku
pendidikan di era modern. Mungkin karena dianggap sepele atau ribet, sehingga
perilaku-perilaku ulama’ salaf seperti membawa buku harus diletakkan sejajar
dengan dada (tidak boleh dijinjing), tidak boleh di belakangi, tidak boleh
melempar buku, tidak boleh meletakkan di tanah (di tempat yang lebih tinggi)
dan lain-lainnya.
Hal-hal semacam di atas nyatanya
sudah dilupakan oleh orang-orang modern, namun terlepas dari itu semua ketika
kita menengok celah-celah pesantren salafiyah, tradisi semacam itu masih
dilestarikan. Sayangnya mereka tidak memahami substansi yang ada, sehingga terkesan
normatif.
Bagi mereka etika terhadap buku
adalah semacam nilai tawadu’ kepada kiai, dan ketawadu’an yang disuguhkan
seakan-akan menuhankan kiai demi mencari barakah. Padahal, jika dipahami lebih
lanjut etika terhadap buku adalah salah satu upaya dimana untuk memperbaiki
sistem pendidikan kita yang terkesan hedonis dan termakan kapitalis.
Salah satu sumbangan pemikiran
mengenai hal tersebut adalah KH. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Adabul ‘Alim Wa al Muta’aluum. Disini
penulis berharap untaian kata kiai besar Nahdlatul Ulama’ ini mampu menjadi
udara segar dalam sumbangsih pemikiran pendidikan di Indonesia, khususnya umat
Islam.
Dengan
niat ingin berperan serta dalam merevitalisasi nilai-nilai yang telah ditanamkan
ulama terdahulu, makalah ini mencoba memaparkan ulang dengan aroma baru yang
akan disajikan sesegar mungkin tentang etika terhadap buku yang dikonstruk dari
pemikiran pendidikan KH. Hasyim Asy’ari yang corak pemikirannya tradisionalis.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana profil KH. Hasyim Asy’ari?
2.
Bagaimana etika terhadap buku menurut KH. Hasyim Asy’ari?
3.
Bagaimana kontribusi etika terhadap buku dalam
pendidikan?
PEMBAHASAN
A. Profil KH. Hasyim Asy’ari
Nama
lengkap KH. Hasyim Asy’ari (1871-1947) adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ‘Abd
al-Wahid ibn ‘Abd al-Halim yang lahir di Gedang, sebuah desa di daerah Jombang,
Jawa Timur.[2]
Semasa
hidupnya kiai tidak pernah berpoligami, walaupun dalam catatan sejarah beliau
pernah menikah 7 kali. Hal ini karena setiap kali istri beliau meninggal beliau
menikah lagi. Sehingga tidak sampai memiliki dua atau tiga istri dalam kurun
waktu yang bersamaan.
KH.
Hasyim Asy’ari mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, Abd al-Wahid,
terutama pendidikan di bidang Al-qur’an dan penguasaan beberapa literature
keagamaan. Setelah itu ia pergi untuk menuntut ilmu ke berbagai pondok
pesantren, terutama di Jawa, yang meliputi Shona, Siwalan Baduran, Langitan
Tuban, Demangan Bangkalan, dan Sidoarjo.
Selain
di dalam negeri beliau juga belajar di Makkah, Diantara guru-gurunya yang
terkenal yaitu Syaikh Mahfudh al-Tarmisi, Syaikh Ahmad Khatib seorang imam di Masjid al-Haram untuk para penganut Mazhab
Syafi’i, Syaikh al-Allamah Abdul Hamid al-Darutsani, Syaikh Muhammad Syuaib
al-Maghribi, Syaikh Ahmad Amin al-Athar, Sayyid Sultan ibn Hasyim, Sayyid Ahmad
ibn Hasan al-Attar, Syaikh Sayid Yamay, Sayyid Alawi ibn Ahmad as-Saqaf, Sayyid
Abbas Maliki, Sayyid Abdullah al-Zawawy, Syaikh Shaleh Bafadhal dan Syaikh
Sultan Hasyim Dagatsani.[3]
Bertepatan
dengan 6 Februari 1906 M, KH Hasyim Asy’ari mendirikan pondok pesantren
Tebuireng. Di pesantren inilah banyak melakukan aktivitas-akivitas
sosial-kemanusiaan sehingga ia tidak hanya berperan sebagai pimpinan pesantren
secara formal, tetapi juga pemimpin kemasyarakan secara informal.
Sebagai
pemimpin pesantren, beliau melakukan pengembangan institusi pesantrennya,
termask mengadakan pembaharuan sistem dan kurikulum. Jika pada saat itu
pesantren hanya mengembangkan sistem halaqah, maka beliau mmperkenalkan
sistem belajar madrasah dan memasukkan kurikulum pendidikan umum, disamping
pendidikan keagamaan.
Aktifitas
KH. Hasyim Asy’ari di bidang sosial yang lain adalah mendirikan organisasi
Nahdhaul Ulama, bersama dengan ulama besar lainnya, seperti kiai Abdul Wahab
dan kiai Bishri Syamsuri, pada tanggal 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344 H.
Sebagai
seorang intelektual, KH Hasyim Asy’ari telah menyumbangkan banyak hal yang
berharga bagi pengembangan peradaban, diantaranya adalah sejumlah literatur
keagamaan dan sosial. Karya-karya tulis KH. Hasyim Asy’ari diantaranya sebagai
berikut:[4]
1) Adab
al-alim wa al-muta’allim
2) Ziyadat
Ta’liqat
3) At
Tanbihat al Wajibat Liman Yasna’ul al Maulid bi al Munkarat
4) Ar
Risalah al Jami’ah
5) Annur
al Mubin fi Mahabbati Sayyid al Mursalin
6) Ad
Durar al Muntasirah fi al masail at Tis’a ’Asyarata
7) At Tibyan fi al Nahy’an Muqatha’ah al Arham
wa al Aqarib wa al Ikhwan
8) Muqaddimah al Qanun al Asay li Jam’iyyah
Nahdlatul Ulama’
9) Risalah fi Ta’kid al Akhdz bi Madzhab al
A’immah al Arba’ah
10) Arba’in Haditsan Tata’allaq bi Mabadi’
Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’
11) Risalah Ahli Sunnah wal Jama’ah fi al Hadist
12) Ad-Durrah al Muntasyiroh fi Masail Tis’a
Asyarah
13) Dhau’ul Misbah fi Bayan ahkam al Nikah
B.
Etika Terhadap Buku
Kajian mengenai etika terhadap
buku bukan hal yang baru, karena jauh sebelum KH. Hasyim Asyari sebenarnya banyak
ulama’ telah memulai kajian tersebut. Etika terhadap buku biasanya dimasukan
pada bab etika mencari ilmu. Sampai saat ini di Indonesia kitab Ta’lim Mutaalim merupakan kitab yang
paling masyhur dalam kajian ini. Bila dilacak lebih jauh lagi penghormatan
terhadap buku merupakan turunan dalam penghormatan kepada buku umat Islam
pertama yaitu al Quran.
Al Quran bisa dikatakan buku
pertama bagi umat Islam. Pada masa Nabi tidak ada satu pun kata dan ajaran
Islam yang boleh dicatat kecuali al Quran. Dalam beberapa hadits Nabi
menyebutkan larangan untuk mencatat ucapan Nabi atau Hadits. Melalui al Quran
ini umat Islam kemudian diperkenalkan dengan sebuah tradisi baru yaitu tradisi
tulis menulis, yang kemudian hal ini terus berkembang dan dikembangkan oleh
umat Islam dengan menghasilkan buku-buku lainya seperti buku-buku tentang
hadits, tafsir, fiqh dan sebagainya. Buku-buku ini, walaupun tidak sesuci al
Quran, namun bisa dikatakan bahwa buku-buku tersebut adalah upaya manusia untuk
memahami al Quran yang di dalamnya terdapat petunjuk Allah SWT. Sehingga memuliakan buku-buku tersebut bisa
juga diakatakan sebagai pemuliaan terhadap al Quran itu sendiri.
Sebelum munculnya bahasan
mengenai etika terhadap buku, para ulama pada awalnya memang hanya membahas
bagaimana etika terhadap al Quran. Pada bagian ini kita bisa menyebut karya
masyhur al Nawawi yaitu at Tibyan, sebuah
karya monumental mengenai tuntunan bagaimana umat Islam memperlakukan al Quran
sebagai suatu yang mulia. Dalam karyanya al Nawawi pertama-pertama menyebut
mengenai keutamaan mempelajari al Quran sembari mengutip beberapa ayat dan
Hadits Nabi mengenai hal itu. Dan pada bagian akhir karyanya tersebut al Nawawi
membahas bagaimana memperlakukan al Quran yang secara fisik adalah berupa buku.
Ia menyebutkan bahwa seorang muslim harus terlebih dahulu berwudlu ketika ingin
menyentuh dan membacanya. Bahkan dalam karya tersebut ia juga berbicara
mengenai hukum jual beli al Quran. Dari semua gagasan pemikiran al Nawawi tersebut
dapat disimpulkan bahwa hal itu adalah upaya seorang pemikir Islam mengenai
etika terhadap al Quran.
Pelajar hendaknya bisa
menghormati buku, karena itu adalah satu bentuk untuk menghormati ilmu. Beberapa
hadist menyebutkan dengan jelas bahwa ilmu lebih mulia dari harta. Dengan ilmu,
manusia bisa menelusuri nikmatnya kehidupan di dunia ini sebagai bekal di
akhirat kelak.
KH. Hasyim Asy’ari adalah salah
satu contoh ulama’ yang memiliki sumbangsih pemikiran tentang etika terhadap
buku. Pemikiran beliau mengenai hal ini masih diikuti oleh lembaga-lembaga
pendidikan non formal yaitu pesantren, lebih khususnya pesantren salafiyah.
Etika terhadap buku menyangkut
bagaimana cara memperoleh, meletakkan atau menyimpan, menulis atau mengutip,
dan lain sebagainya. Dalam hal ini, KH. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Adabul ‘Alim Wa al Muta’aluum
mengungkapkan 5 macam etika yang harus diperhatikan oleh seorang yang sedang
belajar termasuk juga guru, diantaranya:[5]
1)
Buku adalah salah satu sarana pokok dalam kegiatan
pembelajaran. Oleh karenanya, hendaknya orang yang sedang belajar memilikinya,
baik dengan cara membeli, menyewa atau meminjam.
Hal yang lebih penting setelah buku itu diperoleh
adalah memahami isinya. Jadi, jangan sampai buku tersebut dimiliki hanya untuk
dikumpulkan atau dikoleksi sebagaimana dilakukan oleh banyak orang.
Hasyim memulai pemikiran etika terhadap buku dengan
asumsi bahwa buku adalah sarana penting bagi proses pembelajaran. Buku
merupakan hasil perenungan-perenungan para ulama yang kemudian dituliskan dalam
sebuah bentuk fisik. Tanpa buku tersebut mungkin tidak akan ada informasi yang
dapat dinikmati oleh manusia di masa selanjutnya.
Oleh karenanya penguasaan terhadap buku atau yang
dalam bahasa modern kita sebut sebagai referensi akan menghasilkan pengetahuan
yang utuh mengenai satu kajian. Tidak jarang kita menemukan bahwa para ulama
terdahulu sangat giat dalam memiliki buku bahkan menghafalkanya. Dalam sejarah
kita bisa menengok al suyuthi yang disebut sebagai ibnu kutb[6]
dimana karena kesungguhanya dalam menguasai referensi.
Dalam kajian Islam kita dapat membuktikan bahwa
penguasaan terhadap referensi merupakan hal yang penting. Dalam kajian fiqh misalnya kita tidak dapat
mengusainya secara holistik bila mengabaikan pendapat-pendapat imam mazhab yang
termaktub dalam buku-bukunya. Begitu juga dalam kajian-kajian ilmu yang lain
dimana buku merupakan pintu masuk memasuki samudera pengetahuan yang luas. Setidaknya
Hasyim Asyari menyadari bahwa pengetahuan adalah sejarah itu sendiri yaitu sejarah
yang muncul dari sejarah sebelumnya.
2)
Apabila seseorang siswa meminjam suatu buku dari orang
lain, hendaknya ia langsung mengembalikannya begitu ia telah selesai
menggunakan buku tersebut, serta tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada
pemiliknya.
Terhadap buku pinjaman tersebut ia tidak dibenarkan
melakukan tindakan apapun tanpa seizin pemiliknya, seperti membuat
catatan-catatan, meminjamkannya kepada orang lain, termasuk mengutip sebagian
isinya. Jadi, buku tersebut hendaknya dijaga dengan baik dan dikembalikan lagi
kepada pemiliknya dalam kondisi seperti semula.
Hasyim Asy’ari dalam hal ini tidak hanya menguraikan
tentang hal-hal subtansif dalam suatu pengetahuan, namun beliau juga membahas
dalam perspektif fisik. Seperti misalnya seseorang yang meminjam buku di
perpustakaan, tidak boleh mencoret atau menggaris dengan stabilo kata-kata yang
dianggap penting, karena hal itu sudah merubah bentuk fisik suatu buku.
Begitu juga hal kecil yang sering dilupakan yaitu
ucapan terimaksih. Biasanya mahasiswa atau pelajar setelah mengembalikan buku
tanpa berucap apapun langsung pergi. Hal tersebut terlihat sangat sepele,
padahal itu adalah pembelajaran etika yang sangat penting. apalagi bagi seorang
pendidik dan calon pendidik, sebagai orang yang berkecimpung dalam dunia
pendidikan hendaknya mereka dapat memberikan pesan moral yang baik yaitu
membiasakan mengucapkan terimakasih atas setiap kebaikan manusia.
3)
Ketika menulis atau mengutip suatu buku, ia hendaknya
tidak meletakkan buku yang tengah dikutip tersebut di atas tanah (lantai).
Namun hendaknya ia meletakkannya di tempat yang lebih tinggi dan terhormat (di
atas meja dan sebagainnya).
Kemudian, hendaknya ia juga memperhatikan etika
menyusun buku. Dalam hal ini hendaknya ia menyusun urutannya berdasarkan tingkat
keagungan pembahasan (materi) yang terkandung dari masing-masing buku itu atau
berdasarkan tingkat integritas pengarangnya.
Misalnya penyusunan urutan buku dari atas ke bawah
berdasarkan tingkat keagungan materinya:
a)
Al Quran
b)
Buku-buku hadist
c)
Buku-buku tafsir
d)
Buku-buku ushuluddin
e)
Buku-buku ushul Fiqh
f)
Buku-buku Fiqh dan seterusnya
Secara normatif, pemikiran KH. Hasyim Asy’ari
menjelaskan bahwa kitab yang paling utama adalah al Quran sehingga penghormatan
terhadapnya diistemawakan dari buku-buku lain. Selain sumber pokok, al Quran
juga merupakan identitas umat Islam. Hal ini tidak terlepas dari geneologi
beliau yang hidup dalam lingkungan pesantren salafiyah yang bermadzhab Syafi’i
di mana Imam Syafi’i terkenal sebagai seorang yang sangat hati-hati dalam meutuskan
hukum. Menempatkan al Quran sebagai suatu yang pokok tidak hanya dalam wilayah
pengetahuan, namun juga dalam memberlakukan al Quran itu sendiri. Sebagaimana
disebut di atas bahwa seorang muslim harus meletakan al Quran di tempat yang
lebih tinggi dari buku-buku yang lain.
Kalau kita kembangkan lebih luas lagi, pemikiran Hasyim
mengenai peletakan al Quran pada peringkat teratas, kemudian disusul oleh kitab
hadits dan fiqh, menunjukan bahwa seorang yang mempelajari sebuah pengetahuan
harus melihat pada referensi pokok kajian tersebut. Dan susunan yang dibuat Hasyim
tentu berlaku hanya pada seseorang mempelajari Islam. Hal ini tentu berbeda
pada mereka yang mempelajari filsafat misalnya, dimana karya Plato dan Aristoteles
merupakan karya pokok dalam bidang ini yang wajib dirujuk oleh setiap mahasiswa
filsafat.
4)
Setiap kali akan meminjam atau membeli suatu buku,
hendaknya terlebih dahulu ia memeriksa dan memastikan kesempurnaan susunan dan
isi (pembahasan).
Pada bagian ini Hasyim Asyarai berbicara mengenai
aksiologi atau nilai dari sebuah pendidikan. Kita sama-sama mengetahui bahwa
buku adalah pintu memasuki pengetahuan. Buku memberikan banyak informasi
mengenai suatu hal yang ingin diketahui oleh pelajar. Mengenai buku ini seorang
pelajar kemudian menjadi faham akan satu objek kajian. Bagi Hasyim pemilihan
bidang kajian menjadi penting bagi seorang pelajar. Hasyim berpendapat bahwa
ketika seorang ingin belajar mengenai suatu objek kajian baik melalui buku atau
guru, ia terlebih dahulu harus meneliti isi buku tersebut. Pertanyaan yang
harus dijawab seseorang ketika memulai pendidikan adalah apakah hal itu
bermanfaat baginya atau tidak?. Pertanyaan manfaat dan tidak manfaat menjadi
penting karena dalam tradisi Islam aspek manfaat merupakan tujuan dari aktivitas
manusia. Hal ini setidaknya berdasarkan pada sabda Nabi yang artinya:
“Di antara kesempurnaan Islamnya seseorang adalah
meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya.”[7]
5)
Dalam hal mengutip atau mencatat suatu materi (terutama
materi-materi yang berkaitan dengan ilmu-ilmu syariat agama Islam), hendaknya ia
melakukannya dalam keadaan suci, menghadap arah ke kiblat, serta berpakaian
yang bersih lagi sopan.
Disamping itu, dalam kitab ini juga
dijelaskan dalam menulis lafadz “Allah” hendaknya tidak lupa mengikutinya
dengan sebutan-sebutan yang memiliki makna pengagungan atas-Nya, seperti “ta’ala, subhanahu, azza wajalla” dan
lain-lain. Begitu juga dengan nama Nabi Muhammad hendaknya selalu menyertai
lafadz-lafadz seperti “Shallallahu
‘Alaihi Wassalam, Assholatu Wassalamu ‘Alaih” dan sebagainya.
Keterangan di atas berdasarkan firman
Allah SWT,
صلوا
عليە وسلموا تسليما
Artinya: bershalawatlah kalian untuknya (Rasulullah) dan
berikanlah salam kepadanya dengan salam kesejahteraan.[8]
Bagian ini mungkin merupakan bagian yang menarik
mengenai pemikiran Hasyim mengenai etika terhadap buku. Pemikiran Hasyim
mungkin terlihat sangat repot bila dipraktekan dalam dunia pendidikan saat ini.
Namun faktanya bahwa etika semacam ini telah lama dipraktekan oleh ulama-ulama
terdahulu. Kita bisa melihat cerita bagaimana penulisan hadits yang dilakukan
oleh Imam Bukhori. Konon sebelum beliau menuliskan hadits dan memutuskan apakah
hadits ini sahih atau tidak, beliau selalu memulainnya dengan melakukan shalat
sunnah dua rakaat. Tradisi ini yang tampaknya ingin dipertahankan oleh Hasyim.
Namun sebenarnya apa maksud dari etika semacam ini?
Penulis berasumsi bahwa pemikiran seperti ini muncul karena sebuah anggapan
bahwa pengetahuan secara asal merupakan anugerah dari Allah swt, terlepas itu
terwujud dengan usaha manusia. Dengan asumsi seperti ini mendorong para ulama
untuk lebih dahulu meminta petunjuk Allah swt sebelum melakukan proses belajar.
Aturan seperti ini harus dalam keadaan suci, menghadap kiblat dan memulainya dengan
basmalah tampaknya diadopsi dari etika berdoa yang dipraktikan oleh Nabi
Muhammad saw.
Ketika menulis, hendaknya ia mengawali
tulisannya itu dengan tulisan basmalah. Kemudian, setiap kali ia mencatat
(mengutip) suatu pendapat atau penjelasan yang dikemukakan oleh seorang ulama,
hendaknya ia menuliskan penjelasan di bawahnya mengenai sumber dari kutipan
tersebut.[9]
Hasyim juga sangat memperhatikan berkaitan dengan
plagiatisme dan bajakisme yang sekarang marak di Indonesia. beliau mengingatkan
kepada pelajar agar berlaku jujur dengan tidak mengutip apalagi membajak hasil
karya orang lain tanpa seizin penulisnya. Para ulama terdahulu sebenarnya telah
mencontohkan bagaimana cara mengutip pendapat atau perkataan dari orang lain.
Dalam kajian hadits kita mengenal sanad atau silisilah pengetahuan. Dalam
kajian fiqh kita juga mengenal bagaimana mereka mencantumkan nama-nama ulama
yang dinukil pendapatnya. hal ini sebenarnya bertujuan untuk menunjukan
semangat kejujuran dalam memperoleh pengetahuan.
Walaupun begitu dalam realitanya plagiat selalu
tumbuh dari masa ke masa, seperti pada zaman al Jahizh, diantara model plagiat
zaman ini adalah mereka mencuri materi dan karya yang mereka kritik itu, yang
sebelumnya mereka katakan tak berharga kemudian mengemasnya sebagai karya
mereka sendiri kemudian mendedikasikannya kepada pribadi berpengaruh lainnya di
masa itu, dengan harapan mendapat hadiah.[10]
Jika dibandingkan dengan zaman sekarang, model
plagiat dilakukan dengan cara mengedit teks-teks ulama’ terdahulu bahkan
menambahkan keterangan-keterangan baru yang sesuai dengan ideologi pengedit
tersebut, kemudian dinisbatkan kepada ulama’-ulama’ tersebut. Dengan demikian,
buku-buku baru yang telah diedit sedimikian rupa seolah-olah adalah hasil ulama
salaf.[11]
Seperti contohnya banyak dilakukan oleh orang-orang Wahabi dan Salafi.[12]
C. Kontribusi Etika Terhadap Buku dalam Pendidikan
Secara definisi etika adalah
perbuatan manusia yang dapat diberi hukum baik atau buruk, dengan kata lain
perkataan dan perbuatan-perbuatan yang dimasukkan ke dalam perbuatan akhlak.[13]
Begitu juga dengan etika Islam yang memiliki pengertian tingkah laku dalam
bentuk perbuatan, ucapan dan pikiran yang sifatnya membangun, tidak merusak
lingkungan dan tidak pula merusak tatanan sosial budaya dan tidak pula
bertentangan dengan ajaran Islam, namun berlandaskan dengan al Qur’an dan al
Hadist.[14]
Etika menjadi sangat penting dan
berharga bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Mengingat dengan
etika akan membentuk watak bangsa yang berkarakter dan memiliki jati diri.[15]
Menururt Franz Magnis Suseno,
etika memiliki fungsi dapat membantu menggali rasionalitas moral agama,
membantu dalam menginterpretasikan ajaran agama yang saling bertentangan dan
membantu menerapkan ajaran moral agama terhadap masalah-masalah baru dalam
kehidupan manusia.[16]
Derasnya tantangan kultural yang
kini terjadi akan kian terasakan tatkala kita melihat fenomena kembar dalam
pendidikan dan pengajaran. Prosesi pengajaran di satu sisi, semakin kehilangan
jelajah moralnya, sementara disisi lain, inherensi moral dalam pendidikan
justru teraliensi oleh para pelakunnya. Uniknya, fenomena tersebut terjadi di
saat semua pihak merasakan arti penting pendidikan sebagai investasi.
Oleh karena itu, bagian kecil
dalam dunia pendidikan adalah etika terhadap buku. Namun, disini timbul masalah
mengenai apakah buku-buku yang dimuliakan hanya buku-buku agama, sedangkan
buku-buku biologi, fisika, ekonomi boleh diinjak-injak, dilempar atau
diduduki?.
Menanggapi masalah tersebut, al
Ghazali menyatakan bahwa sangat naif dan keliru sekali kalau kita mengira bahwa
ilmu pengetahuan yang baik terpuji hanyalah fikqh dan tafsir serta ilmu-ilmu
lainnya yang serupa dengan itu, sedangkan ilmu-ilmu pengetahuan di luar itu
kita anggap tidak penting.[17]
Anggapan seperti itu keliru
sekali, ilmu alam dan ilmu hayat serta hasil-hasil ilmu penyelidikan yang terus
menerus mengenai rahasia langit dan bumi tidak kurang pentingnya dibandingkan
dengan ilmu-ilmu keagamaan yang semurni-murninya. Bahkan hasil-hasil ilmu
pengetahuan itu banyak kaitannya dengan ilmu agama untuk lebih memperdalam ilmu
syari’at.[18]
Disinilah posisi pemikiran Hasyim
perlu diketengahkan kembali sebagai solusi untuk memperbaiki etika pelajar
terhadap ilmu lebih khususnya terhadap buku. Dengan beberapa modifikasi,
penafsiran dan pemaknaan yang lebih luas, penulis yakin bahwa pemikiran Hasyim masih
sangat relevan dan memiliki kontribusi yang penting dalam mewujudkan tujuan
pendidikan yang sesuai dengan UUD negara. Beberapa kontribusi tersebut adalah:
1)
Mensistematikan pemahaman pelajar dan pengajar, sehingga
para pelaku pendidikan benar-benar orang yang berkompeten dan bertanggung jawab
terhadap pengetahuan yang dimilikinya.
2)
Dengan etika terhadap buku, dapat memberikan contoh
karakter yang baik terhadap sesama, tidak saling merusak milik orang lain dan
tentunya selalu bersyukur atas pertolongan tuhan dan manusia.
3)
Ketelitian dalam memahami materi-materi pendidikan
4)
Sebagai petuah dalam memahami materi, hendaknya membaca
buku pokoknya. Sehingga pemahaman tidak parsial.
5)
Dengan etika terhadap buku, dapat mengurai atau mencegah
adanya plagiatisme. Sehingga menghambat atau memusnahkan kecurangan-kecurangan
pada sarjana Indonesia.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1.
Nama lengkap KH. Hasyim Asy’ari (1871-1947) adalah Muhammad
Hasyim Asy’ari ibn ‘Abd al-Wahid ibn ‘Abd al-Halim yang lahir di Gedang, sebuah desa di daerah Jombang, Jawa Timur. Beliau memiliki sumbangsih terhadap dunia
pendidikan dengan bukti berdirinya pesantren Tebuireng dan aktif di dunia
sosial sebagai pendiri NU. Dan hal yang tak kalah penting lagi, dalam kehidupan
pribadinya beliau tidak pernah berpoligami seperti kiai salaf pada umumnya.
2. Adapun etika
terhadap buku yang diungkapkan KH. Hasyim Asy’ari adalah:
a)
Buku adalah salah satu sarana pokok dalam kegiatan
pembelajaran. Oleh karenanya, hendaknya orang yang sedang belajar memilikinya,
baik dengan cara membeli, menyewa atau meminjam.
b)
Apabila seseorang siswa meminjam suatu buku dari orang
lain, hendaknya ia langsung mengembalikannya begitu ia telah selesai
menggunakan buku tersebut, serta tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada
pemiliknya.
c)
Ketika menulis atau mengutip suatu buku, ia hendaknya
tidak meletakkan buku yang tengah dikutip tersebut di atas tanah (lantai).
Namun hendaknya ia meletakkannya di tempat yang lebih tinggi dan terhormat (di
atas meja dan sebagainnya).
d)
Setiap kali akan meminjam atau membeli suatu buku,
hendaknya terlebih dahulu ia memeriksa dan memastikan kesempurnaan susunan dan
isi (pembahasan).
e)
Dalam hal mengutip atau mencatat suatu materi (terutama
materi-materi yang berkaitan dengan ilmu-ilmu syariat agama Islam), hendaknya
ia melakukannya dalam keadaan suci, menghadap arah ke kiblat, serta berpakaian
yang bersih lagi sopan.
3. Beberapa
kontribusi etika terhadap buku dalam pendidikan adalah:
a)
Mensistematikan pemahaman pelajar dan pengajar, sehingga
para pelaku pendidikan benar-benar orang yang berkompeten dan bertanggung jawab
terhadap pengetahuan yang dimilikinya.
b)
Dengan etika terhadap buku, dapat memberikan contoh
karakter yang baik terhadap sesama, tidak saling merusak milik orang lain dan
tentunya selalu bersyukur atas pertolongan tuhan dan manusia.
c)
Ketelitian dalam memahami materi-materi pendidikan.
d)
Sebagai petuah dalam memahami materi, hendaknya membaca
buku pokoknya. Sehingga pemahaman tidak parsial.
e)
Dengan etika terhadap buku, dapat mengurai atau mencegah
adanya plagiatisme. Sehingga menghambat atau memusnahkan kecurangan-kecurangan
pada sarjana Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M.
Yatimin. 2006. Pengantar Studi Etika.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Asy’ari, M. Hasyim.
2007. Etika Pendidikan Islam: Petuah KH.
M. Hasyim Asy’ari untuk Para Guru (Kiai) dan Murid (Santri), terj. Mohammad
Kholil, Yogyakarta: Titian Wacana.
Atjeh, Abu Bakar. 1975. Sejarah Hidup KH A Wahid
Hasyim dan Karang Tersiar. Jakarta:
Panitia Buku Peringatan KHA Wahid Hasyim.
Djatmika, Rachmat.
1996. Sistem Etika Islam: Akhlak Mulia.
Jakarta: Pustaka Panjimas.
El Fadl, Khaled Abou. 2002. Musyawarah Buku: Menelusuri Keindahan Islam
dari Kitab ke Kitab. Jakarta: Serambi.
Ghazali M. Akhlak Seorang Muslim. 1995. terj. Abu
Laila dan M. Thohir. Bandung: PT. Al Ma’arif.
Hadziq, Muhammad
Ishomuddin. Kumpulan Kitab Karya Hadratus
Syaikh KH. Hasyim Asy’ari. 1991. Tebuireng: Pustaka Pelajar.
Nawawi, Imam. 2007. Hadits Arba’in, terj. Ibnu Nidzamuddin. Jakarta:
Gema Insani.
Rahmaniyah,
Istighfarotur . 2010. Pendidikan Etika.
Malang; UIN Press.
Rosenthal,
Franz. 1996. Etika Kesarjanaan Islam:
Dari al Farabi hingga Ibnu Khaldun, terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Mizan.
Suwendi. 2005. Konsep
Pendidikan KH. Hasyim Asy’ari. Jakarta:
LeKDis.
Apik, Pentingnya Memuliakan Kitab, http://apikdewefppundip2011.wordpress.com/2012/04/06/pentingnya-memuliakan-kitab/, diakses pada 19 Juni 2012.
[1] Apik, Pentingnya Memuliakan Kitab, http://apikdewefppundip2011.wordpress.com/2012/04/06/pentingnya-memuliakan-kitab/, diakses pada 19 Juni 2012
[3] H. Abu Bakar Atjeh, Sejarah
Hidup KH A Wahid Hasyim dan Karang Tersiar, (Jakarta: Panitia Buku Peringatan
KHA Wahid Hasyim, 1975), hlm. 35
[4] Muhammad Ishomuddin
Hadziq, Kumpulan Kitab Karya Hadratus
Syaikh KH. Hasyim Asy’ari (Tebuireng: Pustaka Pelajar, 1991), hlm. 5
[5] KH. M. Hasyim Asy’ari, Etika Pendidikan Islam: Petuah KH. M. Hasyim
Asy’ari untuk Para Guru (Kiai) dan Murid (Santri), terj. Mohammad Kholil,
(Yogyakarta: Titian Wacana, 2007), hlm. 95-97
[6] Khaled Abou El Fadl, Musyawarah Buku: Menelusuri Keindahan Islam
dari Kitab ke Kitab (Jakarta: Serambi, 2002), hlm. 25
[7] Imam Nawawi, Hadits Arba’in, terj. Ibnu Nidzamuddin
(Jakarta: Gema Insani, 2007), hlm. 38
[8] Asy’ari, Ibid, hlm. 98
[9] Asy’ari, Ibid, hlm. 97
[10] Franz Rosenthal, Etika Kesarjanaan Islam: Dari al Farabi
hingga Ibnu Khaldun, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 112
[11] El Fadl, Ibid, hlm. 124
[12] Ibid, hlm. 20
[13] Rachmat Djatmika, Sistem Etika Islam: Akhlak Mulia
(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996), hlm. 45
[14] M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2006), hlm. 319
[15] Istighfarotur Rahmaniyah,
Pendidikan Etika (Malang; UIN Press,
2010), hlm. 3
[16] Ibid, 65
[17] M. Al Ghazali, Akhlak Seorang Muslim, terj. Abu Laila
dan M. Thohir (Bandung: PT. Al Ma’arif, 1995), hlm. 417
[18] Ibid