Syekh Siti Jenar
A.
Biografi
Syekh Siti Jenar
1. Sebenarnya
asal usul Syekh Siti Jenar sampai sekarang masih belum jelas, belum ada sumber
yang dianggap sahih. Dari beberapa informasi Serat Syekh Siti Jenar Ki
Sasrawijaya, Agus Sunyoto, Suluk Abdul Jalil Perjalanan Rohani Syaikh Syekh
Siti Jenar dan Sang Pembaharu dan Sartono Kartodirjo dkk, Sejarah Nasional
Indonesia bahwa Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun 829 H/1348 C/1426 M. dilingkungan
Pakuwuan Caruban, pusat kota Caruban larang waktu itu, yg sekarang lebih
dikenal sebagai Astana japura, sebelah tenggara Cirebon. Suatu lingkungan yg
multi-etnis, multi-bahasa dan sebagai titik temu kebudayaan serta peradaban
berbagai suku.
Nama
Syekh Siti Jenar kadang-kadang disebut Syekh Siti Brit atau Syekh Lemah Abang.
Dalam bahasa Jawa, Jenar berarti kuning, sedang brit berasal dari abrit artinya
merah, sama seperti abang yang juga berarti merah.[1]
Syekh Siti Jenar (829-923 H/1348-1439 C/1426-1517
M), memiliki banyak nama : San Ali (nama kecil pemberian orangtua angkatnya,
bukan Hasan Ali Anshar seperti banyak ditulis orang); Syekh ‘Abdul Jalil (nama
yg diperoleh di Malaka, setelah menjadi ulama penyebar Islam di sana); Syekh
Jabaranta (nama yg dikenal di Palembang, Sumatera dan daratan Malaka); Prabu
Satmata (Gusti yg nampak oleh mata; nama yg muncul dari keadaan kasyf atau
mabuk spiritual; juga nama yg diperkenalkan kepada murid dan pengikutnya); Syekh
Lemah Abang atau Lemah Bang (gelar yg diberikan masyarakat Lemah Abang, suatu
komunitas dan kampung model yg dipelopori Syekh Siti Jenar; melawan hegemoni
kerajaan. Wajar jika orang Cirebon tidak mengenal nama Syekh Siti Jenar, sebab
di Cirebon nama yg populer adalah Syekh Lemah Abang); Syekh Siti Jenar (nama
filosofis yg mengambarkan ajarannya tentang sangkan-paran, bahwa manusia secara
biologis hanya diciptakan dari sekedar tanah merah dan selebihnya adalah roh
Allah; juga nama yg dilekatkan oleh Sunan Bonang ketika memperkenalkannya
kepada Dewan Wali, pada kehadirannya di Jawa Tengah/Demak; juga nama Babad
Cirebon); Syekh Nurjati atau Pangran Panjunan atau Sunan Sasmita (nama dalam
Babad Cirebon, S.Z. Hadisutjipto); Syekh Siti Bang, serta Syekh Siti Brit;
Syekh Siti Luhung (nama-nama yg diberikan masyarakat Jawa Tengahan); Sunan
Kajenar (dalam sastra Islam-Jawa versi Surakarta baru, era R.Ng. Ranggawarsita
[1802-1873]); Syekh Wali Lanang Sejati; Syekh Jati Mulya; dan Syekh Sunyata
Jatimurti Susuhunan ing Lemah Abang.[2]
Siti Jenar lebih menunjukkan sebagai simbolisme
ajaran utama Syekh Siti Jenar yakni ilmu kasampurnan, ilmu sangkan-paran ing
dumadi, asal muasal kejadian manusia, secara biologis diciptakan dari tanah
merah saja yg berfungsi sebagai wadah (tempat) persemayaman roh selama di dunia
ini. Sehingga jasad manusia tidak kekal akan membusuk kembali ketanah.
Selebihnya adalah roh Allah, yg setelah kemusnaan raganya akan menyatu kembali
dengan keabadian. Ia di sebut manungsa sebagai bentuk “manunggaling rasa”
(menyatu rasa ke dalam Tuhan).
Dan
karena surga serta neraka itu adalah untuk derajad fisik maka keberadaan surga
dan neraka adalah di dunia ini, sesuai pernyataan populer bahwa dunia adalah
penjara bagi orang mukmin. Menurut Syekh Siti Jenar, dunia adalah neraka bagi
orang yg menyatu-padu dgn Tuhan. Setelah meninggal ia terbebas dari belenggu
wadag-nya dan bebas bersatu dgn Tuhan. Di dunia manunggalnya hamba dgn Tuhan
sering terhalang oleh badan biologis yg disertai nafsu-nafsunya. Itulah inti
makna nama Syekh Siti Jenar.
Nenek
moyang Syekh Siti Jenar adalah Syekh Abdul Malik yang menikah dengan anak
penguasa setempat, lalu diberi nama Asamat Khan, dari perkawinan itu beliau
mempunyai beberapa anak,diantaranya bernama Abdullah Khanuddin atau Maulana
Abdullah.[3]
Kemudian
Maulana Abdullah mempunyai beberapa anak, dua diantaranya adalah Ahmadsyah
Jalaluddin atau Jainal Abidin Al-Kabir dan Syekh Kadir Kaelani. Setelah dewasa,
Achmadsyah pindah ke kamboja dan menjadi penyiar agama islam disana. Syekh
Kadir Kaelani sendiri mempunyai anak bernama Syekh Maulana Isa yang bermukim di
Malaka. Syekh Maulana Isa mempunyai dua orang anak, yaitu Syekh Datuk Achmad
dan Syekh Datuk Sholeh.[4]
Menurut
pendapat yang lain, Abdul Munir Mulkhan mengatakan bahwa Syekh Siti Jenar
berasal dari daerah Cirebon. Ayahnya seorang raja pendeta bernama Resi Bungsu.
Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Ali Hasan alias Syekh Abdul Jalil. Suatu
ketika ayah Syekh Siti Jenar marah lalu anaknya itu disihir menjadi cacing dan
dibuang ke sungai. Pada waktu itu sunan Mbonang sedang mengajar ilmu luhur di
atas perahu kepada murid-muridnya, termasuk sunan Kalijogo, perahu yang
ditumpanginya bocor lalu ditambal dengan tanah. Ternyata didalam tanah itu
terdapat cacing jelmaan syekh Siti Jenar tersebut. Karena sunan Mbonang tahu
ada seseorang nguping, maka cacing tersebut lalu dirubah menjadi manusia
kembali seperti wujudnya semula dan diberi nama Siti Jenar.[5]
Tetapi
pada halaman yang berbeda terdapat cerita yang berbeda, yaitu setelah perahu
tidak bocor, maka sunan Mbonang melanjutkan wejangannya. Karena kecerdasan
Syekh Siti Jenar mampu menyerap ajaran sunan Mbonang tersebut. Namun karena
tidak lengkap, atau karena tidak mendapat perkenan dari gurunya, maka Syekh
Siti Jenar menjadi sombong dan menyebarkan ajaran sesat. Beliau mengajarkan
agama islam menurut pandanganya sendiri. Bahkan Syekh Siti Jenar menganggap
dirinya sebagai dzat Allah, dan memandang budi serta kesadaran manusia sebagai
tuhan itu sendiri. Menurut Syekh Siti Jenar, sifat Allah yang 20 terkonsentrasi
melekat dalam budi manusia yang dapat bersifat kekal dan abadi dalam kodrat dan
irodatnya. Inilah yang oleh Syekh Siti Jenar dinamakan ilmu Sejati.[6]
Selama ini, silsilah Syekh Siti Jenar masih sangat
kabur. Kekurangjelasan asal-usul ini juga sama dgn kegelapan tahun kehidupan
Syekh Siti Jenar sebagai manusia sejarah.
Pengaburan tentang silsilah, keluarga dan ajaran
Beliau yg dilakukan oleh penguasa muslim pada abad ke-16 hingga akhir abad
ke-17. Penguasa merasa perlu untuk “mengubur” segala yg berbau Syekh Siti Jenar
akibat popularitasnya di masyarakat yg mengalahkan dewan ulama serta ajaran
resmi yg diakui Kerajaan Islam waktu itu. Hal ini kemudian menjadi latar
belakang munculnya kisah bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing.
Dalam sebuah naskah klasik, cerita yg masih sangat
populer tersebut dibantah secara tegas,
“Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded,
sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun
Lemahbang.”
Artinya: Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu
berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia berdarah kecil
saja (rakyat jelata), bertempat tinggal di desa Lemah Abang]….
Jadi Syekh Siti Jenar adalah manusia lumrah hanya
memang ia walau berasal dari kalangan bangsawan setelah kembali ke Jawa
menempuh hidup sebagai petani, yg saat itu, dipandang sebagai rakyat kecil oleh
struktur budaya Jawa, disamping sebagai wali penyebar Islam di Tanah Jawa.
Syekh Siti Jenar yg memiliki nama kecil San Ali dan
kemudian dikenal sebagai Syekh ‘Abdul Jalil adalah putra seorang ulama asal
Malaka, Syekh Datuk Shaleh bin Syekh ‘Isa ‘Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain
bin Syekh ‘Abdullah Khannuddin bin Syekh Sayid ‘Abdul Malikal-Qazam. Maulana
‘Abdullah Khannuddin adalah putra Syekh ‘Abdul Malik atau Asamat Khan. Nama
terakhir ini adalah seorang Syekh kalangan ‘Alawi kesohor di Ahmadabad, India,
yg berasal dari Handramaut. Qazam adalah sebuah distrik berdekatan dgn kota
Tarim di Hadramaut.
Syekh ‘Abdul Malik adalah putra Syekh ‘Alawi, salah
satu keluarga utama keturunan ulama terkenal Syekh ‘Isa al-Muhajir al-Bashari
al-‘Alawi, yg semua keturunannya bertebaran ke berbagai pelosok dunia,
menyiarkan agama Islam. Syekh ‘Abdul Malik adalah penyebar agama Islam yg
bersama keluarganya pindah dari Tarim ke India. Jika diurut keatas, silsilah
Syekh Siti Jenar berpuncak pada Sayidina Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib,
menantu Rasulullah. Dari silsilah yg ada, diketahui pula bahwa ada dua kakek
buyutnya yg menjadi mursyid thariqah Syathariyah di Gujarat yg sangat
dihormati, yakni Syekh Abdullah Khannuddin dan Syekh Ahmadsyah Jalaluddin.
Ahmadsyah Jalaluddin setelah dewasa pindah ke Kamboja dan menjadi penyebar
agama Islam di sana.
Adapun Syekh Maulana ‘sa atau Syekh Datuk ‘Isa putra
Syekh Ahmadsyah kemudian bermukim di Malaka. Syekh Maulana ‘Isa memiliki dua
orang putra, yaitu Syekh Datuk Ahamad dan Syekh Datuk Shaleh. Ayah Syekh Siti
Jenar adalah Syekh Datuk Shaleh adalah ulama sunni asal Malaka yg kemudian
menetap di Cirebon karena ancaman politik di Kesultanan Malaka yg sedang
dilanda kemelut kekuasaan pada akhir tahun 1424 M, masa transisi kekuasaan
Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sumber-sumber
Malaka dan Palembang menyebut nama Syekh Siti Jenar dgn sebutan Syekh Jabaranta
dan Syekh ‘Abdul Jalil.
Pada akhir tahun 1425, Syekh Datuk Shaleh beserta
istrinya sampai di Cirebon dan saat itu, Syekh Siti Jenar masih berada dalam
kandungan ibunya 3 bulan. Di Tanah Caruban ini, sambil berdagang Syekh Datuk
Shaleh memperkuat penyebaran Islam yg sudah beberapa lama tersiar di seantero
bumi Caruban, besama-sama dgn ulama kenamaan Syekh Datuk Kahfi, putra Syehk
Datuk Ahmad. Namun, baru dua bulan di Caruban, pada tahun awal tahun 1426,
Syekh Datuk Shaleh wafat.
Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti Jenar kecil
diasuh oleh Ki Danusela serta penasihatnya, Ki Samadullah atau Pangeran
Walangsungsang yg sedang nyantri di Cirebon, dibawah asuhan Syekh datuk Kahfi.
Jadi walaupun San Ali adalah keturunan ulama Malaka,
dan lebih jauh lagi keturunan Arab, namun sejak kecil lingkungan hidupnya
adalah kultur Cirebon yg saat itu menjadi sebuah kota multikultur, heterogen
dan sebagai basis antarlintas perdagangan dunia waktu itu.
Saat
itu Cirebon dengan Padepokan Giri Amparan Jatinya yg diasuh oleh seorang ulama
asal Makkah dan Malaka, Syekh Datuk Kahfi, telah mampu menjadi salah satu pusat
pengajaran Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu ‘alat, serta tasawuf. Sampai usia
20 tahun, San Ali mempelajari berbagai bidang agama Islam dengan sepenuh hati,
disertai dengan pendidikan otodidak bidang spiritual.
Menurut
pendapat yang lainya, Widji Saksono mengatakan bahwa Syekh Siti Jenar merupakan
keturunan nabi Muhammad Saw melalui jalur Siti Fatimah, Imam husen, Said Jenal
Ngabidin, Muhammad Bakir, Datuk Ngisa Tuwu yang tinggal di Malaka, Syekh Datuk
Salek, kemudian Syekh Lemah Abang. Rinkes menganggap bahwa informasi ini
merupakan sesuatu yang menggelikan, ia justru lebih tertarik untuk
memperhatikan tulisan tangan R Ng Ronggowarsito, yang menganggap Syekh Siti
Jenar adalah putra dari sunan Gunungjati yang demikian besar minat dan tekunnya
mengaji berbagai ilmu keislaman, terutama mistik. Syekh Siti Jenar berguru
kepada sunan Ampel, dan saking cintanya beliau tidak mau menikah. Selesai
belajar di Ampeldenta beliau menetap di Kediri. Dr. H Kraemer menamakan Syekh
Siti Jenar sebagai Al-Hallaj Jawa, yang menurut para wali kesalahanya bukan
langsung terletak pada ajaranya, melainkan pada kenyataan bahwa Syekh Siti
Jenar miak wirana (membuka rahasia tertinggi yang sesungguhnya, dan hanya boleh
disampaikan kepada orang-orang khawwas).[7]
Pendapat
semacam itu memang diyakini oleh banyak tokoh dan penulis, padahal bukankah
ajaran Islam yang benar boleh diajarkan kepada siapa saja dan kapan saja?.
Hanya ajaran Islam yang menyimpang yang memilah-milah siapa yang boleh
menerimanya dan siapa yang belum boleh menerimanya. Uka tjandrasasmita termasuk
yang mempunyai pendapat itu, ia mengatakan bahwa untuk murid yang sudah
dianggap mampu menerima, di pesantren juga diajarkan ilmu tasawuf. Lebih lanjut
diterangkan bahwa tasawuf merupakan salah satu faktor yang penting perananya
dalam perkembangan Islam di Indonesia. Islam dengan warna tasawuf di Indonesia
terutama terjadi sejak abad ke 15-18 M.[8]
Ensiklopedi
Kebudayaan Jawa juga menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar bergelar prabu satmata
atau raja yang tampak oleh mata. Syekh Siti Jenar itu masih berpengaruh pada
aliran kebatinan dan kejawen, yaitu konsep Manunggaling Kawula Gusti.[9]
Satu
pendapat lagi di dalam Serat Siti Jenar karya Ki Panji Notoroto mengatakan
bahwa Syekh Siti Jenar adalah keturunan elit hindu-Budha dari Jawa Barat
(Cirebon). Asal-usul Syekh Siti Jenar ini ada pula yang mengkaitkan bahwa orang
tua Syekh Siti Jenar adalah keturunan penguasa di daerah Jawa yang sedang
runtuh. Runtuhya penguasa tersebut barangkali oleh kekuatan baru, yaitu
Islam.
Sampai
disini ada empat versi asal usul Syekh Siti Jenar. Pertama, bernama Syekh Abdul
Jalil atau Syekh Jabaranta itu adalah putra Syekh Datuk Sholeh. Kedua, Syekh
Siti Jenar berasal dari daerah Cirebon. Ayahnya seorang raja pendeta bernama
Resi Bungsu. Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Ali Hasan alias Syekh Abdul
Jalil. Ketiga, Syekh Siti Jenar merupakan keturunan nabi Muhammad Saw melalui
jalur Siti Fatimah, Imam husen, Said Jenal Ngabidin, Muhammad Bakir, Datuk
Ngisa Tuwu yang tinggal di Malaka, Syekh Datuk Salek, kemudian Syekh Lemah
Abang. Keempat, Syekh Siti Jenar adalah putra dari sunan Gunungjati yang
demikian besar minat dan tekunnya mengaji berbagai ilmu keislaman, terutama
mistik.
Menurut
Rahimsyah, ketika memasuki usia remaja, Syekh jabaranta pergi ke Persia lalu
tinggal selama beberapa tahun di Baghdad. Baik ketika tinggal di Persia maupun
di Baghdad, Syekh Jabaranta belajar agama Islam dari ulama Syi’ah. Dari Baghdad
Syekh jabaranta lalu pergi ke Gujarat. Di Gujarat Syekh Jabaranta sempat nikah
dengan wanita Gujarat dan mempunyai beberapa anak, di antaranya adalah Ki Datuk
Pardun dan Ki Datuk Bardut. Dari Gujarat Syekh Jabaranta kembali ke kampung
halamannya di Malaka selama beberapa tahun, lalu kembali ke Baghdad sampai
akhirnya pindah ke Jawadwipa sampai akhirnya hayatnya. Di pulau Jawa ini Syekh
Jabaranta dikenal dengan membawa faham Syi’ah. Pada waktu itu Islam di Jawa
baru mengalami perkembangan yang pesat dengan corak Sunni.[10]
Versi
mana yang benar sulit untuk ditetapkan. Versi satu dengan yang lain sangat jauh
berbeda, hampir-hampir tidak ada kemiripannya sama sekali. Dan nampaknya penulis-penulis
hanya membiarkan kesimpang siuran itu, sehingga masalah Syekh Siti Jenar tetap
menjadi misteri. Olek karena itu terserah kita mengambil yang mana sesuai
dengan pemahaman dan kepercayaan masing-masing.
2.
Kisah
Perjalanan Syekh Siti Jenar
Dikisahkan dalam Suluk Malang Sungsang, setelah
memasuki tahun kelima dari perjalanannya di pedalaman Nusa jawa, sampailah
Abdul Jalil di dukuh Lemah Abang yang terletak di kaki utara gunung Mahendra
(Lawu) di lembah selatan bengawan Sori. Di dukuh yang dibukannya barang enam
tahun silam itu ia disambut dengan penuh suka cita oleh murid-murid yang sangat
merindukannya. Namun, ia memutuskan tidak tinggal di Lemah Abang. Ia tinggal
dan mengajar di Siti Jenar, yang terletak di utara Bengawan Sori. Berbeda dengan
tampilan keseharian sewaktu ia menggunakan nama masyhur Syaikh Jabaranta, di
dukuh Siti Jenar itu ia melepaskan khirqah sufi dan tidak memperkenalkan diri
dengan nama Syaikh Jabarantas. Hal ini dikarenakan peringatan dari istrinya
menyangkut sikap para wiku yang sangat berlebihan menghormatinya, seolah-olah
mereka adalah sekumpulan umat yang menunggu sabda Nabi panutannya. Para wiku
selalu mengiyakan apa saja yang di sampaikan Abdul Jalil tanpa ada yang
bertanya apalagi membantah.[11]
Sadar anggapan keliru para wiku itu bakal
mendatangkan masalah yang tidak kalah pelik dibanding nama mashur Syaikh lemah
Abang di Caruban, Abdul Jalil pun buru-buru melepas khirqah ketika akan
memasuki dukuh Siti Jenar. Itu sebabnya, tidak ada seorangpun yang mengenalnya
sebagai guru suci termasyhur bernama Syekh jabarantas. Kepada para murid yang
semula mengenalnya dengan nama Syaikh Lemah Abang, ia meminta untuk tidak
menggunakan nama itu lagi. Para murid dan penduduk desa-desa sekitar
menyebutnya dengan nama baru sesuai dukuh tempatnya mengajar, yaitu Syaikh Siti
Jenar (Jawa Kuno: guru suci dari dukuh Siti Jenar).[12]
Versi yang berbeda menyatakan, nama Syekh Siti Jenar
diberikan karena Ali Hasan pernah menjadi seekor cacing tanah. Sebelum Ali
Hasan yang sekarang memiliki julukan Syekh Siti Jenar dinobatkan menjadi
anggota dewan walisongo, terlebih dahulu Siti Jenar belajar kepada Sunan Giri.
Karena ia merupakan salah satu anggota yang bisa dikatakan juga sebagai murid
baru, maka Syekh Siti Jenar hanya diberikan ajaran yang sekiranya perlu.[13]
Ia mencuri ilmu, dikarenakan saat itu ia merasa
sudah menguasai ilmu yang diberikan oleh Sunan Giri, untuk itu ia mempelajari
yang belum ia ketahui.[14]
Tidak lama kemudian setelah ia sadar, bahwa dirinya
diberhalakan oleh murid-muridnya, ia mengambil keputusan untuk pergi
meninggalkan dukuh Siti Jenar, meski ia tahu istrinya sedang hamil tua. Sebelum
pergi, ia menyampaikan khotbah Tauhid kepada para murid dan orang-orang yang
mengaku pengikutnya. Inti dari khotbah itu adalah setiap orang harus sadar jika
segala sesuatu yang tergeletak di alam semesta ini adalah nisbi. Tidak ada yang
bersifat mutlak. Lantaran itu, masing-masing orang harus hidup madya (tengah-tengah),
ora ngoyo (tidak berlebihan), dan ora ngongso (tidak melampui batas).
Setelah itu ia dan istrinya melewati jalan setapak
berliku atau lembah yang tak banyak dilewati manusia. Namun, sepanjang
perjalanan yang diliputi kesunyian itu, ia justru merasakan kerinduan yang kuat
untuk berbagi keberlebihan-kelimpahannya kepada manusia. Ia merasa berat untuk
menggenggam tangannya erat-erat dan tidak memberi. Ia merasakan jiwanya seperti
air mata berbual-bual yang airnya tidak dapat mengalir karena tertahan tumpukan
batu-batu berbalut lumpur kotor. Akhirnya ia bersinggah di kerajaan Pengging.
Pengging adalah daerah yang subur makmur, gemah
ripah loh jinawi, yang membentang sejak lembah selatan dan tenggara gunung
Candrageni hingga wilayah timur gunung Candramukha, terus ke utara hingga
perbatasan Kadipaten Semarang. Meski Pengging hanya negeri kecil sempalan
Majapahit yang lebih sempit wilayahnya dibandingkan Pajang, Mataram, dan Paris
Luhur, di bawah kepemimpinan Prabu Adi Andayaningrat, kemakmuran Pengging tidak
kalah dibandingkan ketiga kerajaan tersebut. Bahkan dalam hal keamanan boleh
dikata pengging sangat kuat dan mantab kecuali wilayah perbatasan
Mataram-Pajang-Pasir-Pengging yang seperti tanpa penguasa.[15]
3.
Kematian
Syekh Siti jenar
Kematian Syekh Siti Jenar tidak terlepas dari kisah
persidangan Walisongo, dengan memperhatikan akibat buruk tibdakan-tindakan
Syekh Siti Jenar itu akhirnya sidang Walisongo memutusakan hukum kisas baginya.
Sidang dihadiri oleh
delapan wali yang lain dan dipimpin oleh Sunan Giri sebagai ketua. Sunan Giri
mengutus dua santri pilihan untuk menyampaikan hasil keputusan Walisongo itu
kepada Syekh Siti Jenar. Ketika dua utusan itu tiba di tempat tinggal Syekh
Siti Jenar, Syekh Siti Jenar menanyakana bagaimana sebutan dirinya dalam
undangan sunan Giri itu. Kedua utusan mengatakan bahwa yan diundang adalah
Syekh Lemah Abang, maka Syekh Siti Jenar menjawab bahwa Syekh Lemah Abang tidak
ada disini, yang ada ialah pangeran Sejati (Allah), yaitu Jatining Pangeran Muya. Dengan kesal kedua utusan itu kembali tanpa
hasil.
Ketika mendengar laporan
tersebut, sunan Giri marah sekali, tetapi masih dapat di sabarkan oleh wali
yang lain. Kedua utusan disuruh kembali untuk memnaggil pangeran sejati.
Dipanggil dengan sebutan itu, Syekh Siti Jenar menyarankan agar utusan itu
kembali ke Giri karena tidak ada disitu pangeran sejati, yang ada Syekh Lemah
Abang utusan kembali lagi dengan tangan hampa dan kesal. Sesampai di Giri,
utusan itu disuruh kembali untuk mengundang Pangeran Sejati alias Syekh Lemah
Abang, atau Syekh Lemah Abang alias Pangeran Sejati. Dengan panggilan itu
barulah Syekh Siti Jenar mau memenuhi undangan Sunan Giri atas nama Walisongo.
Setelah Walisongo berkumpul semua, forum terpecah menjadi dua kubu, yaitu walisono
(delapan orang) berhadapan dengan Syekh Siti Jenar seorang diri. Setelah nyata
dan yakin bahwa Syekh Siti Jenar tersesat dan bid’ah, maka para wali berusaha
untuk menginsyafkannya. Tetapi ajakan itu ditolak, seperti diberitakan kitab
walisana dalam langgam Asmarandana, pupuh XXXII bait 20-21.
Mengahadapi masalah itu, patih Wonosalam mengusulkan
kepada raja agar membuat surat dengan ditandatangani oleh patih, penghulu dan
jaksa. Isi surat minta agar Syekh Siti Jenar menghadap raja Demak dan kalau
tidak mau datang akan dihukum kisas. Sunan Kalijogo mengusulkan agar orang yang
ditunjuk sebagai utusan adalah semua wali. Namun sunan Maulana Maghribi
mengusulkan cukup lima wali saja yang masing-masing disertai oleh
murid-muridnya. Atas dasar itu lalu berangkatlah Sunan Mbonang, Sunan Kalijogo,
Pangeran Modang, pangeran Kudus dan Sunan Geseng. Utusan berangkat ke desa
Krendhasewa diikuti oleh 40 santri. Para santri memakai pakaian serba putih dan
membawa senjata tajam.[16] Menghemat penulisan,
akhirnya memutuskan hukuman mati bagi Syekh Siti Jenar. Sampai sekarang tidak
diketahui dengan pasti di mana letak desa Krendhasawa, tempat tinggal Syekh
Siti Jenar tersebut.
Walaupun Walisongo telah
memutuskan hukuman mati bagi Syekh Siti Jenar, namun pelaksanaan pidanannya
masih ditangguhkan sampai berdirinya pemerintahan atau kerajaan Islam di Demak.
Para wali berpendapat bahwa masalah eksekusi hukuman mati sebagai perkara
pidana adalah hak penguasa negara Islam yang sah, bukan hak pribadi seseorang.
Sebagai pribadi para wali tidak mempunyai hak untuk menetapkan suatu pidana,
apalagi pidana mati atas seseorang. Setelah kerajaan Islam Demak Bintara
berdiri, Syekh Siti Jenar dipanggil oleh sidang Walisongo. Tetapi ternyata
pendirian Syekh Siti Jenar tidak berubah sehingga hukum kisas dilaksanakan
atasnya.[17]
Tentang pemberian
hukuman mati kepada Syekh Siti Jenar ini Babad Tanah Jawi (Wirjapanitra,
hlm.21-22) menuliskan,
Sunan Mbenang Mbisiki Sunan
Kudus supaya Sitijenar den pateni. Ing wasana Sitijenar pinedhang dening Sunan
Kudus, sirahe gumlundhung ing lemah, getihe abang muncrat-muncrat. Sunan Kudus
ngendika: Elo iki jarene Allah, teka getihe abang. Padha sanalika metu getihe
putih, gandane arum mengambar, sarine gumlundhung aneng lemah. Sunan Kudus
ngendika; jarene Allah, teka padha bae karo aku, jisime gumluntung aneng lemah.
Padha sanalika jisime mumbul terus sirna. Sunan Kudus ngendika maneh; lah iki
wali apa, dene patine nggawa jisim, kaya jim prayangan. Kacarita jisime tumuli
niba eneng lemah. Banjur dukubur.
Intinya, perkumpulan para wali di Demak, dipimpin
oleh Sunan Giri, yang memutuskan untuk menghukum Syekh Siti Jenar. Sunan Kudus
mengusulkan agar Syekh Siti Jenar diundang ke Demak. Untuk itu diutuslah dua
orang memanggil Syekh Siti Jenar. Pertama kali kedua utusan itu tidak berhasil,
utusan lalu kembali ke Demak. Akan tetapi keduannya disuruh kembali ke tempat
tinggal Syekh Siti Jenar untuk memanggil lagi. Pada panggilan kedua ini Syekh
Siti Jenar mau datang dan kemudian ditetapkan hukum mati baginya. Pelaksanaan
hukuman mati tersebut dilakukan oleh Sunan Kudus dengan dipedang lehernya.[18]
Sumber lain menyatakan, bahwa rombongan utusan raja
Demak yang ditugaskan untuk mengatasi masalah Syekh Siti Jenar itu dipimpin
Sunan Mbonang. Ketika rombongan utusan Demak tiba di desa Krendhasawa, mereka
lalu menuju tempat tinggal Syekh Siti Jenar. Salam yang diucapkan oleh pimpinan
rombongan, yaitu sunan Mbonang sama sekali tidak dijawab oleh Syekh Siti Jenar
yang sedang mengajar murid-muridnya. Oleh karena itu surat raja lalu
dilemparkan kepada Syekh Siti Jenar dan jatuh dipangkuannya. Syekh Siti Jenar
terkejut dengan kejadian itu, tetapi tidak menghiarukan tamunnya dan terus
melanjutkan mengajar ilmu kepada murid-muridnya, pura-pura tidak tahu kalau ada
rombongan tamu terhormat.
Setelah terjadi perdebatan lama antara sunan Mbonang
dengan Syekh Siti Jenar, dan kemudian Syekh Siti Jenar pilih mati dengan
caranya sendiri. Cara yang ditempuh, menurut Abdul Munir Mulkhan yaitu
memusatkan fikiran, lalu menutup rapat-rapat pintu nafas, menggulung habis
rahasia hidupnya, kemudian dilepas ke tempatnya semula. Cara mati ini tentu
sulit ditangkap orang lain dan tidak masuk akal, tetapi sangat dikagumi oleh
para penganutnya. Cara bunuh diri seperti ini dianggap hanya dapat dilaksanakan
oleh orang yang tingkat kerohaniannya sangat tinggi.[19]
Dalam serat Syekh Siti Jenar disebutkan bahwa ketika
walisongo membuka keranda yang berisi jenazah Syekh Siti Jenar, mereka mencium
bau wangi dan cahaya kemilau. Kalau hal itu diketahui umum, mereka khawatir
popularitas Syekh Siti Jenar akan meningkat dan sebaliknya membuat walisanga
merasa malu serta wibawa kerajaan Demak akan memudar. Olek karena itu tanpa
sepengetahuan raja Demak, jenasah Syekh Siti Jenar lalu diganti dengan bangkai
anjing kudisan.[20]
Selain itu, sebuah kisah lain lagi menyatakan bahwa
pengadilan Syekh Siti Jenar dan pemakamannya dilakukan di Cirebon. Bahkan kisah
pengadilan Syekh Siti Jenar di cirebon ini juga dilengkapi dengan tempat
pemakamannya yang dinamakan makam Pamlaten,
karena katanya pada waktu makam dibongkar kembali yang nampak bukan jenasah
manusia, melainkan dua kuntum bunga melati yang harum baunya.[21]
Menurut Agus Sunyoto, Syekh Siti Jenar wafat biasa
karena usia tua. kisah-kisah legenda tentang eksekusi membingungkan dan tidak
sesuai kronologi waktu, terutama saat terjadi kontroversi naskah Cirebon dan
Demak. Menurut naskah Cirebon, Syekh Siti Jenar diadili dan dieksekusi di
Masjid Cipta Rasa Cirebon. Menurut versi Demak, Syekh Siti Jenar diadili dan
dieksekusi di Masjid Demak. Mungkinkah satu orang diadili dan dieksekusi di dua
tempat dalam waktu berlainan?.[22]
Menurut penganut Tarikat Akmaliyah yg dinisbatkan
kepada Syekh Siti Jenar, sesungguhnya Syekh Siti Jenar tidak diadili dan
dieksekusi mati. Tapi ajarannya dilarang Sultan Demak.
Bagaimanapun Kisahnya, semua serba kontrofersi mulai
dari adanya, asal usulnya bahkan makamnya. Namun, setiap elemen pasti memiliki
negatif dan positifnya, begitu juga Dia.
Banyak pelajaran kebaikan yang dapat kita ambil dari
kisah hidup dan ajaran Syekh Siti Jenar. Meski sumber tentang kehidupan dan
pahamnya hanya bersumber karangan pujangga, yakni Raden Sosrowidjojo dan
kenjeng Sunan Pakubuwono VI, hal ini tidak menjadikan kita surut untuk menggali
kebenaran umat di saat kini, yakni tingkah dan tindakannya yang congkak, kurang
mengahargai tatanan masyarakat, kurang menghormati hukum syari’at dan negara,
serta tutur kata yang kasar tiada mengerti perasaan lawan bicara. Hal ini
tidaklah sesuai dengan teladan kanjeng nabi Muhammad Saw.[23]
Ragil menuliskan 7 kesalahn Syekh Siti Jenar, yaitu:[24]
a) Syekh siti jenar tidak menggunakan cara yang baik untuk mencari ilmu
b) Syekh Siti Jenar keluar dari syari’at
c) Syekh Siti Jenar tidak menempatkan ilmu pada tempat yang seharusnya
d) Syekh Siti Jenar tidak mencapai maksud dalam belajar ilmu
e) Syekh Siti jenar tidak menghargai kedudukan orang lain
f) Syekh Siti Jenar tidak menghargai kehidupan
Sementara pelajaran baik yang dapat kita ambil
adalah tentang kesempurnaannya dalam bertauhid. Puncak pengharapan seorang saalik atau penempuh jalan spiritual
adalah tercapainya keadaan tauhid dalam diri secara sempurna. Tauhid dalam arti
penyatuan, yakni penyatuan tuhan dan meniadakan yang lainnya. Sebagaimana isi
syahadat atai penyaksian sebagai rukun islam yang pertama.[25]
Menurut penganut Tarikat Akmaliyah yg dinisbatkan
kepada Syekh Siti Jenar, sesungguhnya Syekh Siti Jenar tidak diadili dan
dieksekusi mati. Tapi ajarannya dilarang Sultan Demak.
Dari ulasan diatas dapat disimpulkan, bahwasanya
kematian Syekh Siti jenar ada dua pendapat:
a) Menurut Widji Saksono, mati karena hukuman kisas (dipenggal)
b) Menurut Munir Mulkhan, mati karena keinginannya sendiri
c) Menurut Agus sunyoto, mati karena usia tua
Makam Syekh Siti Jenar:
a) Masjid Demak
b) Cirebon, pemakaman Pamlaten
B.
Ajaran-ajaran
Syekh Siti Jenar
1.
ajaran
Syekh Siti Jenar
Ajaran Syekh Siti Jenar dikenal sebagai ajaran ilmu
kebatinan. Suatu ajaran yang menekankan aspek kejiwaan dari pada aspek lahiriah
yang kasat mata. Intinya ialah konsep tujuan hidup. Titik akhir dari ajaran
Siti Jenar ialah tercapainya manunggaling kawula-Gusti. Yaitu bersatunya antara
roh manusia dengan Dzat Allah. Paham inilah yang hampir sama dengan ajaran para
zuhud, wali dan orang-orang khowash. Zuhud banyak dijumpai dalam dunia tasawuf.
Mereka merupakan orang-orang atau kelompok yang menjauhkan diri dari kemewahan
dan kesenangan duniawi. Sebab mereka mempunyai tujuan hidup yang lebih utama,
yakni ingin mencapai kesucian jiwa atau roh.
Inti ajaran Syeh Siti Jenar adalah pencapaian
spiritualitas yang tinggi dalam penyatuan antara makhluk dengan Dzat Pencipta,
yang lebih populer disebut sebagai manunggaling kawula-Gusti. Bagian-bagian
dari ajaran itu adalah meliputi penguasaan hidup, pengetahuan tentang pintu
kehidupan, tentang kematian, tempat kelak sesudah ajal, hidup kekal tak
berakhir, dan tentang kedudukan Yang Mahaluhur. Paham yang hampir senada dengan
falsafah Jawa kuno.
Menurut Walisana, Syekh Siti Jenar adalah San Ali
Ansor, yaitu seorang ahli sihir yang tidak diterima berguru kepada sunan Giri
karena sang guru khawatir ilmunya akan diselewengkan.[26]
Disisi
lain Gatra dalam bukunya mengatakan bahwa Syekh Siti Jenar pada awalnya adalah
bagian dari walisongo. Oleh dewan walisongo, Syekh Siti Jenar diserahi tugas
untuk mengajar sasahidan, yaitu belajar syahadat dan tauhid. Tetapi belakangan
ajaran Syekh Siti jenar lebih mengarah ke ilmu hakikat yang kemudian
mengabaikan syari’at sehingga walisongo menilai hal itu bukan konsumsi orang
yang awam dengan ajaran islam. Di daerah miskin dan terbelakang yang
masyarakatnya baru saja meninggalkan agama Hindu dan terlepas dari kekangan
aturan kasta, ajaran pembebasan seperti itu sangat menarik. Itulah sebabnya
mengapa di daerah tertentu ajaran Syekh Siti Jenar cepat berkembang dari pada
ajaran walisongo.[27]
Ada
kemungkinan, bahwa bergabungnya mereka dengan aliran Syekh Siti Jenar itu bukan
karena landasan keyakinan agama, melainkan karena alasan politik stategis.
Karena hal serupa pernah terjadi sekitat tahun 1965-1968, ketika para penganut
faham komunis di Indonesia ketakutan dengan reformasi orde baru yang
membubarkan partai komunis itu lalu menggabungkan diri dengan kelompok non
Islam apa saja karena sebelumnya PKI sangat bermusuhan dengan golongan Islam.
Kepada
siapa saja Syekh Siti Jenar menggali ilmu, beritanya sangat simpang siur.
Mungkin Syekh Siti Jenar pernah berguru kepada Vendanta Budhisme, mungkin pula
pada seorang guru Syi’ah Bathiniyah, bahkan mungkin dari mazhab Zindiq. Dalam
kitab Walisana disebutkan bahwa Syekh Siti Jenar pernah berguru pada sunan Giri
secara mencuri-curi, karena beliau dianggap memiliki ilmu sihir, dengan alasan
ditakutkan kalau ajaran Islam disalah gunakan untuk meningkatkan ilmu sihir
yang telah dimiliki oleh beliau.[28]
Salah
satu ajaranya yang dianggap aneh ialah tentang hidup dan mati, tentang tuhan
dan manusia, serta kewajiban memenuhi rukun Islam. Syari’at yang dikenakan bagi
orang hidup, tidak berlaku bagi orang yang mati. Padahal, Syekh Siti Jenar
berpendapat bahwa semua orang di dunia ini adalah mati, dan kehidupan yang
sesungguhnya baru dimulai setelah orang meninggalkan dunia. Orang-orang yang
nampaknya hidup di dunia ini tak lain adalah bangkai-bangkai yang terdiri atas
tulang dan daging yang kelak akan ditinggalkan.[29]
Sebelumya,
agar pembahasan lebih sistematis, maka dipisahkan antara inti ajaran dan
pandangan Syekh Siti Jenar terhadap syari’at Islam. Kedua hal itu sebenarnya
memang sangat erat hubunganya. Dengan pemisahan itu diharapkan pembahasan
selanjutnya lebih terfokus.
Dengan
pendirian serta keyakinan kepada murid-muridnya, beliau mengajarkan lima tahap
ilmu, yaitu:
a) tentang asal-usul manusia.
b) masalah yang berkaitan dengan pintu kehidupan.
c) tempat manusia hidup kekal dan abadi.
d) tempat alam kematian yang sekarang sedang dialami.
e) tentang adanya Yang Maha Luhur yang menciptakan bumi dan angkasa.
Para murid yang kebanyakan orang awam menerima dengan mentah-mentah,
berlaku seperti orang kehilangan akal, sikapnya angkuh bahwa ia adalah orang
pilihan sebagai murid beliau. Seperti gurunya mereka merasa bahwa hidup di
dunia adalah siksaan maka tindakanya menunjukkan sebagai orang yang tidak betah
hidup.
Setelah menerima lima langkah ilmu tersebut, banyak murid Syekh Siti
Jenar yang memilih mengakhiri kematian di dunia ini dengan cara bunuh diri atau
berbuat onar agar mereka terbunuh. Murid-murid Syekh Siti Jenar merasa tidak
tahan lagi berada di dunia yang selalu mengalami kesulitan, penderitaan dan
kesengsaraan. Mereka merasa bosan dan muak melihat bangkai-bangkai berserakan
dan berkeliaran ke mana-mana.[30]
Bagi beliau hidup di dunia ini adalah mati yang disitu terdapat baik
buruk, sakit dan enak, mujur dan celaka, surga dan dunia. Bahagia dan sempurna
campur menjadi satu. Dengan adanya peraturan, maka manusia terbebani sejak
lahir. Oleh karena itu, ajaran Syekh Siti Jenar sangat menekankan pada upaya
mencari hidup yang abadi agar tahan mengalami hidup dunia itu. Beliau selalu
mengajarkan bagaimana cara mencari moksa. Hidup ini mati karena mati adalah
hidup yang sesungguhnya, karena manusia bebas dari segala derita.[31]
Beliau memandang kehidupan di dunia ini sebagai kematian yang singgah di
dalam raganya. Inilah yang membuat manusia tersesat di dalam neraka. Oleh
karena itu Syekh Siti Jenar ingin segera mengakhiri kematianya di dunia dan
menempuh kehidupan yang abadi.[32]
Pandangan seperti ini ditolak oleh orang-orang yang tingkatanya masih
syari’at, dengan rasionalisasi, Allah Swt memang beberapa kali bersabda dalam
Al-Qur’an, bahwa setelah seseorang meninggal dunia, dia akan hidup kekal di
alam lain. Misalnya surat Al-Baqoroh ayat 154 yang artinya:
“Dan janganlah kamu
mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu )
mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.”
Yang
dimaksud hidup disini adalah hidup dalam alam yang lain yang bukan alam kita
ini, di mana mereka mendapat kenikmatan-kenikmatan di sisi Allah, dan Hanya
Allah sajalah yang mengetahui bagaimana keadaan hidup itu.
Dari
ayat ini sama sekali tidak tersirat bahwa hidup di dunia itu sia-sia. Mereka
telah berjihad dan rela mati karena Allah, kemudian setelah itu mereka hidup di
alam akherat dengan menikmati jerih payahnya selama berjuang di alam dunia.
Jadi jelas disini bahwa hidup di dunia dan akherat merupakan rangkaian yang
saling berkaitan.
Selain
itu dalam surat Adz-Dzariat ayat 56 mengatakan:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
Jadi kalau beliau memandang kehidupan di dunia itu
sebagai kematian, lalu orang hidup dianggap sebagai bangkai yang genthayangan,
itu jelas penafsiran yang keliru atau penafsiran yang tidak berdasarkan ajaran
al-Qur’an. Hidup di dunia hanya sementara waktu, paribahasanya “hanya mampir
ngombe”, tetapi bukan berarti yang hanya sebentar itu tidak penting. Namun
bukan berarti kita harus mencela ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar, memang
kelihatannya lain dari pada yang lain tapi kalau dipikir secara mendalam semua
perbedaan tidak ada yang salah karena memiliki dasar-dasar sendiri.
Dari sisi lain, Widji Saksono berpendapat bahwa
faham Syekh Siti Jenar merupakan bibit Zindik, yaitu gerakan politik yang
menentang atau melemahkan gerakan Islam yang dipimpin oleh walisongo. Pada
waktu itu Zindiq merupakan gerakan politik yang datang dari kaum atheis, hindu,
budha atau gerakan lain yang tidak rela melihat majapahit jatuh. Sikap ingin
mempertahankan nilai-nilai Hidhu-Budha pada ajaran Syekh Siti Jenar maupun murid-muridnya
dapat dilihat dari langgam pangkur yang dikutib Dr Rinkes sebagai berikut:
Kang kapindo aja sira, ngrusak barang tinggalan barang dingin, kaya
rontal sastrayu, tulis-tulis neng sela, kayu watu patilasan, ywa kelebur,
wharuhanira bangsa jawa, budine tan bisa enting. Kang kaping tri mbok menawa,
kowe rujuk buangen masjid iki, sirnakna serana latu, sun owel turunanira, nora
wurung tembe kanut mendem kulhu, edan kedanan mring Allah, nganggit-anggit nora
panggih.[33]
Ungkapan
diatas sangat jelas menunjukkan keberatan dan kekhawatiran Syekh Siti Jenar
akan hilangnya tradisi agama Hindhu-Budha yang akan diganti dengan agama Islam.
Pada awal abad ke-16 rasa khawatir tersebut sudah memuncak, karena kekuasaan
kerajaan Hindhu Majapahit telah digantikan oleh kerajaan Islam Demak Bintara.
Begitu sengitnya sikap Syekh Siti Jenar demi menyaksikan meningkatnya
perkembangan Islam, sampai-sampai dia ingin menggerakkan masyarakat untuk
membakar masjid yang sudah mulai berdiri di mana-mana.[34]
Yang
paling unik dari ajaran beliau adalah cara dan kemampuanya dalam memilih mati.
Dalam serat Syekh Siti Jenar disebutkan bahwa cara mati Syekh Siti Jenar dengan
murid-muridnya membuat para wali terkejut. Namun boleh jadi hal itu hanya
merupakan simbolik dengan pesan tertentu. Boleh jadi juga hal itu merupakan
siasat walisongo dan raja Demak untuk menghindari tanggung jawab sebagai
penyebab kematian mereka. Atau itu sekedar simbol dari para pembangkang untuk
tidak mau kehilangan muka dan bukti bahwa mereka tetap tak terkalahkan.[35]
Jika
Al-hallaj mati dipancung kepalanya, Syekh Siti Jenar memilih sendiri cara
matinya. Akan tetapi cara mati beliaupun penuh dengan kontrofersi. Dalam kaitan
dengan kematianya, hal ini apa benar beliau memang mati dihukum pancung atau
hanya mengelabui walisongo. Setelah ia matipun ada cerita aneh bahwa mayatnya
berubah menjadi anjing kudisan, yang menurut cerita kejadian ini dilakukan oleh
walisongo untuk meyakinkan kepada masyarakat akan kesesatan Syekh Siti Jenar.
Dilihat
dari segi akhlak, beliau dianggap menyimpang dari akidah akhlak pada umumnya.
Menurut Zoetmulder, praktik yang dijalankan murid-murid beliau, antara lain:
a) Lebe Lontang[36]
b) Seks bebas
c) Cabul
Sesuai
dengan diatas, pandangan Syekh Siti Jenar terhadap seks sangatlah bebas, tidak
ada haram-halal, boleh sesukanya mengadakan hubungan intim meskipun bukan
suami-istri. Padahal di antara agama Al Kitab, sudah jelas Islamlah yang paling
ketat dalam mengatur hubungan pria-wanita. Hanya ajaran Islam yang mengenal
istilah aurat dalam hal berpakaian, juga istilah mukhrim yang antara lain mengatur
pergaulan.
Pendapat
diatas sangat jarang sekali, dalam dialognya bersama Agus Sunyoto,
ajaran-ajaran seperti itu hanyalah tingkah laku orang-orang yang mengaku murid
Syekh Siti Jenar, ajaran Syekh adalah manunggaling kawulo gusti.
Dikuatkan
dengan salah satu pendapat yang mengatakan bahwa beliau adalah wali yang
terkenal setelah sunan Kalijogo, sehinggga delapan wali kecuali sunan Kalijogo
kalah denganya.[37]
Ada
pula yang berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar hanya nama simbolik yang
dipergunakan walisongo untuk melambangkan sifat-sifat tercela yang harus
dijauhi oleh setiap muslim.[38]
Jadi
kisah-kisah disekitar kematian beliau yang aneh-aneh itu hanya untuk membentuk
opini masyarakat Islam agar tidak mudah terpengaruh oleh ajaran-ajaran yang
berbeda dengan Al-qur’an.
Melihat
bahwa dalam pelbagai serat dan babat, nama Syekh Siti Jenar disebut dan
disertai dengan nama muridnya secara jelas, secara hipotesis bisa dikatakan
bahwa jenar bukan tokoh fiktif. Perselisihan dikalangan para ahli tentang Siti
Jenar sebagai tokoh fiktif atau bukan pada hemat penulis disebabkan perbedaan
antara yang termuat pada peninggalan yang ada.
Sedangkan
dibidang politik, ketundukan mutlak hanya taat kepada Allah yang dijadikan oleh
pengikut Syekh Siti Jenar untuk membangkanng kekuasaan Demak Bintara.pandangan
ini menjadi dasar para elit keturunan majapahit yang yang berada diluar istana
demak untuk mendukung ajaran Syekh Siti Jenar, misalnya Ki Ageng Pengging. Jadi
isu Syekh Siti Jenar sebenarnya hanya dijadikan motivator untuk untuk
menggerakkan masyarakat yang masih mencintai kerajaan Majapahit menentang
kerajaan Demak Bintara.[39]
Jadi
ajaran syekh siti jenar yang paling kontroversial terkait dengan konsepnya
tentang hidup dan mati, tuhan dan kebebasan, serta tempat berlakunya syariat
tersebut. Beliau memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai
kematian. sebaliknya, yaitu apa yang disebut umum sebagai kematian justru
disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi.
Konsekuensinya,
ia tidak dapat dikenai hukum yang bersifat keduniawian (hukum negara dan
lainnnya), tidak termasuk didalamnya hukum syariat peribadatan sebagaimana
ketentuan syariah. dan menurut ulama pada masa itu yang memahami inti ajaran
siti jenar bahwa manusia di dunia ini tidak harus memenuhi rukun islam yang
lima, yaitu: syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. baginya, syariah itu baru
berlaku sesudah manusia menjalani kehidupan paska kematian. syekh siti jenar
juga berpendapat bahwa Allah itu ada dalam dirinya, yaitu di dalam budi.
pemahaman inilah yang dipropagandakan oleh para ulama pada masa itu. mirip
dengan konsep Al-Hallaj (tokoh sufi islam yang dihukum mati pada awal sejarah
perkembangan islam sekitar abad ke-9 masehi) tentang hulul yang berkaitan
dengan kesamaan sifat manusia dan tuhan. dimana pemahaman ketauhidan harus
dilewati melalui 4 tahapan ;
a) syariat (dengan menjalankan hukum-hukum agama spt sholat, zakat dll).
b) tarekat, dengan melakukan amalan-amalan spt wirid, dzikir dalam waktu dan
hitungan tertentu.
c) hakekat, dimana hakekat dari manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan.
d) ma'rifat, kecintaan kepada allah dengan makna seluas-luasnya.
Bukan
berarti bahwa setelah memasuki tahapan-tahapan tersebut maka tahapan dibawahnya
ditiadakan. pemahaman inilah yang kurang bisa dimengerti oleh para ulama pada
masa itu tentang ilmu tasawuf yang disampaikan oleh syekh siti jenar. ilmu yang
baru bisa dipahami setelah melewati ratusan tahun pasca wafatnya sang syekh.
para ulama mengkhawatirkan adanya kesalahpahaman dalam menerima ajaran yang
disampaikan oleh syekh siti jenar kepada masyarakat awam dimana pada masa itu ajaran
islam yang harus disampaikan adalah pada tingkatan 'syariat'. sedangkan ajaran
siti jenar sudah memasuki tahap 'hakekat' dan bahkan 'ma'rifat'kepada allah
(kecintaan dan pengetahuan yang mendalam kepada allah). oleh karenanya, ajaran
yang disampaikan oleh siti jenar hanya dapat dibendung dengan kata 'sesat'.
2.
Tentang
Hidup
Syekh Siti Jenar berpendapat bahwa makhluk hidup
adalah kehidupan yang terperangkap dalam alam kematian, zat mati tak akan
pernah menimbulkan kehidupan. Sedangkan zat hidup tak akan tersentuh kematian.
Tuhan disebut Al-Hayy karena dia maha hidup dan eksis karena dirinya sendiri.
Nah, kekuatah hidup-Nya mengalir dalam alam kematian ini muncul sebagai makhluk
hidup. Karena itu, kita yang dilahirkan ini bukan untuk hidup tetapi untuk
mati.[40]
Suluk Sungsang menceritakan, dalam perdebatan antara
Syekh Siti Jenar dan Kebo Kanigoro. Syekh Siti Jenar melontarkan pertanyaan,[41]
“Ada berapa cara yang saling berbeda dari kemunculan
makhluk-makhluk di dunia ini. Tolong jelaskan pada kami, cara apa saja itu dan
disebut apa proses kemunculan makhluk-makhluk di dunia ini?,”
Kebo kanigoro tercekat kaget, lama ia tidak
menjawab, akhirnya ia mengembalikan kepada Syekh Siti Jenar, “kami tidak bisa
menjawab pertanyaan tuan Syaikh, kami mohon penjelasan.”
“Ketahuilah pangeran kebo Kanigoro, kemunculan
makhluk hidup di dunai ini melalui tiga cara berbeda yang disebut wetu telu (keluar tiga). Pertama, adalah
yang disebut menganak (melahirkan).
Kedua, mengendong (melalui telur).
Ketiga, masemi (tumbuh). Seluruh
makhluk hidup yang memiliki daun telinga, umumnya muncul di dunia melalui cara
menganak. Sedang makhluk-makhluk yang tidak memiliki daun telinga umumnya
muncul ke dunia melalui mengendong. Dan semua makhluk hidup yang muncul tidak
memiliki cara menganak atau mengendong, umumnya muncul ke dunia melalui cara
masemi.”
Mati itu seperti tidur. Di dalam tidur ada mimpi.
Hidup kita sekarang ini bagaikan tidur. Jadi, yang terjadi sekarang ini
hanyalah bayang-bayang kehidupan. Realita yang ada sekarang ini masih maya.
Karena masih terkena kematian. Kalau diamati secara seksama, realita sekarang
ini ada tetapi maya. Ada, tetapi selalu bersifat baru.
Banyak orang mengatakan bahwa kita harus
mendahulukan kewajiban daeipada hak. Padahal, tak ada hak, manusia tidak dapat
mewujudkan kehidupannya. Harus ada hak hidup lebih dulu, lihatlah benih yang
ditanam di kebun. Ia kita beri hak untuk hidup lebih dulu. Kita rawat dan
pelihara. Akhirnya, dengan kemandirian dan kodrat benih itu, ia tumbuh dengan
subur dan memberikan hasil yang baik. Setiap manusia ada kodrat untuk hidup
mandiri. Tetapi hak untuk mengekspresikan kemandirian dan kodrat hidupnya harus
ada. Itu lah hak hidup.
Agar kodrat dan kemandirian manusia di alam ini bisa
terpenuhi, maka manusia berhak untuk memperoleh kehidupannya. Orang tua dan
masyarakat memlihara bayi-bayi yang dilahirkan. Mereka membangun keamanan dan
ketentraman bersama. Tak ada diskriminasi, orangtua dan masyarakat menyediakan
pendidikan. Orang tua dan masyarakat menyediakan lapangan kerja. Maka, lahirlah
manusia-manusai baru yang membrikan buah kehidupannya bagi masyarakat tempat
tumbuh hidupnya. Ini sebuah masyarakat yang didambakan Siti Jenar. Tetapi ide
ini lahir sebelum zamannya. Justru di Milinium III ini manusia ingin hidup yang
ebbas dari kerangkeng kekuasaan negara. Manusia ingin hidup mandiri.
3.
Surga
dan Neraka
“Anal jannatu wa nara
katannalr al anna”, sering digunakan oleh Syekh
Siti Jenar dalam menjelaskan hakikat surga dan neraka. Penulisan yg benar
nampaknya adalah “inna al-janatu wa
al-naru qath’un ‘an al-ana” (Sesungguhnya keberadaan surga dan neraka itu
telah nyata adanya sejak sekarang atau di dunia ini).
Sesungguhnya, menurut ajaran Islam pun, surga dan
neraka itu tidaklah kekal. Yang menganggap kekal surga dan neraka itu adalah
kalangan awam. Sesungguhnya mereka berdua wajib rusak dan binasa.
Bagi Syekh Siti Jenar, surga atau neraka bukanlah
tempat tertentu untuk memberikan pembalasan baik dan buruknya manusia. Surga
neraka adalah perasaan roh di dunia, sebagai akibat dari keadaan dirinya yg
belum dapat menyatu-tunggal dgn Allah. Sebab bagi manusia yg sudah memiliki
ilmu kasampurnan, jelas bahwa ketika mengalami kematian dan melalui pintunya,
ia kembali kepada Hidup Yang Agung, hidup yang tan kena kinaya ngapa (hidup
sempurna abadi sebagai Sang Hidup). Yaitu sebagai puncak cita-cita dan tujuan
manusia.[42]
Jadi, karena surga dan neraka itu ternyata juga
makhluk, maka surga dan neraka tidaklah kekal, dan juga bukanlah tempat kembalinya
manusia yang sesungguhnya. Sebab tidak mungkin makhluk akan kembali kepada
makhluk, kecuali karena keadaan yang belum sempurna hidupnya. Oleh al-Qur’an
sudah ditegaskan bahwa tempat kembalinya manusia hanya Allah, yang tidak lain
adalah proses kemanunggalan.
4.
Seputar
amalan Syari’ah; Sholat Dan Haji
Syahadat, shalat dan puasa itu, sesuatu yang tidak
diinginkan, jadi tidak perlu. Adapun zakat dan naik haji ke Makah, itu semua
omong kosong (palson kabeh). Itu seluruhnya kedurjanaan budi, penipuan terhadap
sesama manusia. Orang-orang dungu yg menuruti aulia, karena diberi harapan
surga di kelak kemudian hari, itu sesungguhnya keduanya orang yang tidak tahu.
Lain halnya dengan saya, Siti Jenar.[43]
Tiada pernah Syekh Siti Jenar menuruti perintah
budi, bersujud-sujud di mesjid mengenakan jubah, pahalanya besok saja, bila
dahi sudah menjadi tebal, kepala berbelulang. Sesungguhnya hal ini idak masuk
akal, di dunia ini semua manusia adalah sama. Mereka semua mengalami suka-duka,
menderita sakit dan duka nestapa, tiada beda satu dengan yang lain. Oleh karena
itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal saja, yaitu Gusti Zat Maulana.
Syekh Siti jenar menyebutkan bahwa syariat yang
diajarkan para wali adalah “omong kosong belaka”, atau “wes palson kabeh”(sudah
tidak ada yang asli). Tentu istilah ini sangat amat berbeda dengan anggapan
orang selama ini, yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar menolak syari’at
Islam. Yang ditolak adalah reduksi atas syari’at tersebut. Syekh Siti Jenar
menggunakan istilah “iku wes palson kabeh”,
yang artinya “itu sudah dipalsukan atau dibuat palsu semua.” Tentu ini berbeda
pengertiannya dengan kata “iku palsu kabeh” atau “itu palsu semua.”
Jadi yang dikehendaki Syekh Siti Jenar adalah
penekanan bahwa syari’at Islam pada masa Walisanga telah mengalami perubahan
dan pergeseran makna dalam pengertian syari’at itu. Semuanya hanya menjadi
formalitas belaka. Sehingga manfaat melaksanakan syariat menjadi hilang. Bahkan
menjadi mudharat karena pertentangan yang muncul dari aplikasi formal syariat
tsb.
Bagi Syekh Siti Jenar, syariat bukan hanya pengakuan
dan pelaksanaan, namun berupa penyaksian atau kesaksian. Ini berarti dalam
pelaksanaan syariat harus ada unsur pengalaman spiritual. Nah, bila suatu
ibadah telah menjadi palsu, tidak dapat dipegangi dan hanya untuk membohongi
orang lain, maka semuanya merupakan keburukan di bumi.
Apalagi sudah tidak menjadi sarana bagi
kesejahteraan hidup manusia. Ditambah lagi, justru syari’at hanya menjadi alat
legitimasi kekuasaan (seperti sekarang ini juga). Yang mengajarkan syari’at
juga tidak lagi memahami makna dan manfaat syari’at itu, dan tidak memiliki
kemampuan mengajarkan aplikasi syari’at yg hidup dan berdaya guna. Sehingga
syari’at menjadi hampa makna dan menambah gersangnya kehidupan rohani manusia.
Nah, yg dikritik Syekh Siti Jenar adalah shalat yg
sudah kehilangan makna dan tujuannya itu. Shalat haruslah merupakan praktek
nyata bagi kehidupan. Yakni shalat sebagai bentuk ibadah yg sesuai dgn bentuk
profesi kehidupannya. Orang yg melakukan profesinya secara benar, karena Allah,
maka hakikatnya ia telah melaksanakan shalat sejati, shalat yang sebenarnya.
Orientasi kepada yang Maha Benar dan selalu berupaya mewujudkan Manunggaling
Kawula Gusti, termasuk dalam karya, karsa-cipta itulah shalat yg sesungguhnya.
Beralih kepada ibadah haji, bagi beliau ibadah haji
di al-Haramain merupakan tindakan atau laku ‘abid yg sedang menjalankan ibadah
untuk mengarahkan kiblat kepada Ma’bud. Inilah inti ibadah haji yg menurut
Syekh Siti Jenar akan mampu membawa pencerahan bagi pelaksananya. Haji bukan
semata-mata melaksanakan ihram, thawaf, sa’i, wuquf, bermalam di Muzdalifah dan
Masy’ar al-Haram dan melempar jumrah secara badani.
Tetapi makna hakiki haji bagi beliau adalah
peribadatan yang mampu membawa seorang salik mendaki maqam jasadiyah ke maqam
rohaniyah; tindakan manapaki kembali jejak Adam yang terusir dari surga, ke
asal penciptaan yang mulia di antara semua hamba-NYA, yaitu Adam yang kepadanya
seluruh malaikat bersujud dan dibanggakan Rabb-nya karena mengetahui nama-nama
serta berwawan sabda dengan al-Khaliq.
Demikian pula dengan Makkah. Bagi beliau kota suci
ini merupakan tempat meningkatkan kualitas kehidupan mistiknya. Ka’bah sebagai
“pusat kosmik” merupakan tempat khusus memperoleh pengalaman rohani yang tidak
mungkin diperoleh di temapat lain. Perenungan yang demikian dalam itulah yang
kemudian menghasilkan pengalaman spiritual, menuju puncak ma’rifatullah.
Pengalaman spiritual pertama, Syekh Siti Jenar
mengalami ke fana’-an yang lebih tinggi dibanding pengalaman spiritual yang
sudah lewat. Dalam keadaan fana’-nya itu, ia mengalami pandangan lawami’,
menyaksikan seorang pemuda yang telah sampai kepada tingkatan puncak dalam
pendakian spiritual. Melalui isyarat (pembicaraan dengan bahasa perlambang) dan
al-ima’ (pembicaraan tanpa lisan dan bahasa perlambang), pemuda tersebut
mengungkap jalan menuju-NYA; menembus berbagai tabir hijab dualitas insaniyah
dan Ilahi-yah, memasuki samudera sifat dan Asma Allah. Beliau dituntun menjadi
al-insan al-kamil, dimana potensi roh al-haqq yang bersemayam dalam Baitul
Haram hati-jiwanya, dioptimalisir bagi eksistensi dirinya di dunia. Jika roh al-haqq
ini tidak dioptimalisasikan, maka hakikat manusia hidup adalah hanya sebagai
mayat atau bangkai. Demikian pula jalur ibadah formal yang tidak disertai
kebangkitan roh al-haqq, tidak akan memiliki efektivitas apapun, bagi kehidupan
sejati di akhirat kelak.
Roh al-haqq dari lubuk Abitul Haram hati itulah yang
menjalin relasi dengan dia (Huwa), yang meniupkan roh-NYA melalui nafs
al-rahman. Melalui jalur itulah akan tersingkap seluruh rahasia keberadaan
al-Haqq (Yang Riil) yg menjadi esensi sekaligus substansi roh al-haqq. Jalinan
antara al-haqq dan huwa (Dia Yang
Mutlak Tak Terbatas) itulah hakikat sejati dari fana’ fi tauhid; yang riil yang
beragam (farq), manunggal dengan yang satu (Jam’).
Setelah beliau mengalami pengalaman puncak spiritual
yang dahsyat tersebut, kembali terjadi pengalaman kedua. Melalui nur lawami’
dan fawa’id-nya, ia mengetahui bahwa pemuda yang semula membimbingnya mengalami
pengalaman puncak, tiada lain dan tidak bukan adalah Abu Bakar al-Shidiq, sahabat
terkasih rasulullah. Pengalaman pertemuan dengan roh Abu Bakar itu terjadi
dalam kondisi ekstase kesufian, ketika kesadaran jiwanya berada dalam ‘alam al-khalaq (alam kasatmata) dengan 'alam al-khayal (alam imajinasi).
Pengalaman ketiga, terjadi ketika thawaf wada’.
Ketika kondisi rohaninya sedang berada dalam ke-fana’-an, ia merasakan nur
dalam dirinya menyatu dengan nur muhammad. Dalam pergulatan kalbunya itu,
kemudian ia terbawa dalam situasi yang mencengangkan. Mendadak Ka’bah dan
segala yang disekitarnya lenyap. Ia berada di alam syahadah yang maha-luas,
dimana seluruh tubuhnya memancar nur. Ia merasakan dan menyatu dengan Nur,
sehingga ia tidak tahu lagi tentang eksistensi dirinya. Antara sadar dan tidak,
ia merasakan al-Haqq yang bersemayam di arsy Baitul Haram hatinya berkata-kata
sendiri, “Ana sirr al-Haqqi wa ma al-Haqq ana, wa ANA al-haqq fa innani ma
ziltu aba wa bi al-Haqqi haqqun.”
Di Makkah beliau telah berhasil mencapai
kemanunggalan. Kini seluruh pandangan beliau telah selalu berada dalam ‘ain
al-bashirah, sebagai pengejawantahan dari al-Bashir.
Ketika Syekh Siti Jenar berada di depan kubur
Rasulullah, ia kembali mengalami lintasan-lintasn rohani yang menakjubkan. Kali
ini melalui pandangan al-bashirah-nya, ia dipertemukan dengan sosok agung
Muhammad SAW, yang mengungkapkan rahasia Nur Muhammad dan wujudiyah kepada
Syekh Siti Jenar, mengungkapkan rahasia kalimat, “Ana min nur Allah wa khalq kulluhum min nuri.” Demikian pula mengenai
rahasia Haqiqah Muhammad, di dalamnya terhadap nama lain Nabi Muhammad, yaitu
“Ahmad” itulah yg dimaksud dalam hadist “ana
Ahmadun bi-la mim.” maksudnya adalah “Aku
tidak lain adalah Ahad.” Jadi Nabi Muhammad yang diberi nama semesta
“Ahmad” tidak lain adalah pengejawantahan dari sang “Ahad” sendiri.
Dari pengalaman kemanunggalan yang dialami di Makkah
itu, Syekh Siti Jenar tidak bisa membedakan antara fana’ fi Allah dan fana’ fi
rasul, sebab hakikat dan esensinya sama. Fana’ fi rasul, melalui rahasia di
balik nama “Ahmad”, tidak lain juga fana’ fi al-Ahad.
5.
Manunggaling
Kawulo Gusti
Tasawuf sebagai salah satu inti ajaran keagamaan
yang berbasis pada moralitas ketuhanan, justru semakin dimintai para pemeluknya
yang merindukan kedamaian lahir dan batin. Karena melalui tasawuf, ajaran inti
agama yang lain seperti tauhid dan fiqh teringtegrasi membentuk suatu Islam
yang kaffah. Melalui penghayatan
dunia tasawuf, seseorang mendapatkan kelezatan beragama melalui pengalaman
keagamaan. Maka tidak berlebihan jika dikatakan tasawuf yang memunculkan
pengalaman keagamaan merupakan unsur vital dalam struktur keagamaan. Pada
posisi inilah maka konsep dan konteks mistik Islam-Jawa menjadi bagian sangat
penting dari Islam secara keseluruhan. Dan memposisikan Syekh Siti Jenar
sebagai salah satu dari imam madzhab sufi karena keberhasilannya merumuskan dan
menyebarkan mazhab sufistiknya secara independen.[44]
Menurut C.Y. Glock dan Stark cara beragama memiliki
lima dimensi yang saling terkait. Kelima dimensi itu adalah:[45]
1) Dimensi keyakinan yang berisikan pengharapan dengan berpegang teguh pada
teologi tertentu.
2) Dimensi praktik agama yang meliputi perilaku simbolik dari makna-makna
keagamaan yang terkandung di dalamnya.
3) Dimensi pengalaman keagamaan yang merujuk pada seluruh keterlibatan
subyektif dan individual dengan hal-hal yang suci dari suatau agama.
4) Dimensi pengetahuan agama, artinya orang beragama memiliki pengetahuan
tentang keyakinan, ritus, kitab suci, dan tradisi-tradisi.
5) Dimensi konsekuensi yang mengacu kepada identifikasi akibat-akibat
keyakinan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seorang dari hari kehari.
Dari lima dimensi tersebut tampak bahwa dimensi
pengalaman keagamaan menjadi titik sentral atau pusat dari antar dimensi.
Dimana dalam dimensi pengalaman keagamaan yang dalam Islam terkait erat dengan sistem
tasawuf melibatkan secara intensif empat dimensi yang lain.
Spiritual keagamaan sebagaimana dialami Syekh Siti
Jenar telah berhasil memadukan kelima dimensi tersebut.
Keterkaitan erat antara tasawuf dengan pengalaman
keagamaan sangat jelas, dimana proses penempuhan jalan sufi merupakan upaya dan
proses untuk dapat “mengalami” kelezatan beragama. Oleh karena itu “pengalaman”
ini menjadi sesuatu yang sangat individual. Tetapi justru dengan statusnya
inilah, pengalaman keagamaan menjadi sumber utama dalam penelitian-penelitian
psikologi agama sejak tahap perintisnya dalam bentuk personal document.
Sebagai
ungkapan-ungkapan yang menggambarkan “pengalaman keagamaan”, banyak istilah
yang dipergunakan oleh para ahli. Seperti:[46]
1) Mystical Experience yang digunakan oleh F.C. Hoppald dan Merkur
2) Mysticism Experiencw sekaligus Religious Experience oleh William J.
Wainwright.
3) Spiritual Experience oleh Charles T. Tart
4) Religious Experience oleh William James, Brian Morris dan Erich Fromm
5) Experience of Religious oleh R. Needham
6) Estatic Religion oleh I. Lewis
7) Mystical Awareness oleh Paul Mommaers dan Jan Van Bragt
8) Peak Experience oleh Abraham W. Maslow
Variasi ungkapan mengenai pengalaman keagamaan itu,
semuanya bermuara pada titik temu mistisisme, yakni pengalaman “merasakan”
kemenyatuan dengan tuhan serta pengalaman merasakan keabadian. Jauh sebelumnya
telah dirumuskan berdasarkan pengalaman riil oleh Syekh Siti Jenar dalam apa
yang kemudian disebut Manunggaling Kawulo
Gusti.
Manunggaling Kawulo Gusti adalah kebebasan manusia yang mutlak seperti kemutlakan kekuasaan tuhan
sendiri. Karena manusia telah jadi tuhan seperti halnya konsep Wisnumurti atau
Bimasakti.[47]
Dalam tulisan Jawa keadaan ketunggalan tertinggi yang masih sepi dari
determinasi disamakan dengan ahadiyya sama dengan emanasi pertama yang keluar
dari keadaan belum terinci itu, yang bahkan belum memiliki ketunggalan dalam
dirinya.[48]
Dalam
pupuhnya, Syekh Siti Jenar merasa malu apabila harus berdebat masalah agama.
alasannya sederhana, yaitu dalam agama apapun, setiap pemeluk sebenarnya
menyembah zat yang maha kuasa. hanya saja masing - masing menyembah dengan
menyebut nama yang berbeda - beda dan menjalankan ajaran dengan cara yang belum
tentu sama. oleh karena itu, masing - masing pemeluk tidak perlu saling berdebat
untuk mendapat pengakuan bahwa agamanya yang paling benar.
Syekh
Siti Jenar juga mengajarkan agar seseorang dapat lebih mengutamakan prinsip
ikhlas dalam menjalankan ibadah. orang yang beribadah dengan mengharapkan surga
atau pahala berarti belum bisa disebut ikhlas.
Dalam
ajarannya, Manunggaling Kawula Gusti
adalah bahwa di dalam diri manusia terdapat ruh yang berasal dari ruh tuhan
sesuai dengan ayat al Qur'an shaad: 71-72 yang menerangkan tentang penciptaan
manusia yang artinya:
Ketika tuhanmu berfirman kepada malaikat: "sesungguhnya aku akan
menciptakan manusia dari tanah. maka apabila telah kusempurnakan kejadiannya
dan kutiupkan kepadanya roh ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud
kepadanya.
Dengan
demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh tuhan dikala penyembahan terhadap
tuhan terjadi.
Manunggaling kawulo gusti
(Bersatunya Tuhan dan Manusia) adalah ajaran yang sangat kontroversial sampai
saat ini. Banyak yang mengatakan kalau Syekh Siti Jenar mengaku sebagai tuhan dengan
ajarannya itu. Tetapi kini banyak ditulis oleh penulis muda muslim yang tegas
menolak pencitraan yang sudah sekian ratus tahun diyakini tersebut.
Para
pendukungnya berpendapat bahwa syekh siti jenar tidak pernah menyebut dirinya
sebagai tuhan. manunggaling kawula gusti dianggap bukan berarti bercampurnya
tuhan dengan makhluknya, melainkan bahwa sang pencipta adalah tempat kembali
semua makhluk. dan dengan kembali kepada tuhannya, manusia telah menjadi sangat
dekat dengan tuhannya.
Dari
sebuah karya sastra benama pupuh dimana Syekh Siti Jenar mendokumentasikan
pendapat dan pandangannya tentang agama Islam, banyak yang berpendapat ajaran
Syekh siti Jenar ternyata memiliki kesamaan dengan pandanga islam modern yang
berkembang saat ini.
Tuhan
ada dimana-mana, disetiap jengkal tanah dan setiap detakan jantung manusia.
Tuhan ada di dalam hati dan otak manusia adalah inti ajaran manunggaling kawulo
gusti itu sebenarnya.
Perbedaan
penafsiran ayat al Qur'an dari para murid Syekh Siti inilah yang menimbulkan
polemik bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam ruh tuhan, yaitu polemik paham 'manunggaling kawula gusti'.
Menurut Agus Wahyudi, manunggaling kawulo gusti
hanyalah bersifat hakikatnya saja, maka tidak patut seseorang mengatakan gunung
adalah Allah, sungai adalah Allah, manusia adalah Allah, dan seterusnya. Kalau
ada seorang sufi yang berkata “Aku adalah Allah,” sebaiknya kita berpraduga
baik saja, yakni bahwa dia berkata demikian lantaran merasa sedang berada dalam
kesadaran hakikat. Ibaratnya dia sedang dalam keadaan mabuk tuhan.[49]
Menilik ke akidah sufi, dalam konsepnya jelas
diterangkan bahwasanya Allah memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk
mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan dihilangkan atau
dilenyapkan. Bagi orang-orang sufi, manusia adalah penampakan lahir dari cinta
tuhan yang azali kepada zat dan esensi-Nya, yang mutlak dan tidak bisa
disifatkan. Oleh karena itu, manusia diciptakan tuhan dalam rupa-Nya yang
mencerminkan segala sifa dan nama-Nya, sehingga “ia adalah Dia”.[50]
Berbagai pemikiran dan pandangan Syekh Siti Jenar
itu dapat di kaji dari buku “Serat Siti Jenar” kesatuan dirinya dengan dzat
tuhan atau sebaliknya. Dengan jelas dan terang ia menyatakan dirinya adalah
tuhan dan tuhan itu adalah dirinya. Ajaran ini akhirnya mengantarkannya pada
suatu kesimpulan bahwa manusia yang telah mencapai taraf penyatuan dengan
tuhan, tidak lagi terbebani hukum dan bebas dari hukum. Beban hukumnya
dibebankan kepada mereka yang belum mencapai kesatuan dengan hakikat hidup, dan
menurut Syekh Siti Jenar, setiap orang mampu mencapai taraf itu jika mau.[51]
Menemukan kesatuan dengan hakikat hidup atau dzat
tuhan, segala peribadatan adalah kepalsuan. Karena tuhan tidak terkenal hukum
kealaman, maka manusia yang telah menyatu dalam dzat tuhan, akan mencapai
keabadian seperti tuhan yang bebas dari segala kerusakan. Puncak penyatuan
“Kawulo Gusti” oleh Syekh Siti Jenar disebutkan sebagai uninong aning unong.[52]
Dalam sebuah lakon, yang bersumber dari serat Dewa
Ruci, menurut Haryanto mengisahkan tentang Bima yang mawas diri dengan tujuan
menyucikan dirinya agar dapat menyatu dengan khaliknya atau pamoring Kawulo
Gusti. Serat tersebut merupakan karya sastra Jawa Klasik yang mengajarkan
tasawuf lengkap dengan langkah-langkah takhali,
tahalli dan tajalli. Wejangan
dewa Ruci berinti lima aspek, yaitu:[53]
1. Pancamaya,
Pancamaya (lima bayangan)
bisa diartikan sebagai bayangan yang diperoleh melalui panca indera dan dismpan
dalam hati secara tidak sadar. Pada saat panca indera reaktif terhadap segala
sesuatu dari alam sekelilingnya, sesungguhnya ia didorong oleh nafsu.
2. Makrokosmos dan mikrokosmos
Makrokosmos adalah alam
semesta seisinya yang dapat ditanggapi oleh panca indera manusia, kemudian
disimpan secara tidak sadar sebagai pancamaya. Dengan demikian, isi alam
semesta terdapat pada diri manusia, sekalipun hanya sebagai bayangan maya,
bersifat semu.
3. Pramana
Pramana menunjukkan
pengertian akan denyut jantung. Jadi selama masih berdenyut, selama itu raga
masih hidup. Adapun yang menghidupi pramana adalah suksma sejati yang mampu
merasakan adanya sifat-sifat Allah SWT. Pada raga dan jiwa manusia, jika raga
manusia mati, pramanapun ikut mati. Akan tetapi, suksma sejati hidup terus
dalam alam yang tidak terbatas waktunya, tanpa winates.
4. Ilmu pelepasan
Ilmu pelepasan adalah ilmu
menjemput kematian yang diwejangkan oleh dewa Ruci kepada sena mencakup
kematian dan pegangan hidup. Dijelaskan bahwa hidup tiada yang menghidupi
karena sudah ada sejak makhluk berupa janin. Hidup tidak bersela waktu, artinya
hidup abadi (langgeng). Dengan demikian yang mengalami kematian adalah raga,
dan raga yang telah mati kembali ke tanah. Sedang jiwa dan suksma yang
menghidupi raga selama hayat dikandung badan tidak mengalami kematian, tetapi
kembali kepada asalnya, yaitu yang maha pencipta.
5. Hidup dalam mati dan mati dalam hidup
Hidup adalah mati dan mati
adalah hidup menekankan bahwa agar selama orang masih hidup, nafsu yang
mendorong seseorang untuk melakukan kejahatan atau perpuatan jelek hendaknya
ditinggalkan, sehingga menjadi nafsu yang mendorong perbuatan baik (nafsu
muthmainnah). Dengan jalan demikian manusia dapat menyatukan diri dengan
khaliknya.
Dalam pandangan kesatupadan
serat dewa Ruci di atas, muncullah Bima yang tubuhnya menjadi kecil dalam kisah
itu adalah proses ke arah semakin kecil dan ketiadaan diri. Itulah cermin
kemanunggalan (larut dan lenyap) di dalam Allah.[54]
Pokok keilmuan Syekh Siti Jenar disebut sebagai
“Ngelmu Ma’rifat Kasampurnaning Ngaurip” (ilmu ma’rifat kesempurnaan hidup [the
science of ma’rifat to attain perfection of life]). Ranggawarsita menyebutkan
basis ilmiah ajaran tersebut adalah renungan filsafat yg bentuk aplikasinya
adalah metafisika dan etika.
Ajaran metafisika meliputi ontologi, kosmogoni dan
antropologi. Ontologi berbicara tentang Ada dan tidak ada. Dalam hal ini, Syekh
Siti Jenar merumuskan tentang the Reality of the Absolute being (hakikat Dzat
Yang Maha Suci) yg memiliki sifat, nama dan perbuatan “Kami”. Dari “Kami”
inilah kemudian muncul “ada” dan “keadaan” lain, yg sifat hakikinya adalah
“Tunggal”.
Manusia yg dalam hidupnya di alam kematian dunia ini
disebut sebagai khalifatullah (wakil Allah=pecahan ketunggalan Allah), dan
kemudian ia harus berwadah dalam bentuk jisim (jasmani) ia harus menyandang
gelar “kawula”, sebab jasad harus melakukan aktivitas untuk memelihara jasadnya
dari kerusakan dan untuk menunda kematian yg disebut "ngibadah” kepada yg
menyediakan raga (Gusti). Maka kawula hanya memiliki satu tempat kembali, yakni
Allah, sebagai asalnya. Maka manusia tidak boleh terjebak dalam wadah yg hanya
berfungsi sementara sebagai “wadah” Roh Ilahi. Justru Roh Ilahi inilah yg harus
dijaga guna menuju ketunggalan kembali (Manunggaling Kawula Gusti).
Ajaran ini banyak ditentang karena Tuhan dan manusia
adalah hal yang berbeda. Tuhan yang mencipta sedangkan manusia yang diciptakan.
Jadi antara yang menciptakan dan yang diciptakan tidak bisa bersatu.
Kalo logikanya orang awam : manusia menciptakan
mobil ya brarti mobil dan manusia memang berbeda. Manusia mengambil bahan baku
untuk membuat mobil diluar dirinya. nah kalau Tuhan menciptakan manusia. Apakah
ia juga mengambil bahan baku diluar diri-Nya?
Ada beberapa martir sufi yang mengakui ajaran ini
misalnya Syeh Siti Jenar dgn slogannya "Tiada Tuhan Melainkan Aku".
Atau Al Hallaj yang mengatakan "Ana Al Haqq". Bahkan ada hadist nabi
yang menceritakan bahwa nabi Muhammad sendiri pernah mengatakan "Ana Ahmad bi la mim" (Ahad) artinya
ya Nabi seakan-akan bilang dirinya Tuhan. istilah2 tersebut jelas menandakan
bahwa Tuhan ada di dalam diri mereka. Bahkan di Quran pun dikatakan bahwa Allah
itu lebih dekat daripada urat leher kita. (tulis
alqur’an).
Bagi mereka yang mampu melakukan zikir hingga
mencapai tahan "fana" maka biasanya ia akan mengalami
"mahzub". Namun mahzub tidak mesti dalam keadaan fana. Mahzub bisa
terjadi dalam keadaan sadar. Manusia yang mengalami mahzub biasanya akan
mengatakan "Subhani" (Maha Suci Aku) dan istilah2 lain yang
"meniadakan" dirinya sendiri sehingga memunculkan Tuhan dalam
dirinya.
Ajaran MKG mengajarkan bahwa ada 3 unsur yang
menyatu yaitu :
1. Sukma Kawekas (Nur Illahi)
2. Sukma Sejati (Nur Muhammad)
3. Nur Insan
C.
Konsep
Pendidikan Syekh Siti Jenar
Istilah pendidikan bagi Syekh Siti Jenar tak akan
terlepas dari kata budi pekerti atau adab. Sebelum membahas konsep pendidikan
itu sendiri, peneliti memulai tentang pendapat-pendapatnya tentang pendidik,
peserta didik serta tujuan pendidikan.
1. Pendidik (Guru)
Manusia tidak hidup diatas realita tapi hidup diatas
opini “pendapat”. Orang tua mengajar dan mendidik anaknya berdasarkan pandangan
yang dia terima dari orang-orang yang berpengaruh di lingkungannya.
Syekh Siti Jenar tidak memperlakukan orang dewasa
seperti anak-anak. Dia tidak mencari murid, tetapi orang-orang ingin menjadi
muridnya. Orang yang betul-betul ingin tahu harus diberi tahu apa adanya. Tidak
boleh dibohongi. Orang harus dituntun untuk mendapatkan jalan hidup. Cara-cara
yang digunakan untuk mengajari orang Arab yang masih jahiliyah, ditinggalkan
oleh Syekh Siti Jenar.
Induk kucing mengajak anak-anak bercanda, di tengah
candanya itu sang induk pura-pura menangkap lawannya dan dan menggondolnya.
Hanya dalam waktu relatif singkat anak-anak kucing itu mampu bertindak seperti
induknya. Tetapi manusia? Justru kebanyakan orangtua tidak mampu meningkatkan
kepandaian anaknya secara langsung. Biasanya orangtua mempercayakan pendidikan
itu kepada orang lain yang disebut “guru”.
Rasanya pernyataan di atas memang tidak bisa
dipungkiri, orang tua yang sibuk bekerja menjadikan interaksi dengan
anak-anaknya sangat berkurang, sehingga guru yang meningkatkan kecerdasan
afektif, psikomotorik dan kognitif adalah orang-orang yang bukan dari orang
tua.
Selanjutnya Ahmad Chodjim juga menjelaskan
bahwasanya ada 4 macam guru dalam konsep Jawa, yaitu:
a) Guru ujud, seorang yang pekerjaannya sebagai guru. Ia bisa berupa guru
formal seperti guru di sekolah-sekolah. Atau guru nonformal seperti guru silat,
guru ngaji, guru agama di sekitar rumah kita, dan lain-lain keahlian. Guru ujud
mengajarkan pendapat dan ketrampilan yang sudah berlaku umum.
b) Guru pituduh atau guru petunjuk, fungsi guru ini memberikan petunjuk
kepada murid-muridnya bagaimana ia harus menempuh hidup ini. Ia harus mengenal
bakat dan potensi anak didiknya.
c) Guru sejati, guru yang memahami hakikat hidup. Guru ini mampu mengajar
murid-muridnya untuk merasakan dan mempraktikkan sendiri dalam menempuh jalan
hidup. Guru ini mengetahui dan dapat mengajarkan cara menempuh kematian yang
sempurna, kalepasan. Sebuah kematian berdasarkan iradatnya sendiri. Kematian
yang tidak dikarenakan bunuh diri. Tetapi berdasarkan kemampuan menutup pintu
kematian di dunia ini. Inilah yang dimiliki murid-murid Siti Jenar.
d) Guru purwa, urutan guru yang tertinggi. Ia merupakan manifestasi tuhan.
Dia mengetahui kodrat dan iradatnya sendiri. Seperti yang dikabarkan oleh
sebuah hadist, bila tuhan telah mencintai hambanya maka dia sebagai
penglihatan, pendengaran, tangan dan kaki hambanya. Jika dia mohon
perlindungan, maka dia dilindungi-Nya. Siti Jenar adalah guru purwa, dia bisa
menghendaki dirinya mati dengan cara berdzikir. Ketika dia mati, baunya harum
bak seribu bunga. Mayatnya mengeluarkan cahaya yang lebih tenang dari bulan
purnama.
Pendidikan sekarang banyak diajarkan oleh pendidik
yang ujud saja, sehingga bukan bersifat “haqqu al-yaqin”, berdasarkan
kenyataan. Banyak orang yang hafal secara teoritis tapi tidak mengerti
praktiknya.
Dari sini, peneliti menyimpulkan bahwasanya guru
bagi Syekh Siti Jenar adalah guru sejati yaitu sebagaimana yang diterangkan
guru purwa.
2. Arti Peserta didik
Dalam Serat Syekh Siti Jenar yang dikisahkan oleh Arjawijaya, disebutkan:
Sejati jatining ngelmu
Lungguhe cipta pribadi
Pustining pangestinira
Gineleng dadya sawiji
Wijangin ngelmu dytmika
Neng kahanan eneng-ening[55]
Artinya: Ilmu sejati menurut beliau adalah ilmu yang sebenarnya, berada
pada cipta pribadi. Kreasi yang tumbuh dari
dalam diri. Bukan yang kita terima dari orang lain. Yang kita dapat
melalui indra, melalui pengajaran, itu hanyalah refleksi ilmu.
Untuk mendapatkan ilmu sejati manusia harus sunyi
dari pamrih. Harus bening pikirannya. Bebas dari kekelutan dan kecemburuan.
Bebas dari kekalutan dan kecemburuan, bebas dari dari kedengkian kalbu
betul-betul diam., tak ada gemerisik. Hati dan pikiran menjadi satu sehingga
tak ada konflik batin. Mak, dalam kondisi yang sepi dan tenang ini mengalirkan
ilmu dari kedalaman pribadi. Mengetahui kenyataan, pancaindra tak berfungsi.
Mengetahui bukan karena kata orang lain. Bukan karena membaca buku-buku.
Tapi beliau tidak mengharamkan membaca buku, Achmad
Chodjim juga menjelaskan membaca buku-buku itu tetap harus karena sebagai
penjelas atau jalan untuk memahami ilmu tersebut.
Jadi peserta didik yang telah dikonsep oleh beliau
harus:
a) Mengendalikan
hawa nafsu
b) Olah
rasa dan olah nalar
c) Sungguh-sungguh
dan kukuh
d) Tekad
dan pekerti yang mengalahkana hawa nafsu
e) Sunyi
dari pamrih
f) Bebas
dari kecemburuan dan kedengkian.
3. Tujuan Pendidikan
Dalam kultur Jawa tidak menyebutkan kata-kata
pendidikan tapi ngelmu yang artinya ilmu itu dapat dicapai dengan tindakan olah
rasa “menghayati”, olah nalar “berfikir jernih”, dan olah kabisan “mengasah
ketrampilan”, disertai kesungguhan hati dan pengendalian hawa nafsu.
Ngelmu berarti mengetahui kenyataan. Jadi, berilmu
bukan sekedar mengetahui tapi dapat juga mengaplikasikannya. Ada wujudnya, ia
harus bebas dari indra. Ingat indra bisa menipu kita, ada kenyataan yang tak
dapat diketahui oleh indra, yaitu hidup sejati. Karena hanya mengandalkan
indranya maka manusia tidak mampu melihat kenyataan yang akan terjadi.
Dalam bukunya Achmad Chodjim dijelaskan bahwasanya
tujuan pendidikan yang ditawarkan Syekh Siti Jenar adalah menjadi manusia
sejati. Manusia sejati adalah manusia yang berkehendak, berbudi luhur, beramal
saleh, bukan karena diiming-imingi surga oleh orang lain. Juga bukan karena
ditakut-takuti neraka. Semua tumbuh dari iradatnya.
Menurut Agus Sunyoto dalam dialognya Inti tujuan
pendidikan Syekh Siti jenar adalah menciptakan siswa yang beriman, berakhlah
dan berbudi luhur, sehingga menjadi manusia yang membrikan manfaat bagi orang
lain “anfa’uhum linnas”.
Kemampuan jiwa untuk menerima ilham atau jalan yang
baik dan yang buruk dalam tatanan kehidupan ini. Dan, kemanusiaan mulai matang
setelah sang pribadi mempunyai sandangan kehormatan yaitu nafs al-muthmainnah.
Jiwa yang tenang. Pada jiwa ini aspek rasio dapat berkembang optimal. pada jiwa
ini manusia dapat melangkah ke tangga yang lebih tinggi untuk menjadi insan
kamil. Manusia sempurna. Manusia yang mulai arif menggunakan akal budinya.
Dalam hidupnya beliau mendidik orang untuk dapat
mengetahui yang maha kuasa, dan mengethui letak pintu-pintu kematian. Yang maha
kuasa dan pintu-pintu kematian adalah kenyataan. Nah, pribadi yang sejati
adalah pribadi yang dapat mewujudkan kodrat, iradat dan ilmunya.
[1] Hasanu Simon, Misteri
Syekh Siti Jenar (Yogyakarta;
Pustaka Belajar, 2005), hlm. 364
[3] Rachimsyah, Biografi
dan Legenda Walisanga (Surabaya; Penerbit Indah, 1997), hlm. 211-212
[7] Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa; Telaah atas Metode Dakwah
Walisongo (Bandung; Mizan),
hlm. 49-50
[8] Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan Dan
Perkembangan Kota-Kota Muslim Di Indonesia (Menara
Kudus, 2000), hlm. 34.
[9] Purwadi, Babad
Tanah Jawi: Menelusuri Jejak Konflik (Yogyakarta: pustaka alif, 2001), hlm. 37
[10] Hasanu Simon,
hlm. 367
[11] Agus Sunyoto, Suluk Malang Sungsang: Konflik dan Penyimpangan Ajaran
Syaikh Siti Jenar (Yogyakarta: Pustaka
Sastra, 2006), hlm. 289
[13] Ragil
Pamungkas, Teka Teki Walisongo dan 7
Kesalahan Syekh Siti Jenar (Yogyakarta: Narasi, 2008), hlm. 91
[14] Ibid, hlm. 91
[16] Abdul Munir
Mulkhan 1999, 114-115
[17] Widji Saksono
1995, hlm. 61
[18] Hasanu Simon,
408
[19] Abdul Munir
Mulkhan, 1999, 116-130
[20] Abdul Munir,
1999, 97-98
[22] http://www.facebook.com/agus.sunyoto1#!/agus.sunyoto1/posts/1931317007238,
Agus Sunyoto 06 Maret jam 23:30. Diakses 09032011,
[23] Agus Wahyudi, Ma’rifat Syekh Siti Jenar: Makna Bahagia
Sejati (Yogyakarta: Lingkaran, 2007), hlm. 6
[26] Op, It, hal.
385.
[31] Ririn
Sofwan, H. Wasit, H. Mundiri, Islamisasi di Jawa, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000. hal. 210.
[36] Lebe lontang pada hakekatnya merupakan praktik upacara agama budha sekte
Bhairawa, yaitu budhisme yang mengalami sinkretasi dengan unsur-unsur Indonesia
asli, Jawa dan Cina sehingga menjadi tantrayana atau saktayana. Bermula dari
paham dan praktik keagamaan, dimodifikasi dan diberi label serta kedok Islam
lengkap dengan pengucapan lafal Arab, terciptalah upacara ibadah, kaidah moral
dan syariat yang bersifat amoral, anakhis dan zindiq. Tatanan tersebut oleh
Lebe Lontang dinamakan dzikir ojrat
ripangi, yang isinya memfitnah dan sangat melecehkan Islam.
[37] Widji Saksono,
Loc, it, hal. 46-47
[40] Ahmad Chodjim,
hlm, 80
[42] http://indonesia.faithfreedom.org/forum/syekh-siti-jenar-t34838/,
Wed Sep 02, 2009 7:54 pm.oleh, lemah abang
[43] Ibid, http://indonesia.faithfreedom.org/forum/syekh-siti-jenar-t34838/,
Wed Sep 02, 2009 7:54 pm.oleh, lemah abang
[44] Muhammad
Solikhin, Ajaran Ma’rifat Syekh Siti Jenar: Panduan menuju kemenyatuan dengan
Allah, refleksi, dan penghayatan Syekh Siti Jenar (Jakarta: PT Buku Kita,
2007), hlm. 121
[48] P.J. Zoemulder,
Manunggaling Kawulo Gusti: Pantheisme dan Monisme Dalam Sastra Suluk Jawa
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), hlm. 128
[49] Agus Wahyudi,
hlm.7
[50] Abdurrahman
Abdul Khaliq dan Ihsam Ilahi Zhahir, Pemikiran Sufismr: Di Bawah Bayang-Bayang
Fatamorgana (Jakarta: Amzah, 2001), hlm.23
[53] Haryanto, Bayang-Bayang Adiluhung:
filsafat Simbolik dan Mistik dalam Wayang (Semarang: Dahara Priza, 1992)_
[54] Abdul Munir
Mulkhan, Pewarisan Ajaran Syekh Siti
Jenar: Pembuka Pintu Makrifat (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003), hlm.
218-219