Pendidikan di Indonesia pada Zaman Penyebaran Islam
Oleh: Nurul hidayah
Pada permulaan abad ke-16 dan mungkin di dalam abad ke- 13 banyak masyarakat yang dahulu memeluk agama Hindu kemudian memeluk agama Islam. Mungkin sekali agama Islam mereka telah disesuaikan dengan keadaan dan adat istiadat dan mungkin dengan kebudayaan bangsa Hindu. Proses penyebaran Islam dilakukan dengan berbagai jalan, mulai dari perdagangan, pernikahan, pengobatan, budaya, maupun pendidikan.38Lembaga pendidikan Islam telah memainkan fungsi dan perannya sesuai dengan tuntutan masyarakat pada zamannya. Adapun lembaga pendidikan di Indonesia pada zaman penyebaran Islam antara lain:
a. Pendidikan Masjid, Langgar, dan Surau
Hampir di setiap desa di Pulau Jawa terdapat tempat peribadahan. Di tempat tersebut, umat Islam dapat melakukan ibadahnya sesuai dengan perintah agamanya. Tempat tersebut dikelola seorang pertugas yang disebut “amil”, “modin”, lebai” (Sumatra). Petugas tersebut bertugas ganda yaitu memimpin dan memberikan doa pada waktu hajat upacara keluarga atau desa, dan bertugas sebagai pendidik agama. Pengajaran-pengajaran di langgar-langgar merupakan pengajaran permulaan. Sedangkan pengajaran di pesantren ditujukan kepada mereka yang ingin memperdalam ilmu ketuhanan. Apa yang diajarkan di langgar merupakan pelajaran agama dasar, mulai pelajaran dalam huruf Arab, tapi tak jarang pula dilakukan secara langsung mengikuti guru dengan menirukan apa yang telah dibacakan dari kitab Al-Qur’an. Tujuan pendidikan dan pengajaran di langgar adalah murid dapat membaca dan lebih tepat melagukan menurut irama tertentu seluruh isi Al-Qur’an.S istem pengajaran secara hoofdelyk atau individual. Yang secara individual anak satu persatu kehadapan guru sedang anak yang lain. menunggu gilirannya. Sementara menunggu, murid-murid lainnya duduk bersila melingkar dengan tetap berlatih melagukan ayat-ayat suci.43Di sini sang guru melakukan koreksi kepada bacaan murid-murid yang salah mengucapkannya. Pelajaran biasanya diberikan pada pagi hari (habis shubuh) atau petang hari (sesudah atau sebelum magrib) dengan lama pertemuan tiap harinya sekitar satu hingga dua jam. Proses tersebut biasa selesai atau dapat diselesaikan selama beberpa bulan, tetapi umumnya sekitar 1 tahun. Murid-murid yang belajar di langgar tidak dipungut uang sekolah. Kalaupun ada, uang sekolah yang diberikan itu tergantung kepada kerelaan orangtua murid yang dapat memberikan tanda mata berupa benda-benda atau uang. Sesudah murid menyelesaikan pelajaran dalam arti tamat membaca Al-Qur’an, biasanya diadakan selamatan dengan mengundang makan teman-teman murid atau kerabat dekat, di rumah guru atau di langgar. Hubungan antara murid dan guru pada umunya berlangsung terus walaupun murid kemudian meneruskan pendidikan pada lembaga pendidikan yang lebih tinggi.Selain langgar, di Sumatra pun terdapat sekolah-sekolah agama semacam langgar dan pesantren. Sekolah-sekolah agama di Sumatra, khususnya di Minangkabau disebut dengan “Surau” yang memberikan pelajaran permulaan dan pelajaran tinggi.
Istilah surau di Minangkabau sudah dikenal sebelum datangnya Islam. Sebagai lembaga pendidikan tradisional, surau menggunakan sistem pendidikan halaqah. Sistem pendidikan ini seperti yang digunakan di langgar. Pada umumnya pendidikan ini dilaksanakan pada malam hari. Dalam surau-surau kecil hanya diajarkan membaca Al-Quran dengan tidak memakai pengertian dan kecakapan menulis. Disamping itu adapula ilmu-ilmu ke-Islam-an lainnya yang diajarkan, seperti keimanan, akhlak dan ibadah. Di surau yang besar mendidik siswanya supaya memiliki pandangan dan pendapat yang terang tentang pengetahuan umum. Metode pendidikan surau memiliki kelebihan dan kelemahannya. Kelebihannya terletak pada kemampuan mengafal muatan teoritis keilmuan. Sedangkan kelemahannya terdapat pada lemahnya kemampuan memahami dan menganalisis teks.
b. Pendidikan Pesantren
BKeberadaan pesantren, khususnya di Jawa tidak bisa dilepaskan dari peran Walisongo. Dakwah Walisongo berhasil mengislamkan Jawa karena metodenya mengombinasikan aspek spiritual, islam dan mengakomodasikan tradisi masyarakat setempat. Mereka mendirikan pesantren sebagai tempat dakwah Islam sekaligus sebagai proses belajar-mengajar. Pesantren mengambil alih pola pendidikan padepokan tapi mengubah bahan dan materi yang diajarkan dan melakukan perubahan secara perlahan-lahan tata nilai dan kepercayaan masyarakat setempat. Versi lain menyebutkan bahwa pesantren memiliki hubungan historis dengan Timur Tengah. Informasi ini berasal dari mereka yang melakukan ibadah haji. Mereka tidak sekedar melakukan ibadah haji tetapi juga menuntut ilmu, terutama menghadiri pengajian di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
Proses belajar, pengajian serta pelaksanaan ibadah (selain haji) diadopsi para kiai untuk mendirikan pola pendidikan serupa di Tanah Air. Versi lain lagi menyebutkan bahwa proses kemunculan pesantren tidak dapat dilepaskan dengan sejarah gerakan tarekat di Indonesia. Gerakan kaum tarekat ini aktivitasnya kebanyakan adalah melakukan amalan-amalan dzikir atau wirid tertentu yang dikelola secara organisatoris. Disana juga diajarkan berbagai cabang ilmu pengetahuan agama Islam. Dari pengajian ini kemudian berkembang lebih lanjut menjadi institusi pendidikan bernama pesantren. Istilah pesantren berasal dari kata pe-santri-an, dimana kata "santri" berarti murid dalam Bahasa Jawa. Istilah pondok berasal dari Bahasa Arab funduuq (فندوق (yang berarti penginapan. Untuk mengatur kehidupan pondok pesantren, kyai menunjuk seorang santri senior untuk mengatur adik adik kelasnya, mereka biasanya disebut lurah pondok. Tujuan para santri dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka adalah agar mereka belajar hidup mandiri dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan dengan kyai dan juga Tuhan.
Pendapat lainnya, pesantren berasal dari kata santri yang dapat diartikan tempat santri. Kata santri berasal dari kata Cantrik (bahasa Sansakerta, atau mungkin Jawa) yang berarti orang yang selalu mengikuti guru, yang kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut Pawiyatan. Istilah santri juga dalam ada dalam bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji. Di pesantren yang diajarkan ialah berbagai kitab Islam klasik dalam bidang fiqih, teologi, dan tasawuf. Pesantren ini kemudian menjadi salah satu pusat penyiaran Islam. Beberapa pusat pesantren yang menjadi penyiaran agama Islam adalah sebagai berikut: Syamsu Huda di Jembrana (Bali), Tebuireng di Jombang, Al-Kariyah di Banten, Tengku Haji Hasan di Aceh, Tanjung Singgayang di Medan, Nahdlatul Watan di Lombok, Asadiyah di Wajo (Sulawesi), Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjar di Martapura (Kalimantan Selatan), dan banyak lainnya.Surya Siregar memberikan beberapa ciri dan prinsip yang bisa menjadi kehidupan pendidikan di pesantren. Hal ini mulai dari akrabnya hubungan antara peserta didik dengan pendidik, santri dengan kiai. Santri sebagai murid memiliki sikap patuh dan taat kepada sang pendidik, kiai, disebabkan
kebijaksanaan dan karisma yang dimiliki oleh sang kiai tersebut. Kehidupan santri dalam pesantren terpola secara mandiri-sederhana, displin dan terampil dan pola sikap hidup hemat. Kemudian institusi tersebut banyak ditanamkan dan dipraktikkan semangat kebersamaan, persaudaran, saling bantu satu sama lain. Menurut Sudjoko prasodjo, pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara nonklasik, di mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut.Umumnya, suatu pondok pesantren berawal dari adanya seorang kiai di suatu tempat, kemudian datang santri yang ingin belajar agama kepadanya. Setelah beberapa lama, banyak santri yang datang, timbullah inisiatif untuk mendirikan pondok atau asrama di samping rumah kiai. Pada zaman dahulu, kiai tidak merencanakan bagaimana membangun pondoknya itu, namun yang terpikir hanyalah bagaimana mengajarkan ilmu agama supaya dapat dipahami dan dimengerti oleh santri. Kiai saat itu belum memberikan perhatian terhadap tempat-tempat yang didiami oleh para santri, yang umumnya sangat kecil dan sederhana. Mereka menempati sebuah gedung atau rumah kecil yang mereka dirikan sendiri di sekitar rumah kiai. Semakin banyak jumlah santri, semakin bertambah pula gubuk yang didirikan.
Di dalam sistem pengajaran pesantren ini, para santri, yaitu murid-murid yang belajar, diasramakan dalam suatu kompleks yang dinamakan “pondok”. Disamping pondok pesantren tersebut juag terdapat tanah bersama yang digunakan untuk usaha bersama antara guru dan santri. Para santri belajar pada bilik-bilik terpisah dan belajar sendiri-sendiri, tetapi sebagian besar waktunya digunakan untuk bekerja di luar ruangan, baik untuk membersihkan ruangan, halaman, atau bercocok tanam. Mereka pada umumnya telah dewasa dan dapat memenuhi kebutuhan sendiri, baik dari bantuan keluarganya, atau telah mempunyai penghasilan sendiri. Pembagian waktu kegiatan sehari-hari di pesantren sebagai berikut:
1) Pukul 5 pagi mereka menjalankan ibadat
2) Sesudah itu, mereka mengerjakan kegiatan atau pekerjaan untuk kepentingan guru, seperti membersihkan halaman dan bekerja di pertamanan dan ladang. Perlu dicatat di sini bahwa guru-guru di pesantren tidak menerima gaji untuk penggantian jerih payahnya
3) Kalau pekerjaan ini selesai, pengajaran yang sesungguhnya dimulai
4) Sehabis makan siang, para santri beristirahat. Lalu belajar lagi, tetapi tidak melupakan kewajiban mereka beribadah
5) Beberapa santri menjaga keamanan pada waktu malam. Adakalanya, untuk memenuhi kebutuhan pesantren secara keseluruhan, para santri kerap bergerak ke luar pesantren untuk mencari dana pada umat Islam. Pada umunya masyarakat dengan sukarela dan hati terbuka memberikan dana atau materi yang diperlukan Besar kecilnya atau dalam dangkalnya bahan studi yang diberikan pada pesantren tergantung pada kiai dan pondok pesantren tersebut. Ada pondok pesantren yang diikuti oleh 8 hingga 10 orang. Akan tetapi, ada pula pesantren yang diikuti oleh ratusan murid. Luas dan sempitnya bahan studi tidak sama, tetapi semuanya telah mendapatkan pendidikan elementer pada langgar-langgar setempat. Lama berlangsungnya pendidikan di pesantren juga tak sama. Ada yang belajar hanya satu tahun, tetapi ada pula yang belajar bertahun-tahun hingga 10 tahun atau bahkan lebih. Pelajaran utama yang diberikan adalah dogma keagamaan (ushuluddin), yaitu dasar kepercayaan dan keyakinan Islam, dan fiqih, yaitu kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan bagi pemeluk Islam, meliputi:
1) Syahadat, yaitu mengucapkan kalimat bahwa tidak ada Tuhan yang harus disembah kecuali Allah dan Nabi Muhammad adalah utusannya.
2) Menjalankan shalat.
3) Membayar zakat pada fakir miskin.
4) Berpuasa pada bulan Ramadhan.
5) Pergi naik haji bagi yang mampu.66
Di dalam komplek pesantren, terdapat tempat kediaman para guru beserta keluarganya dengan semua fasilitas rumah tangga dan tidak ketinggalan masjid yang dipelihara dan dikelola bersama. Pendiidikan dan pengajaran di langgar dan di pesantren adalah suatu sistem yang ditemukan
di Jawa.
Sebagai institusi pendidikan, pesantren pada mulanya sebagai tempat penyiaran agama Islam kepada khalayak ramai dan secara kultural dan pelan-pelan mengubah tradisi budaya yang berkaitan dengan pegangan agama sebelumnya dianut warga masyarakat. Di perkembangannya, institusi tersebut meluaskan garapan tidak sekadar mengajarkan pelajaran agama, tetapi juga ikut andil dalam memberikan jaran-ajaran pola nilai hubungan sosial-politik-ekonomi dan budaya masyarakat.
c. Pendidikan Madrasah
Kemunculan madrasah erat hubungannya dengan sosok seorang meenteri dari dunia Arab bernama Nizam el-Mulk abad ke-11 sebagai pendiri lembaga pendidikan madrasah. Tokoh ini mengadakan pembaruan dengan memperkenalkan sisitem peendidikan yang bermula bersifat murni teologi (ilmu ketuhanan) dan menambah ilmu-ilmu yang bersifat keduniawian, seperti astronomi (ilmu perbintangan) dan ilmu obat-obatan.
Bagi penulis khusus pendidikan Islam tipe madrasah dikaitkan dengan kemunculannya di Indonesia, merupakan peraliahan dan perkembangan pendidikan Islam yang mengadopsi sistem pendidikan modern dengan tetap mempertahankan beberapa pelajaran pokok islam dan porsinya lebih banyak diajarakan. Isi kurikulum pada umumnya adalah apa yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan islam (surau dan pesantren) ditambah dengan beberapa materi pelajaran yang disebut dengan ilmu-ilmu umum. Peralihan dari agama dan kebudayaan Hindu/Budha menuju Islam pada umumnya berlangsung secara damai dan tenang. Ketika agama Islam memasuki Indonesia, pengaruh dan cara berpikir Hindu masih kuat dan berakar. Pada masa itu, ada dua tipe guru. Pertama adalah guru untuk kalangan keraton dan bangasawan yang diundang atau hidup dikalangan keraton untuk mengajar para putra raja dan kestria lainnya. Kedua adalah guru pertapa yang bertapa di tempat-tempat yang menyendiri, jauh dari keramaian sambil belajar serta mendalami ilmi-ilmu ketuhanan serta ilmu-ilmu lainnya.
Para penyebar agama Islam banyak menghubungkan para guru tipe kedua ini sehingga melalui merekalah agama Islam tersebar luas di Indonesia. Para penyebar tersebut adalah “Walisongo” dan diberikan sebutan “Sunan”. Mereka adalah syaikh Maulana Malik Ibrahim, Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Giri, Sunan Kudus, dan Sunan Muria. Mereka hidup pada waktu yang berlainan (abad 15 dan 16). Di Aceh pada masa Kerajaan Aceh Darussalam terdapat beberapa lembaga pendidikan Islam yang menyerupai madrasah, antara lain:
1) Pendidikan Meunasah
a) Meunasah merrupakan tingkat pendidikan Islam terendah. Meunasah berasal dari kata Arab Madrasah dan berfungsi sebagai sekolah dasar. Meunasah merupakan suatu bangunan yang terdapat di setiap gampong (kampung, desa). Fungsi dari meunasah tersebut yaitu:Sebagai tempat upacara keagamaan, penerimaan zakat dan tempat penyalurannya, tempat penyelesaian perkara agama, musyawarah dan menerima tamu.
b) Sebagai lembaga pendidikan Islam di mana diajarkan pelajaran membaca Al-Qur’an. Pengajian bagi orang dewasa diadakan pada malam hari tertentu dengan metode ceramah dalam satu bulan sekali. Kemudian, pada hari jum’at dipakai ibu-ibu untuk shalat berjamaah zuhur yang diteruskan pengajian yang dipimpin oleh seorang guru perempuan. Pendidikan meunasah dipimpin oleh Teungku Meunasah. Pendidikan untuk anak perempuan diberikan oleh teungku perempuan yang disebut Teungku Inong. Dalam memberikan pendidikan kepada anak-anak, Teungku Meunasah dibantu oleh beberapa orang muridnya yang lebih cerdas yang disebut sida.
Umumnya pendidikan berlangsung selama dua sampai sepuluh tahun.Pengajaran umumnya berlangsung malam hari. Materi pelajaran dimulai dengan membaca Al-Qur’an yang dalam bahasa Aceh disebut Beuet Quran. Biasanya pelajaran diawali dengan mengajarkan huruf hijaiah. Selanjutnya membaca juz amma, sambil menghafalkan surat-surat pendek. Setelah itu ditingkatkan dengan membaca Al-Qur’an dilengkapi dengan tajwidnya. Di samping itu, diajarkan pula pokok-pokok agama seperti rukun iman, rukun Islam, dan sifat-sifat Tuhan. Adapula rukun sembahyang, rukun puasa serta zakat. Pelajaran menyanyi juga diajarkan, terutama nyanyian yang berhubungan dengan agama yang dalam bahasa Aceh disebut dike atau seulaweut (zikir atau selawat). Buku-buku pelajaran yang digunakan adalah buku-buku yang berbahasa Melayu seperti kitab parukunan dan Risalah Masail al-Muhtadin.
Belajar di meunasah tidak dipungut biaya bayaran, dengan demikian para Tengku tidak diberi gaji, karena mengajar dianggap ibadah. Meunasah merupakan madrasah wajib belajar bagi masyarakat Aceh masa lalu.
2) Pendidikan Rangkang
Pendidikan Rangkang dibangun pada setiap pemukiman. Biasanya pembangunan rangkang berdekatan dengan Mesjid. Gunanya untuk memudahkan peserta didik untuk shalat berjama’ah setiap waktu. Padazaman dahulu mesjid hanya terdapat pada setiap pemukiman. Jumlah rangkang di Aceh sama banyaknya dengan jumlah pemukiman pada waktu. Rangka dapat disamakan tingkatannya dengan Madrasah Tsanawiyah. Peserta didik pada tingkat rangkang berasal dari anak-anak kampung yang telah menyelesaikan pelajarannya di Meunasah. Bagi mereka yang ingin melanjutklan pelajaran yang lebih tinggi mereka diantarkan oleh orang tuanya ketempat itu. Karena pembangunan rangkang berjauhan dengan kampung, peserta didik kebanyakan memondok di kawasan rangkang. Waktu belajar di rangkang biasanya pagi dan sore. Pada malamnya mereka belajar dengan teman-temannya di tempat pemondokan masing-masing. Cara belajar berkelompok sudah lama dipraktekkan di rangkang dengan bimbingan kawan sebaya (Tengku Sida).
3) Pendidikan Dayah
Pendidikan Dayah terdapat di setiap Negeri. Satu Negeri terdiri dari beberapa buah pemukiman. Kepala pemerintahan negeri disebut Ulee Balang. Pembangunan pendidikan dayah mungkin berdekatan dengan mesjid ada juga yang tidak. Apabila pembangunan pendidikan dayah tidak berdekatan dengan mesjid, dalam komplek dayah itu dibuat sebuah Aula tempat peserta didik shalat berjama’ah.Peserta didik tingkat dayah adalah mereka yang telah menyelesaikan pendidikannya dirangkang. Pendidikan tingkatan ini dapat dikatan sama dengan Madrasah Aliyah sekarang. Pendidikan tingkat dayah diatur lebih rapi. Pada umumnya peserta didik memondok. Kegiatan belajar lebih banyak. Ada yang berlangsung pada waktu pagi, ada pula yang berlangsung pada waktu sore, dan ada pula yang berlangsung pada waktu malam hari. Belajar di dayah lebih mandiri. Latihan lebih banyak. Seperti latihan berpidato, latihan dakwah, latihan berbicara, dengan bahasa Arab dan lain-lain. Latihan-latihan itu dilakukan supaya peserta didik lancar melakukan kegiatan-kegiatan dalam masyarakat. Pada waktu libur panjang bulan puasa dan pada bulan haji siswanya pulang kampung masuk kampung untuk mempraktekkan pengetahuannya
4) Pendidikan Dayah Teuku Chik
Dayah Chik merupakan perguruan tinggi Islam zaman dulu. Setiap kerajaan Islam di Aceh memiliki Dayah Chik tersebut. Jumlah dayah tinggi sejak dari tahun 840-1903 (Masehi) lebih 50 buah di seluruh Aceh. Kerajaan-kerajaan Islam tersebut antara lain:
a) Islam Peurelak
b) Kerajaan Islam Tamiang.
c) Kerajaan Islam Dayah.
d) Kerajaan Islam Banda Aceh Darussalam.
Semoga bermanfaat