SEJARAH PENDIDIKAN DI MASA PENJAJAHAN


PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI INDONESIA PADA ABAD 16-19
oleh: Iffah, Hanna, Atika, Rozi



A.   Latar Belakang

     Indonesia pernah mengalami masa penjajahan yang sangat lama yaitu tiga setengah abad oleh Belanda dan tiga setengah tahun oleh Jepang.  Sehingga tidak mengherankan apabila sangat pengaruhnya sangat kuat dalam segala bidang, baik di bidang politik, ekonomi, militer, maupun pendidikan.
     Pendidikan pada masa penjajahan hanya diberikan kepada para bangsawan bangsawan. Dengan adanya diskriminasi tersebut, pahlawan-pahlawan yang berjuang terutama di bidang pendidikan seperti K.H. Dewantara dan RA. Kartini. Beliau berdualah yang sangat mempengaruhi pendidikan dari masa penjajahan hingga sekarang.
     Pendidikan pada masa penjajahan tentu berbeda dengan pendidikan dengan sekarang. Dan bagaimana pendidikan pada masa penjajahan itulah yang akan kita bahas dalam makalah ini, agar dapat mengetahui secara rinci sistem dan proses pendidikan baik pada masa Hindia-Belanda maupun pada zaman Jepang.

B.   Pendidikan Pada Zaman Belanda
  1. Sosial Masyarakat pada Zaman Hindia-Belanda.
        Secara etimologi kata Hindia berasal dari bahasa latin, Indus. Nama asli Dutch Indies diterjemahkan oleh orang inggris sebagai Hindia Timur Belanda, tercatat dalam dokumen Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada awal tahun 1620-an. Pada bulan April tahun 1595, Selama abad ke-19, daerah jajahan dan hegemoni Belanda diperluas, mencapai batas wilayah teritorial terbesar mereka pada awal abad ke-20. Hindia Belanda adalah salah satu koloni Eropa yang paling berharga di bawah kekuasaan Imperium Belanda dan berkontribusi pada keunggulan global Belanda dalam perdagangan rempah-rempah dari hasil bumi.[1] Pada tahun 1598, parlemen Belanda mengajukan sebuah usulan supaya perseroan-perseroan yang saling bersaing sebaiknya menggabungkan kepentingan mereka masing-masing ke dalam suatu kesatuan. Akhirnya pada bulan Maret tahun 1602 perseroan tersebut bergabung membentuk perusahaan dagang bernama Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC (Perserikatan Maskapai Hindia Timur).
  2. Sistem Pendidikan pada Zaman Hindia-Belanda.
        Sejarah pendidikan zaman pemerintah kolonial Belanda dapat dibagi dalam tiga periode, yaitu periode VOC pada abad ke-17 dan ke-18, periode pemerintah Hindia-Belanda pada abad ke-19 dan  periode Politik Etis (Etische Politiek) pada awal abad ke-20 (Boone, 1996). Pada zaman VOC abad ke-17 dan ke-18, pendidikan untuk kaum ”inlanders” (penduduk tanah jajahan) ditangani oleh Nederlands Zendelingen Genootschap atau NZG, Gereja Kristen dari Belanda yang ikut dalam misi VOC. Pendidikan yang didirikan oleh VOC melekat dengan agama dan pendidikan hanya dilakukan di daerah yang memiliki struktur politik yang lemah, seperti Ambon dan Banda. Dan di Batavia juga didirikan sekolah yang berbasis agama kristen yang hanya membahas dan memahami kitab Brible. Pada masa itu sebenarnya sudah ada pendidikan tradisional yang tidak ada campur tangan VOC. Materi pelajaran lebih ditekankan pada kemampuan untuk menulis, berhitung, dan membaca dalam bahasa Melayu yang menjadi bahasa perdagangan sehari-hari masa itu (Supriadi, 2003: 7).
         Ordo Jesuit di bawah pimpinan Ferancicus Xaverius memandang pendidikan sebagai alat yang ampuh untuk penyebaran agama. Seminar dibuka di Ternate, kemudian di solor dan pendidikan yang lebih tinggi dapat di peroleh di Goa, India, pusat kekuasaan Portugis saat itu. Bahasa Portugis hampir sama populernya dengan bahasa melayu, kedudukan yang tak kunjung di capai oleh bahasa Belanda dalam waktu 350 tahun penjajahan kekuasaan Portugis melemah akibat peperangan dengan raja-raja Indonesia dan akhirnya di lenyapkan oleh Belanda pada tahun 1605.[3] Pada zaman Hindia-Belanda abad ke-19, atau tepatnya setelah VOC dibubarkan kekuasaan pemerintahan berada di tangan Hindia-Belanda. Dengan dibubarkannya VOC  mendorong untuk mengganti sistem pemerintahan dari Indirect Rulle ke Direct Rulle (Sistem pemerintahan Tidak Langsung ke Sistem Pemerintahan Langsung). Dan mempengaruhi terhadap sistem pendidikan.
          Kemudian pada masa pemerintahan Daendels pada 1808, ia mengarahkan beberapa bupati-bupati di Jawa untuk mengorganisir sekolah-sekolah untuk anak-anak yang berasal dari/pribumi dengan suatu kurikulum yang mencakup kultur Jawa dan agama sehingga anak-anak itu akan tumbuh hingga menjadi anak Jawa yang baik.[4] Dengan didirikannya sekolah-sekolah bukan berarti menunjukkan pada masa Hindia-Belanda mengalami kemajuan dalam bidang pendidikan. Namun pada kenyataannya sekolah sekolah untuk pribumi tidak diberi perhatian, dan lebih memperhatikan sekolah-sekolah yang digunakan untuk anak-anak Belanda, bangsa Eropa, dan anak yang orang tuanya bekerja di Hindia Belanda khususnya ELS atau Europeese Lagerschool (Supriadi dan Hoogenboom, 2003: 8). Sistem pendidikan di Indonesia pada masa Belanda dibagi menjadi dua bagian:
    • Pendidikan dan pengajaran untuk anak-anak Eropa. Untuk anak-anak Eropa, ada tiga tingkat sekolah dasar yang dinamakan E.L.S yaitu; pertama, (Europeesche Lagere School) lama belajar enam tahun. Didirikan di Jakarta pada tahun 1816. Kemudian disekitar tahun 1900-1940 perkembangan jumlah sekolah dan murid tidak mengalami perkembangan yang berarti, akan tetapi setelah tahun 1900 jumlah anak-anak pribumi yang memasuki E.L.S. meningkat. Kedua, sekolah menengah. Sekolah menengah terdiri dari H.B.S. (Hooger Burger School) lima tahun dan H.B.S. tiga tahun. Sekolah ini didirikan pada tahun 1867 di Jakarta. Sebelumnya telah ada Gymnasium enam tahun didirikan pada tahun 1860 di Jakarta yang diberi nama Gymnasium III. Tamatan H.B.S. lima tahun dapat melanjutkan ke Universitas, dan H.B.S. tiga tahun ke sekolah kejuruan atau dapat juga ke H.B.S. lima tahun di kelas IV. Dalam tahun 1903 didirikan sekolah M.U.L.O. tiga tahun dan dianggap sederajat dengan H.B.S. tiga tahun. Tamatan M.U.L.O. dapat melanjutkan ke H.B.S. lima tahun di kelas IV. Baik H.B.S. tiga tahun maupun M.U.L.O. sebenarnya dipersiapkan untuk memasuki sekolah kejuruan. Pemilik ijazah M.U.L.O. mempunyai arti penting karena mendapat posisi yang baik di dalam masyarakat. (Creutsberg, 32) Kemudian tahun 1919 didirikan A.M.S. (Algemeene Middlebare School). Sekolah ini merupakan lanjutan M.U.L.O. yang lama belajarnya tiga tahun. Ketiga, universitas yang terdiri dari tiga sekolah tinggi, yaitu Kedokteran Batavia 1927, ITB 1920, dan Recht Hoge School, Jakarta 1924.[5]
    • Pendidikan dan pengajaran untuk anak-anak pribumi. Dalam usahanya mendirikan sekolah untuk anak-anak pribumi agar mereka dapat memperbaiki kehidupan kelak di dalam masyarakat tidak dapat mengabaikan peranan lembaga pendidikan yang telah ada. Hal ini ternyata dari sikap Gubernur Jendral Van Der Capellen dalam tahun 1816 memerintahkan kepada para bupati di Jawa untuk mengadakan penyelidikan sistem pesantren, dan seberapa jauh pengaruhnya dalam masyarakat. Menurut Van Der Capellen sebaiknya pendidikan muncul dari masyarakat itu sendiri. Dan jika mungkin agar sistem pendidikan pesantren dilengkapi dengan sistem pendidikan Barat dan dipakai sebagai dasar pendidikan rakyat. (Historisch, 8-9)

       Penjajah Belanda dalam perjalanan sejarahnya menunjukan bagaimana ia menerapkan kebijakan pendidikan yang diskriminatif dan menghalangi pertumbuhan pendidikan lokal masyarakat yang sudah ada. pada 1882, Belanda membentuk pristerraden yang mendapat tugas mengawasi pengajaran agama di pesantren-pesantren. Pada 1925, Belanda mengeluarkan peraturan bahwa orang yang akan memberi pengajaran harus meminta izin dulu.
       Pada 1925, terbit Goeroe-Ordonnantie yang menetapkan bahwa para kyai yang akan memberikan pelajaran, cukup memberi tahukan kepada pihak Belanda. Peraturan-peraturan itu semua merupakan rintangan perkembangan pendidikan yang di selenggarakan oleh pengikut agama Islam. Pada tahun terakhir di masa pemerintahan belanda di Indonesia, baru di keluarkan peraturan persekolahan yang berisi tentang ketentuan-ketentuan mengenai pengawasan dan penyelenggaraan pengajaran. Ide-ide Daendels pada masa sebelumnya yang ingin memperluas kesempatan.[6]
      Sekalipun pada tahun 1818 pemerintah Belanda telah menetapkan Undang-undang bagi Hindia Belanda antara lain menyatakan bahwa semua sekolah negeri Hindia-Belanda dapat dimasuki baik oleh orang Eropa maupun orang Indonesia hanya sebagian kecil saja siswa disekolah-sekolah Belanda tersebut yang berasal dari kalangan pribumi. Hingga tahun 1848 belum tampak usaha yang sungguh-sungguh dari pemerintah kolonial untuk menyediakan sekolah bagi anak-anak pribumi. Pada tahun 1849, hanya 37 orang pribumi yang berada di sekolah-sekolah Eropa di Pulau Jawa (Watson, 1975: 35).
      Pada tahun 1901, Belanda mengadopsi apa yang mereka sebut sebagai Politik Etis, dimana pemerintah kolonial memiliki tugas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia dalam bidang kesehatan dan pendidikan. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda dalam pelaksanaan politik etis tentu tidak ada satupun yang utuh ditunjukkan bagi kepentingan masyarakat pribumi, semua kebijakan yang ada dibuat untuk kepentingan mereka sendiri.[7]

C.    Pendidikan Pada Zaman Jepang
 Sistem Pendidikan
       Sistem pendidikan pada masa Jepang. Sejak awal pemerintahan Jepang, semua organisasi Islam di Indonesia yang tergabung dalam MIAI dibekukan, sehingga organisasi Islam yang menyelengarakan pendidikan, mengalami kesulitan dalam memajukan pendidikan, ini ditandai dengan mundurnya kegiatan pembelajaran di pesantren-, madrasah dan pengajian. Pendidikan pun semakin menjadi terbengkalai dan terabaikan. Namun demikian Madrasah di lingkungan pesantren beruntung, karena terbebas dari pengawasan langsung pemerintah Jepang, sehingga pendidikan dalam pondok pesantren masih berjalan dengan agak wajar. Hal ini dapat terjadi karena letak pesantren yang terpisah dan terpencil. [8] Di awal kedatangannya, kelihatan memang bahwa Jepang mendukung sistem pendidikan, hal ini terlihat bahwa:
  • Pondok pesantren yang besar-besar sebagai institusi pendidikan Islam sering mendapat kunjungan dan bantuan dari pembesar Jepang.
  • Sekolah negeri dalam berbagai tingkatannya diberi pelajaran budi pekerti yang isinya identik dengan ajaran agama.
  • Pemerintah Jepang mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin oleh KH.Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta.[9]
       Jenjang pendidikan di masa ini adalah: Pertama, Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko/Sekolah Rakyat). Lama studi 6 tahun. Termasuk SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda.  Kedua, Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun. Ketiga, Pendidikan Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian.[10]
       Kurikulum pendidikan pada masa pemerintahan Jepang berkuasa di Indonesia terjadi beberapa perubahan yang penting, yaitu:
  • Terhapusnya Kurikulum Dualisme Pengajaran. Berbaga jenis lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah kolonial Belanda dihapuskan di masa Jepang. Oleh karena itu, riwayat susunan pengajaran yang dualistik telah berakhir. Dualisme yang dimaksudkan adalah pengajaran barat dan pengajaran bumi putra. Hanya satu jenjang sekolah yang diadakan untuk seluruh lapisan masyarakat ialah sekolah rakyat (SR) yang saat itu lebih popular dengan sebutan kokumun gakkoo. Adapun Sekolah Desa masih tetap ada dan namanya diganti menjadi Sekolah Pertama.[11]
  • Kurikulum Pengajaran Bahasa Indonesia. Kurikulum pendidikan disetiap jenjang pendidikan, adalah dimasukkannya pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar materi, yang sebelumnya mengalami penekanan. Pada masa Jepang atau era Nippon ini, cukup penggunaan bahasa Indonesia menjadi signifikan. Dalam pada itu, maka pelajaran Bahasa Indonesia tetap menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah, dan menjadi bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi dan bahasa pengantar di sekolahsekolah. Hanya saja kemudian, ada konpensasi lain yaitu bahasa Jepang ditetapkan sebagai mata pelajaran dan adat istiadat Jepang yang harus dipelajari, dan dimasukkan dalam kurikulum pendidikan.[12]
  • Bantuan Dana untuk Pembenahan Kurikulum Pendidikan. Untuk memperoleh dukungan dari umat Islam pemerintah Jepang mengeluarkan mengeluarkan kebijakan yang menawarkan bantuan dana bagi sekolah dan madrasah, sehingga sekolah maupun madrasah dengan bebas menyelenggarakan pendidikan sesuai target kurikulum seperti buku-buku pelajaran, Dana yang diberikan, diperun-tukkan untuk pengadaan buku-buku dan literatur sebagai sarana utama dalam pembenahan kurikulum pendidikan.[13]
Sosial masyarakat pada masa Jepang
     Jepang menjajah Indonesia setelah mengusir pemerintah Hindia Belanda dalam perang dunia ke II, Jepang mulai menguasai Indonesia pada tahun 1942. Ketika pasukan Jepang mulai berkuasa di Indonesia, bangsa Jepang memaksakan untuk melakukan tradisinya, yaitu menyanyikan lagu Kimigayo yang merupakan lagu kebangsaan Jepang, demikian pula diharuskan untuk melaksanakan Seikeirei, suatu cara memberi hormat dengan membungkukkan badan ke arah Kaesar Jepang, Tenno Neika yang dipercayai oleh masyarakat Jepang sebagai keturunan Dewa Matahari. Tradisi seperti ini jelas bertentangan dengan budaya bangsa Indonesia.
     Jepang memberlakukan kerja paksa (ROMHUSHA) juga membentuk pertahanan rakyat semesta, seperti Haiho, Peta dan Keiboda, sehingga pertahanan terhadap dunia pendidikan semakin menurun. Kehidupan rakyat semakin tertindas dan menderita.[14] Jepang memberlakukan kerja paksa (ROMHUSHA) juga membentuk pertahanan rakyat semesta, seperti Haiho, Peta dan Keiboda, sehingga pertahanan terhadap dunia pendidikan semakin menurun. Kehidupan rakyat semakin tertindas dan menderita.[15] Jepang memberlakukan kerja paksa (ROMHUSHA) juga membentuk pertahanan rakyat semesta, seperti Haiho, Peta dan Keiboda, sehingga pertahanan terhadap dunia pendidikan semakin menurun. Kehidupan rakyat semakin tertindas dan menderita.[16]

Kesimpulan
     Pada tahun 1901, Belanda mengadopsi apa yang mereka sebut sebagai Politik Etis, dimana pemerintah kolonial memiliki tugas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia dalam bidang kesehatan dan pendidikan. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda dalam pelaksanaan politik etis tentu tidak ada satupun yang utuh ditunjukkan bagi kepentingan masyarakat pribumi, semua kebijakan yang ada dibuat untuk kepentingan mereka sendiri. Dengan didirikannya sekolah-sekolah bukan berarti menunjukkan pada masa Hindia-Belanda mengalami kemajuan dalam bidang pendidikan. Namun pada kenyataannya sekolah sekolah untuk pribumi tidak diberi perhatian, dan lebih memperhatikan sekolah-sekolah yang digunakan untuk anak-anak Belanda, bangsa Eropa, dan anak yang orang tuanya bekerja di Hindia Belanda khususnya ELS atau Europeese Lagerschool.
      Jepang menjajah Indonesia setelah mengusir pemerintah Hindia Belanda dalam perang dunia ke II, Jepang mulai menguasai Indonesia pada tahun 1942. Tenno Neika yang dipercayai oleh masyarakat Jepang sebagai keturunan Dewa Matahari. Tradisi seperti ini jelas bertentangan dengan budaya bangsa Indonesia. Jepang memberlakukan kerja paksa (ROMHUSHA) juga membentuk pertahanan rakyat semesta, seperti Haiho, Peta dan Keiboda, sehingga pertahanan terhadap dunia pendidikan semakin menurun. Kehidupan rakyat semakin tertindas dan menderita.


[1] Nur, Laely, Sistem Pemerintahan Kolonial Belanda, hlm. 4
[2] Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Jakarta; Serambi Ilmu Semesta, 2008), Hal. 50-51
[3]  Afifudin, Sejarah Pendidikan (Bandung: Prosfect, 2007). hal.29
[4]  Dadang Supardan,” Menyingkap Perkembangan Pendidikan  Sejak Masa Kolonial hingga Sekarang”, Generasi Kampus, Volume 1, Nomor 2, September 2008, hlm:98.
[5] Ibid
[6] Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008)hal.30
[7] Amir, Sutarga, Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan, (Jakarta; Yayasan Obor Indonesia, 1987), hlm.176
[8] Asmah Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1999), hal 62-63     
[9] Ibid
[10]Aisyah Abbas, Jurnal Pendidikan di Indonesia pada masa Jepang, Vol 4 Nomor 1, januari, 2018
[11]  Hasbullah, Sejarah endidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja-Grafindo persada, 2001), hal 22.
[12] Ibid
[13] K. Enung, Rukiati dan Hikmawati Fenti, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Bandung:CV. Pustaka Setia, 2006), hal: 51-52
[14]   Aisyah Abbas, Jurnal Pendidikan di Indonesia Pada Masa Jepang, Vol 4  Nomor 1, januari, 2018
[15]   Aisyah Abbas, Jurnal Pendidikan di Indonesia Pada Masa Jepang, Vol 4  Nomor 1, januari, 2018
[16]   Aisyah Abbas, Jurnal Pendidikan di Indonesia Pada Masa Jepang, Vol 4  Nomor 1, januari, 2018

 DAFTAR PUSTAKA
Afifudin. 2007. Sejarah Pendidikan. Bandung: Prosfeet
Aisyah Abbas, Jurnal Pendidikan di Indonesia pada masa Jepang, Vol 4 Nomor 1, januari, 2018
Asmah Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1999)
Dadang Supardan,” Menyingkap Perkembangan Pendidikan  Sejak Masa Kolonial hingga Sekarang”, Generasi Kampus, Volume 1, Nomor 2, September 2008
Hasbullah, Sejarah endidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja-Grafindo persada, 2001)
K. Enung, Rukiati dan Hikmawati Fenti, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia  (Bandung:CV. Pustaka Setia, 2006)
Nizar, Samsul. 2008. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana
logoblog
Previous
« Prev Post