REVIEW BUKU SEJARAH PENDIDIKAN INDONESIA

Oleh: M. Feri Darmawan
 
REVIEW BUKU SEJARAH PENDIDIKAN INDONESIA


Judul              : Sejarah Pendidikan Indonesia
Penulis            : Prof. Dr. S. Nasution, M.A.
Penerbit         : Jemmars, Bandung
Asli dari         : University of California
Cetakan          : Edisi pertama 1983
Didigitalkan   : 22 Juni 2007
Tebal             : 162 halaman


Pada bagian awal buku ini diceritakan bagaimana perkembangan pendidikan di masa VOC. Bahwa sebenarnya motif awal orang Belanda ke Indonesia adalah untuk berdagang bukan untuk menjajah. Pada masa itu, Indonesia sudah terlanjur terpengaruh secara mengakar dari sisi agama dan bahasa oleh bangsa Portugis yang datang sebelum Belanda. Sekolah pertama didirikan di Ambon (Indonesia Timur) oleh VOC. Tujuannya adalah untuk melenyapkan agama Katolik dan menyebarkan Protestan, Calvinisme. Sekolah pada masa ini berkaitan erat dengan gereja. Kurikulum yang digunakan tidak ada secara sistematis, para siswa diajari tentang katekismus, agama, membaca, menulis dan bernyanyi. Kemudian seiring dengan waktunya, VOC runtuh pada tahun 1799. Pada tahun 1816 pemerintah Belanda memainkan peran selanjutnya di tanah Indonesia dengan Status bahwa tanah jajahan harus memberikan keuntungan sebanyak-banyaknya bagi negeri Belanda.
Masa 1816-1891 sebagai masa Liberal dalam konteks pendidikan di bawah pemerintah Belanda dimana ada kepercayaan kalau pendidikan merupakan alat untuk mencapai kemajuan ekonomi dan sosial, paham ini di pengaruhi oleh aliran Aufklarung atau Enlightment. Pada masa pemerintahan Belanda pendidikan dibedakan menjadi dua, yaitu untuk anak Belanda dan untuk anak Indonesia. Pendidikan bagi anak Indonesia menempati posisi yang tidak mengenakkan, hal ini karena faktor kesengajaan agar anak-anak Indonesia tidak berpikir terbuka untuk mengkritisi pemerintah Belanda yang ketika itu sedang menjajah Indonesia. Dan dengan alasan lain agar tidak lahirnya  intelektual baru. Namun, demikian ada momentum yang menjadi sejarah kolonial Belanda bahwa pada tahun 1848 pemerintah Belanda memberikan ƒ25.000 untuk mendirikan sekolah bagi anak bumiputera. Sekolah ini tentu dimaksudkan untuk menyiapkan pegawai dari kelompok bumiputera. Tahun 1854 ada instruksi dari Gubernur Jenderal Belanda melalui Peraturan Pemerintah agar di setiap kabupaten didirikan sekolah untuk pendidikan anak pribumi dengan pembatasan anggaran sebesar ƒ25.000. Pada tahun 1863, Menteri Jajahan Fransen van de Putte menghapus pembatasan biaya ƒ25.000 bagi pendidikan dan pada 1883 anggaran pendidikan dinaikkan sampai hampir ƒ400.000.
Politik etis Pemerintah Belanda-lah yang menjadi batu loncatan memulai kemajuan sistem pendidikan bagi Indonesia. Pada periode politik etis (1900-1920) sistem pendidikan di Indonesia (masih dijajah) mencapai kelengkapannya. Ada sekolah dasar, MULO dan AMS. Dibukanya jalur pendidikan untuk anak-anak di Indonesia tidak lepas dari tokoh-tokoh Belanda sendiri. Dari tokoh Liberal ada Van Hoevell (anggota Perlemen), Thorbecke (Perdana Menteri) dan Fransen van de Putte (Menteri Jajahan). Di samping itu, ada tokoh politik etis yang benar-benar menjalankan keetisan terhadap Indonesia yang sedang dijajah, yaitu  Van Deventer, Van Kol, Abendanon dan Snouck Hurgronye. Secara keseluruhan bahwa penyelenggaran pendidikan pemerintah Belanda di Indonesia menerapkan prinsip-prinsip: gradualisme, dualisme, kontrol pusat yang ketat, pendidikan untuk menghasilkan pegawai sebagai peranan sekolah,  konkordansi, tidak adanya organisasi pendidikan yang sistematis bagi anak Indonesia.
Pada bab selanjutnya dalam buku ini diulas kondisi sekolah bagi anak Indonesia sebelum reorganisasi pada tahun 1892. Sekolah yang tersedia pada masa ini adalah sekolah rendah dimana tidak ada kurikulum yang sistematis dalam penyelenggaraannya. Pola baku pengajaran yang digunakan mengacu kepada petunjuk kegiatan pembelajaran di sekolah tahun 1871. Kurikulum wajib yang diajarkan meliputi: membaca, menulis, bahasa (bahasa daerah dan melayu) dan berhitung.  Selebihnya guru diberikan kebebasan dalam mengajar seluruh mata pelajaran yang mencakup: geometri, geografi, berhitung, pengetahuan alam, fisika, botani, biologi, pertanian, etnologi dan menggambar. Pada masa ini jumlah guru mengalami keterbatasan, sehingga ada dorongan massif agar masyarakat masuk ke Sekolah Guru (Kweekschool), Sekolah Guru didirikan pertama kali di Solo pada tahun 1852 dan selanjutnya diikuti di daerah—daerah lainnya. Penerimaan dan jumlah murid pada masa ini diulas dengan tiga pendekatan: murid menurut jenis kelamin, penerimaan murid menurut kebangsaan dan penerimaan murid menurut kedudukan sosial. Ketiga pendekatan penerimaan murid tidak lepas dari motif tujuan penyelenggaraan sekolah. Adapun motif tersebut diantaranya adalah sekolah-sekolah pertama di Jawa dimaksudkan untuk mendidik pegawai pemerintah serta juga untuk penyebaran agama Kristen, selain itu juga ada prioritas pendidikan yang diperuntukkan untuk kalangan priyayi.
Pendidikan di Indonesia baru mendapatkan sistem pendidikan yang terstruktur pada tahun 1892 – 1920. Selama 28 tahun anak-anak Indonesia berusaha untuk memperjuangkan sistem pendidikan yang menguntungkan bagi anak-anak Indonesia. Pemerintah Belanda ketika itu menerapkan prinsip dualisme pendidikan. Pendidikan dibedakan untuk anak-anak Belanda dan anak-anak Indonesia, disisi lain juga untuk anak-anak keturunan Cina. Anak-anak Belanda mengenyam pendidikan di ELS (Europese Lagere School) setara tingkat dasar dan dilanjutkan HBS (Hogere Burgerschool) setara tingkat menengah untuk melanjutkan jenjang pendidikan tinggi. Adapun, untuk anak-anak Indonesia yang dapat mengakses ELS hanya segelintir orang golongan priyayi, oleh sebab itu pemerintah membuat pendidikan khusus bagi anak-anak Indonesia. Sekolah Kelas Satu dan Sekolah Kelas Dua. Bagi keturunan priyayi atau pejabat masuk ke Sekolah Kelas Satu, sedangkan rakyat umum di Sekolah Kelas Dua yang biayanya relatif murah. Di dua sekolah tersebut sama-sama mengalami permasalahan dari kaca mata anak-anak Indonesia, sebab setelah mereka lulus nantinya tetap tidak dapat meneruskan ke jenjang pendidikan HBS. Ada momentum yang baik bagi anak-anak Indonesia, ketika Pemerintah Belanda mendirikan HCS (Hollands Chinese School) yang ekuivalen dengan ELS bagi anak-anak Cina. Sehingga masyarakat Indonesia mendesak untuk diberikan hak pendidikan yang sama. Hasilnya adalah Sekolah Kelas Satu bertansformasi menjadi HIS (Hollands Inlandse School) khusus untuk anak-anak Indonesia. Sedangkan pada momentum lain, Sekolah Kelas Dua bertansformasi menjadi Sekolah Desa (Volksschool) dan di tambah Sekolah Lanjutan (Schakeschool).
Melalui momentum-momentum berikutnya, sehingga lahirlah MULO di Bandung dan Yogyakarta tahun 1903. MULO kemudian berkembang menjadi jembatan untuk meneruskan pendidikan setelah dari HIS, dan lulusannya setingkat naik kelas III ke kelas IV di HBS. Setelah MULO kemudian memunculkan momentum selanjutnya untuk melahirkan AMS (Almegene Middelbare School) untuk anak-anak Indonesia setara dengan HBS.  Sistem pendidikan AMS dibuat penjurusan, yaitu: AMS-A mengutamakan sastra dan sejarah, terbagi menjadi AMS-A1 klasik Timur dan AMS-A2 klasik Barat dan AMS-B mengutamakan matematika dan fisika. AMS-B pertama didirikan di Jakarta tahun 1919. AMS-A1 di Solo tahun 1926 dan AMS-A2 di Bandung tahun 1920. Kehadiran AMS menjadi pelengkap bagi hadirnya pondasi sistem pendidikan Indonesia yang lengkap dan terstruktur, sehingga dengan demikian anak-anak Indonesia menjadi mudah untuk dapat meneruskan ke jenjang pendidikan tinggi. Berikut merupakan informasi lama studi yang dicantumkan didalam buku ini:
a)     ELS + HBS = 7 tahun + 5 tahun = 12 tahun
b)    HIS + MULO + AMS = 7 + 4 + 3 = 14 tahun
c)     Sekolah desa + Schakeschool + MULO + AMS = 3 + 5 + 4 + 3 = 15 tahun
Pada puncaknya perjuangan pendidikan di Indonesia untuk anak-anak Indonesia adalah dengan mengusahakan adanya pendidikan tinggi di Indonesia. dengan demikian, pendirian pendidikan tidak sepenuhnya diinisiasi oleh orang-orang Indonesia asli, pendidikan tinggi tersebut dapat direalisasikan pada tahun 1920. Walaupun, pada waktu itu momentum pendirian pendidikan tinggi tidak lepas dari kepentingan dari pemerintah Belanda. Pendidikan tinggi di Indonesia didirikan di Bandung, dengan nama Technische Hogeschool atau Sekolah Tinggi Teknik (sekarang ITB). Orang Indonesia asli yang pertama lulus adalah pada tahun akademik 1925-1926 yang terdiri dari 4 orang dan salah satunya Ir. Soekarno. Namun, tetap saja perjuangan pendidikan tinggi di Indonesia belum selesai pada masa itu. Pasalnya, ketika itu tahun 1930 atau sepuluh tahun setelah berdirinya lembaga pendidikan tinggi pertama, hanya ada 91 mahasiswa Indonesia terdapat pada tiga lembaga pendidikan tinggi yang ada, atau yang menjadi mahasiswa kurang dari 2 orang setiap sejuta penduduk. Selanjutnya pada tahun 1940 jumlah mahasiswa Indonesia hanya 167 orang atau 3 orang per sejuta penduduk. Kalau kita refleksikan dengan keadaan pendidikan tinggi dan minat masyarakat hingga saat ini, tentu perjuangan kemajuan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia masih menjadi pekerjaan besar yang senantiasa ditingkatkan secara terus-menurus.
  
Kelebihan dan Kelemahan
      Buku ini dipaparkan secara deskriptif-eksploratif. Penulis menyajikan data kuantitatif yang rinci, hal ini membuat pembaca buku ini menjadi jelas bagaimana keadaan pendidikan yang sesungguhnya pada masa itu. Kemudian, gaya bahasa yang digunakan oleh penulis dalam menjelaskan cukup mudah dipahami maksud kalimatnya. Sedangkan kelemahan buku ini ada pada periodisasi peristiwa berdasarkan tahun yang kurang terstruktur sehingga menjadikan pembaca perlu membuka kembali halaman atau pembahasan sebelumnya. Sebab buku ini diperiodisasi berdasarkan tingkatan pendidikan dan  sudah spesifik berdasarkan bab per bab. Selain itu, didalam pengeksplorasiannya penulis tidak secara eksplisit menyebutkan tokoh-tokoh dari kalangan Indonesia yang memperjuangkan pendidikan bagi anak-anak Indonesia ketika itu. Hal tersebut mengurangi pemahaman yang komprehensif terhadap potret perjuangan pendidikan di Indonesia.
Analisis penulis
       Dengan membaca buku ini akan mengantarkan kepada sebuah refleksi pendidikan di Indonesia saat ini. Apabila pendidikan saat ini masih dilekatkan dan diorientasikan hanya sebatas untuk menciptakan tenaga kerja (pegawai), maka sama saja pendidikan itu masih bermental terjajah. Karena cikal-bakal pendidikan bangsa Indonesia dalam masa penjajahan untuk kalangan pribumi secara eksplisit adalah menciptakan pegawai yang handal bagi pemerintahan kolonial. Oleh karena demikian, bagi bangsa Indonesia, pendidikan itu sepantasnya dimaksudkan untuk penciptaan manusia yang unggul, yang sejahtera, yang merdeka secara pemikiran. Jadi sebagai calon guru kedepan hendaklah memperlihatkan pendidikan Indonesia dimata dunia dengan mengedepankan Kualitas bagi SDM.

logoblog
Previous
« Prev Post