Oleh: Fatkhur Rozi
REVIEW BUKU: PENDIDIKAN KAUM TERTINDAS
Nama Penggarang :Paulo Freire
Judul :Pendidikan Kaum Tertindas
Tahun Terbit :1985
Terbit :Cetakan Pertama, Februari 1985
Penerbit :PT. Temprint, Jakarta
Distribusi :LP3ES
Halaman :207
Buku Pendidikan Kaum Tertindas ini terdiri dari empat bab. Penjelasan masing-masing bab ini menjelaskan secara rinci bagaimana itu “tertindas” secara maknawi maupun secara mindset. Bab pertama lebih kepada penjelasan umum apa itu penindas dan tertindas. Penindasan dideskripsikan sebagai usaha dehumanisasi kelompok penindas kepada kaum lemah. Proses dehumanisasi ini berjalan sistematis dan terstruktur. Ada kalanya kaum tertindas memiliki keinginan untuk membalas dendam dengan membalikkan keadaan pada kaum penindas. Cara mereka untuk membalikkan keadaan tidaklah salah, namun pada akhirnya yang terjadi adalah penggunaan cara penindasan versi baru. Jadi bukannya menghapuskan keseimbangan antara penindas dan tertindas, malah memperbaharui siklus penindasan tersebut. Situasi ini dapat dihilangkan dengan pemberian pemahaman baru kepada kedua pihak baik penindas maupun tertindas.
Pada bab kedua, Paulo Freire membicarakan tentang proses pendidikan yang dialami oleh “kaum-kaum tertindas” selama ini. Paulo Freire mengatakan, “pendidikan yang dialami oleh “kaum-kaum tertindas” selama ini tak ubahnya seperti pendidikan dengan “sistem bank”. Guru merupakan subyek yang memiliki pengetahuan yang diisikan kepada murid, sedangkan murid hanya sebuah deposit belaka. Sangat jelas sekali pendidikan seperti ini tak ubahnya adalah suatu penindasan terselubung terhadap kreatifitas murid, murid dituntut untuk mengikuti jalan pemikiran guru tanpa diberi kesempatan untuk berpikir kritis dalam memecahkan suatu masalah yang ada. Untuk lepas dari penindasan gaya pendidikan “sistem bank”, Paulo Freire memberikan suatu alternatif baru yaitu dengan suatu metode yang diberinya nama metode “pendidikan hadap masalah”.
Dalam bab ketiga Paulo Freire menjelaskan dengan adanya dialog diharapkan tidak ada lagi keadaan dimana satu orang aktif “menabungkan” gagasannya kepada orang lain, sementara yang lain cuma pasif menerima apa yang diberikan orang lain kepada dirinya. Keberadaan manusia tidak mungkin tanpa kata, juga tidak berlangsung dalam kata-kata palsu, tetapi dengan kata-kata yang benar dengan apa manusia mengubah dunia. Dialog adalah bentuk perjumpaan diantara sesama manusia, dialog menegaskan dirinya sebagai sarana dimana seseorang memperoleh makna dirinya sebagai manusia. Manusia “dialogis” bersifat kritis dan tahu bahwa walaupun dalam diri manusia terdapat kekuatan untuk mencipta dan mengubah, namun dalam sebuah situasi keterasingan yang nyata dia mungkin saja salah dalam menggunakan kemampuan itu.
Pada bab terakhir, Paulo Freire coba membandingkan antara model pendidikan antidialogis dengan model pendidikan dialogis. Model pendidikan antidialogis selalu ditandai dengan usaha menguasai manusia, sedangkan model pendidikan dialogis selalu bersifat kooperatif. Di dalam buku “Pendidikan Kaum Tertindas” ini disebutkan bahwa, teori-teori tindakan antidialogis dikenal istilah-istilah seperti penaklukan, pecah dan kuasai, manipulasi, dan serangan budaya. Sedangkan teori-teori tindakan dialogis dikenal istilah-istilah seperti kerja sama, persatuan untuk pembebasan, organisasi, dan sintesa kebudayaan.
KESIMPULAN
Dari empat bab yang ada dalam buku ”Pendidikan Kaum Tertindas” dapat disimpulkan bahwa pemikiran Freire mengenai pendidikan yang terjadi menurut pengamatannya adalah pendidikan yang menindas, dimana pendidik dalam hal ini guru bertindak layaknya seorang penindas. Murid pun secara sadar menjadikan dirinya sebagai orang yang tertindas. Semua itu tidak lepas dari lingkaran sesat yang awalnya telah dimulai dan agaknya sulit untuk diputus, dimana orang-orang yang dulunya tertindas akan berbalik menjadi penindas, bukannya mengubah kontradiksi yang terjadi, tetapi malah melestarikannya.
Pada bab kedua, Paulo Freire membicarakan tentang proses pendidikan yang dialami oleh “kaum-kaum tertindas” selama ini. Paulo Freire mengatakan, “pendidikan yang dialami oleh “kaum-kaum tertindas” selama ini tak ubahnya seperti pendidikan dengan “sistem bank”. Guru merupakan subyek yang memiliki pengetahuan yang diisikan kepada murid, sedangkan murid hanya sebuah deposit belaka. Sangat jelas sekali pendidikan seperti ini tak ubahnya adalah suatu penindasan terselubung terhadap kreatifitas murid, murid dituntut untuk mengikuti jalan pemikiran guru tanpa diberi kesempatan untuk berpikir kritis dalam memecahkan suatu masalah yang ada. Untuk lepas dari penindasan gaya pendidikan “sistem bank”, Paulo Freire memberikan suatu alternatif baru yaitu dengan suatu metode yang diberinya nama metode “pendidikan hadap masalah”.
Dalam bab ketiga Paulo Freire menjelaskan dengan adanya dialog diharapkan tidak ada lagi keadaan dimana satu orang aktif “menabungkan” gagasannya kepada orang lain, sementara yang lain cuma pasif menerima apa yang diberikan orang lain kepada dirinya. Keberadaan manusia tidak mungkin tanpa kata, juga tidak berlangsung dalam kata-kata palsu, tetapi dengan kata-kata yang benar dengan apa manusia mengubah dunia. Dialog adalah bentuk perjumpaan diantara sesama manusia, dialog menegaskan dirinya sebagai sarana dimana seseorang memperoleh makna dirinya sebagai manusia. Manusia “dialogis” bersifat kritis dan tahu bahwa walaupun dalam diri manusia terdapat kekuatan untuk mencipta dan mengubah, namun dalam sebuah situasi keterasingan yang nyata dia mungkin saja salah dalam menggunakan kemampuan itu.
Pada bab terakhir, Paulo Freire coba membandingkan antara model pendidikan antidialogis dengan model pendidikan dialogis. Model pendidikan antidialogis selalu ditandai dengan usaha menguasai manusia, sedangkan model pendidikan dialogis selalu bersifat kooperatif. Di dalam buku “Pendidikan Kaum Tertindas” ini disebutkan bahwa, teori-teori tindakan antidialogis dikenal istilah-istilah seperti penaklukan, pecah dan kuasai, manipulasi, dan serangan budaya. Sedangkan teori-teori tindakan dialogis dikenal istilah-istilah seperti kerja sama, persatuan untuk pembebasan, organisasi, dan sintesa kebudayaan.
KESIMPULAN
Dari empat bab yang ada dalam buku ”Pendidikan Kaum Tertindas” dapat disimpulkan bahwa pemikiran Freire mengenai pendidikan yang terjadi menurut pengamatannya adalah pendidikan yang menindas, dimana pendidik dalam hal ini guru bertindak layaknya seorang penindas. Murid pun secara sadar menjadikan dirinya sebagai orang yang tertindas. Semua itu tidak lepas dari lingkaran sesat yang awalnya telah dimulai dan agaknya sulit untuk diputus, dimana orang-orang yang dulunya tertindas akan berbalik menjadi penindas, bukannya mengubah kontradiksi yang terjadi, tetapi malah melestarikannya.