Konsep Pendidikan di Masa Abbasiyah


Konsep Pendidikan di Masa Abbasiyah

A.       Sejarah  Dinasti Abbasiyah
1.      Berdirinya dinasti Abbasiyah
            Kesuksesan Abbasiyah meraih kursi kekhalifahan dikarenakan kepiawaian mereka dalam melihat situasi dan kondisi yang ada. Abbasiyah berhasil megumpulkan pendukung dari berbagai kalangan yang mayoritas merasa “tersakiti” oleh kebijakan Umayyah, baik bernuansa keagamaan Syiah atau dari kelompok mawalli (keturunan non Arab) yang merasa ditekan dengan adanya pungutan pajak.[1]
            Demi menjaga stabilitas negara yang baru berdiri ini, al Manshur menjadikan Bagdad sebagai ibu kota negara yang sebelumnya adalah al Hasyimiyah. Dengan demikian, pusat pemerintahan dinasti Abbasiyah berada di tengah-tengah bangsa Persia.[2]
            Tokoh yang berjasa dalam berdirinya dinasti Abbasiyah beserta perannya adalah:[3]
No
Nama
Peran
1
a.       Abbas bin Abdullah
b.      Abdullah bin Abbas
c.       Ali bin Abdullah
d.      Muhammad bin Ali
Pemimpin jaringan oposisi pertama Abbasiyah terhadap Umayyah
2
Ali bin Abdullah
Merekrut kader yang ditugaskan untuk menyebarluaskan gagasan Abbasiyah

3
Muhammad bin Ali
Mencari bantuan untuk melancarkan propaganda anti Umayyah diantaranya dengan Abu Muslim al Khurasani
4
Abu Muslim al Khurasani/Abdurrahman  bin Muslim
Pemimpin pemberontakan anti Umayyah dari Khurasan
5
Ibrahim bin Muhammad
Berhasil menggalang dukungan dari kelomok Syi’ah
6
Abu Abbas (Saudara Ibrahim)
Berhasil menguasai kota Kufah dan dijadikan khalifah Abbasiyah I (750-754)
7
Abu Ja’far (Saudara Ibrahim)
Membantu Abu Abbas dalam menguasai Kufah dan dijadikan khalifah Abbasiyah ke 2 (754-775)

            Proses berdirinya Abbasiyah tidak serta merta berdiri dan memerintah, namun melalui beberapa tahapan perjuangan, yaitu:[4]
a)      Adanya gerakan rahasia (100-129H/718-746M) atau identik dengan nama gerakan bawah tanah. Gerakan ini dimaksudkan untuk menebarkan dan membentuk opini publik tentang keburukan pemerintahan Umayyah.
b)      Adanya gerakan terang-terangan yaitu dengan ditaklukannya Khurasan dan Irak. Gerakan ini di bawah komando Abu Muslim al Khurasani.
2.      Periodesasi dan Model Pemerintahan Dinasti Abbasiyah
a)      Periodesasi pemerintahan dinasti Abbasiyah
   Kompleksitas dan kebesaran pemerintahan Abbasiyah menjadikan beberapa sejarawan mengadakan periodesasi pemerintahannya berdasarkan ciri, pola perubahan struktur pemerintahan dan struktur sosial politik maupun tahap perkembangan peradaban yang dicapai. periodesasi tersebut adalah[5]:



No
Ensiklopedi Tematis
Ahmad Usairy
Badri Yatim
1
Periode Awal (750M-847M)
Periode pertama, sejak tahun 132-247H/749-861 M)
Periode pengaruh Persia pertama (132 H/750 M- 232 H/847 M)
2
Periode Lanjutan (847M-945M)
Periode II, mulai tahun 247-656 H/ 861-1258 M)
Pengaruh Turki pertama (232 H/847 M-334 H/945 M)
3
Periode Buwaihi (945M-1055M)

Pengaruh Persia kedua (334 H/945 M-447 H/1055 M)
4
Periode Saljuk (1055M-1258M)

Pengaruh Turki kedua (447 H/1055 M-590 H/1194 M)



Bebas dari dinasti lain (590 H/1194 M-656 H/1258 M)

b)     Model pemerintahan dinasti Abbasiyah
            Model pemerintahan yang diterapkan oleh Abbasiyah bisa dikatakan asimilasi dari berbagai unsur. Ini terlihat jelas dari adanya periodesasi atau tahapan pemerintahan Abbasiyah yang memiliki karakteristik tersendiri, antaa lain adalah:[6]
1)      Periodesasi awal atau periodesasi pengaruh Persia Pertama (750-847M)
Pada periodesasi ini ada 10 khalifah, yang memiliki ciri pemerintahan Abbasiyah adalah adanya unsur non Arab yang mempengaruhi pemerintahannya seperti Persia dan Turki. Seperti pada awal pemerintahannya cenderung seperti pemerintahan Persia dimana raja mempunyai kekuasaan absolut yang mendapat mandat dari tuhan.


2)      Periode Lanjutan atau Turki Pertama (847M-945M)
Periodesasi ini ada 13 khalifah, masa ini ditandai dengan kebangkitan orang Turki salah satu cirinya adalah orang Turki memegang jabatan penting dalam pemerintahan terbukti dengan dibangunnya kota Samarra oleh Mu’tashim. Sepeninggal al Mutawakkil, para jenderal Turki berhasil mengontrol pemerintahan, sehingga khalifah hanya dijadikan sebagai boneka.
3)      Periode Buwaihi atau pengaruh Persia Kedua (945M-1055M)
Masa ini berjalan lebih dari 1 abad, namun secara de facto kekuasaan khalifah dilucuti dan bermunculan dinasti-dinasti baru. Kemunculan dinasti Buwaihiyah ini, pada awalnya untuk menyelamatkan keselamatan khalifah yang telah jatuh sepenuhnya di bawah kekuasaan para pengawal yang berasal dari Turki.
Dominasi bani  Buwaihiyah berasal dari diangkatnya Ahmad bin Buwaihi oleh Muktafie sebagai jasa mereka menyingkirkan pengawal-pengawal Turki. Pengangkatan ini merupakan senjata makan tuan, dimana Ahmad bin Buwaihi yang diangkat sebagai amir umara’ dengan gelar muiz ad daulah menurunkan khalifah Muktafie.
masa bani Buwaihiyah ini, Abbasiyah menghadapi dua polemik besar, yaitu:
a.       Adanya pemerintahan tandingan
b.      Adanya perang ideology antara Syi’ah dan Sunni
4)      Periode dinasti Saljukiyah atau pengaruh Turki kedua (1055M-1194M)
Masa ini berawal ketika Saljuk mengontrol kekuasaan Abbasiyah dengan mengalahkan bani Buwaihiyah dan berakhir dengan serbuan mongol.[7] Oleh karena itu, saat itu khalifah-khalifah Abbasiyah hanya memiliki wewenang dalam bidang keagamaan saja, sedangkan bidang lainnya di bawah dominasi Turki dengan penguasa berikut ini:

No
Nama
Tahun berkuasa
Lamanya
Uraian
1
Thugrul Bek
1058-1063 M
5 th
Memulihkan stabilitas politik setelah perebutan kekuasaan dengan jenderal Arselkan Baseiri
2
Alp Arselan
1063-1072
10 th
Saudara Thugrul Bek dan terkenal bijaksana, serta mempunyai perdana menteri Nidzamul Mulk yang mendirikan Universitas Nidzamiyah
3
Maliksyah
1072-1092M
20 th
Putra Alp Arselan dengan perdana mentri Nidzamul Mulk kekuasaanya meliputi Arabia, Persi, Afghanisyan dan seluruh India
4
Barkiyaruq
1092-1117M
26 th
Putra tertua Maliksyah dai istri yang lain dan terjadi bentrokan dengan ibu tirinya Khatun Turkeman tebtang pengganti Maliksyah san saudaranya Mahmud
5
Mahmud bin Muhammad
1117-1119M
2 th
Keponakan Barkiyatuq, anak dari Muhammad saudara Barkiyaruq, terjadi perebutan Tajul Mulk dan Muhammad, paman sultan Mamud
6
Sanggar
1119-1131M
13 th
Penguasa dari Isfahan
7
Thugrul II
1131-1134M
3 th

8
Mas’ud bin Muhammad
1134-1154M
23 th

Total
102 th


5)      Bebas dari pengaruh lain (1194-1258)
Setelah berakhirnya Masud bin Muhammad, bani Abbasiyah dikacau lagi dengan adanya kaum Khuarzamansyah dari Turki yang dulunya menjadi pembantu Saljuk yang kemudian menamakan diri dengan Atabeg.  Keadaan ini memaksa khalifah Nashir (khalifah ke-34) untuk mencari dukungan dari luar, dari bangsa Tartar Mongol untuk menghancurkan lawan politiknya dan inilah menjadi  kesalahan terbesar Abbasiyah, karena disamping mengahncurkan Khuarzamansyah bangsa Tartar juga memusnahkan Baghdad dan kota Islam lainnya sehingga sampai masa Hulagu khan cucu Jengis Khan Abbasiyah sudah habis riwayat.




3.      Profil Khalifah
         Khalifah yang memerintah masa dinasti Abbasiyah ada 37 khalifah. Adapun khalifah-khalifah tersebut adalah:[8]
No
Nama
Mulai
Berakhir
Lama
Umur
Periode
1
Abu'l Abbas As-Saffah
132H/750 M
136H/754M
4 th
33 th

Periode I
2
Al Mansur
136H/754M
158H/775M
22 th
63 th
3
Al Mahdi
158H/775M
169H/785M
10 th
43 th
4
Al Hadi
169H/785M
170H/786M
1 th
3 bln
62 th
5
Harun Al Rasyid
170H/786M
193H/809M
23 th
2 bln
47 th
6
Al Amin
193H/809M
198H/813M
4 th
8 bln
28 th
7
Al Ma'mun
198H/813M
218H/833M
20 th
48 th
8
Al Mu'tasim
218H/833M
227H/842M
8 th
8 bln
38 th
9
Al Wasiq
227H/842M
232H/847M
5 th
9 bln
32 th
10
Al Mutawakkil
232H/847M
247H/861M
14 th
9 bln
40 th
Periode II
11
Al Muntasir
247H/861M
248H/862M
6 bln
26 th
12
Al Musta'in
248H/862M
252H/866M
3 th
9 bln
31 th
13
Al Mu'tazz
252H/866M
255H/868M
3 th
7 bln
24 th
14
Al Muhtadi bin el Watsiq
255H/868M
256H/869M
11 bln
38 th
15
Al Mu'tamid bin Mutawakkil
256H/869M
279H/892M
23 th
6 bln
50 th
16
Al Mu'tahdid bin al Muwaffaq
279H/892M
289H/902M
9 th
9 bln
47 th
17
Al Muktafi bin Mu'tahdid
289H/902M
295H/908M
6 th
9 bln
33 th
18
Al Muqtadir bin Mu'tahdid
295H/908M
320H/938M
25 th
38 th
19
Al Qahir bin Mu'tahdid
320H/938M
322H/934M
1 th
5 bln
35 th
20
Ar Radhie bin Muqtadir
322H/934M
329H/940M
6 th
32 th
21
Al Muttaqie bin Muqtadir
329H/940M
333H/944M
4 th
60 th
22
Al Mustahkfie bin Muktafie
333H/944M
334H/945M
1 th
4 bln
42 th
23
Al Mu’thie bin Muqtadir
334H/945M
363H/973M
29 th
5 bln
63 th
Periode Buwaihiyah/Persi Ke2
24
At-Tai bin al Muthie
363H/973M
381H/991M
17 th
8 bln
76 th
25
Al-Qadir bin Ishaq
381H/991M
422H/1031M
41 th
1 bln
86 th
26
Al Qa'im bin Qadir
422H/1031M
467H/1074M
 76 th
76 th
27
Al Muqtadi bin Muhammad
467H/1074M
487H/1094M
19 th
8 bln
38 th
Periode Saljuqiyah/Turki ke-2
28
Mustadhir bin Muqtadie
487H/1094M
512H/1118M
25 th
41 th
29
Mustarsyid bin Mustadhir
512H/1118M
529H/1134M
17 th
7 bln
43 th
30
Muqtafie bin Mustadhir
529H/1134M
530H/1135M
11 bln
40 th
31
Ar Rashid bin Mustarsyid
530H/1135M
555H/1160M
24 th
66 th
32
Al Mustanjid
555H/1160M
556H/1170M
11 th
48 th
33
Al Mustadie bin Mustanjid
556H/1170M
575H/1179M
9 th
39 th
34
An Nashir bin Mustadie
575H/1179M
622H/1225M
46 th
11 bln
70 th
35
Az Zahir bin Nashir
622H/1225M
623H/1226M
9 bln
53 th
36
Al Mustanshir bin Zahir
623H/1226M
641H/1243M
18 th
52 th
37
Al Muta'sim bin Mustanshir
641H/1243M
656H/1257M
16 th
50 th
        
4.      Faktor Kemunduran Dinasti Abbasiyah
         Faktor kemunduran dapat dilihat dari dua aspek yaitu aspek internal dan eksternal.
Aspek internal antara lain:[9]
a)      Roda pemerintahan dijalankan dengan sistem keluarga.
b)      Tidak menerapkan syari’ah, dalam artian mereka tidak lagi mengindahkan syari’at tentang kehidupan berfoya-foya dan lainnya.
c)      Adanya sistem komunikasi yang buruk sehingga tidak mampu mencakup wilayah yang luas.
d)     Administrasi keuangan yang kacau balau dikarenakan amanat baitul mal disepelekan.
e)      Faktor politis sebagai akibat dari banyaknya aliran dalam Islam seperti bani Hasyim dan lainnya. Dengan kata lain munculnya ashabiyah.
f)       Faktor agama berkaitan dengan posisi agama dan negara atau adanya pertentangan antara akal dan wahyu yang itu semua terkejawantahkan dengan munculnya aliran keagamaan juga.[10]
Adapun faktor eksternal adalah:
a)      Semakin lemahnya tenaga pembela yang mengawal dan mempertahankannya.
b)      Persaingan dan perebutan yang tidak berhenti antara Abbasiyah dengan Alawiyah.
c)      Jatuhnya nilai-nilai amanah dalam segala bentuknya.


B.        Konsep Pendidikan Islam Pada Masa Bani Abbasiyah
1.      Dinamika Intelektual
            Perkembangan intelektual masa Abbasiyah terlihat jelas dengan terbentuknya jaringan keilmuan yang kuat terutama yang berhubungan dengan 2 sumber agama yaitu al Qur’an dan al Hadist, dan semuanya itu tidak luput dari adanya gesekan dengan peradaban lainnya seperti Yunani, India dan Mesir. Dinamika intelektual setidaknya dapat dipahami dari periodesasi pemerintahan abbasiyah sehingga akan terlihat jelas kontinuitas keintelektualannya. Sehingga meskipun intensitas politiknya sangat tinggi, namun kajian-kajian ilmiah tetap stabil.
            Adapun tokoh-tokoh intelektual yang bermunculan pada masa Bani Abbasiyah diantaranya adalah:[11]
No
Bidang
tokoh
keterangan
1
sejarah
al Mas’udi

2
Filsafat
a.       al Kindi
b.      ar Razi
c.       al Farabi
d.      Ibnu Sina
e.       Ibu Rusyd

3
Kedokteran
a.       Ibnu Sina
b.      Ikhwanus Shafa’
c.       Muhammad bin Zakaria ar Razi
d.      Ali bin Abbas al Majusi

4
Sastra
a.    Mutanabii
b.   Abul A’la
c.    Shabi
d.   Ahahib Ibnu Ubbad
e.    Badi’uz zaman
f.    Ibnul Amied

5
Hukum dan politik
Imam mawardi
penulis al Ahkam al Sulthaniyah
6
Tafsir
a.    At Tabari
b.   Az Zamakhsari

7
Hadist
a.    Bukhari
b.   Muslim

8
Sastra dan Sejarah
a.    Muhammad bin Ishaq
b.   Ibn Hisyam
c.    Ibn Sa’ad
d.   Abu Raihan al Biruni

9
Tasawuf
a.    Qusyairi
b.   Al Ghazali
c.    Syahabudin
d.   Dzun Nun al Misri

10
Fiqh
a.    Abu Hanifah
b.   Malik bin Anas
c.    Syafii
d.   Ahmad bin Hambal

11
Sains
a.    al Khawarizmi
b.   al Farazi
c.    al Haytami
d.   Jabir bin Hayyan
ahli matematika
ahli astronomi
ali optic
ahli kimia
12
Teologi
a.    Abu Huzail al Allaf  dan Al Nazzam
b.   Abu musa al As’ari
Mu’tazilah
Asy’ariyah

            Adanya tokoh-tokoh intelektual di atas secara tidak langsung membuktikan adanya dinamika intelektual yang terjadi masa itu yang sekaligus menjadi bukti kongkret adanya kemajuan Islam yang identik dengan The Golden Age nya.
2.      Konsep Pendidikan Islam Pada Masa Abbasiyah
a)      Tujuan pendidikan
           Pada masa nabi Muhammad SAW, masa khalifah rasyidin dan Muawiyah, tujuan pendidikan hanya satu, yaitu keagamaan semata-mata. Mengajar dan belajar karena Allah serta mengharapkan keridhaannya.
           Sedangkan pada masa Abbasiyah tujuan pendidikan itu telah bermacam-macam karena pengaruh masyarakat pada masa itu. Adapun tujuan itu dapat disimpulkan sebagai berikut:[12]
1)   Tujuan keagamaan dan akhlak
2)   Tujuan kemasyarakatan
3)   Cinta akan ilmu pengetahuan
4)   Tujuan kebendaan
           Keterangan ini, sebagaimana seorang ulama An namiry al Quthubi yang hidup di tahun 463 H menyatakan bahwa tuntutlah ilmu, karena ilmu itu menjadi penolong dalam agama, menajamkan otak, teman ketika sendirian, berfaedah dalam majlis-majlis dan menarik harta benda.[13]
b)     Materi pendidikan
           Sebelum membahas materi pendidikan, perlu diketahui bahwa tingkat pengajaran kepada peserta didik tergantung tingkatanya, yaitu:
1)   Tinkat sekolah rendah (kuttab), tempat belajarnya di kuttab, rumah, istana, toko-toko dan di pinggir-pinggir pasar.
2)   Tingkat sekolah menengah, tempat belajarnya di masjid, majelis sastra dan ilmu pengetahuan.
3)   Tingka perguruan tinggi, tempat belajarnya di Baitul Hikmah dan Darul ilmu di Mesir, masjid dll.[14]
           Untuk peserta didik tingkat rendah disediakan materi ijbari dan materi ikhtiari. Adapun materi ijbari adalah: al Qur’an, shalat, doa, sedikit ilmu nahwu dan bahasa Arab, membaca dan menulis. Sedangkan materi yang Ikhtiari adalah: berhitung, semua ilmu nahwu dan bahasa Arab, syair-syair dan tarikh Arab.[15]
           Sedangkan untuk anak-anak amir dan penguasa, materi tingkat rendah sedikit berbeda. Di istana-istana biasanya ditegaskan pentingnya pengajaran khitabah, ilmu sejarah, cerita perang, cara-cara pergaulan, disamping ilmu-ilmu pokok seperti Qur’an, syair dan fiqh.[16]
  Pada masa ini, tidak ada ketentuan pasti tentang batasan umur bagi seseorang yang belajar di kuttab. Para murid yang memasuki lembaga pendidikan dasar ini bervariasi. Ada murid yang mulai memasuki kuttab berumur lima tahun ada pula yang tujuh tahun bahkan ada yang sepuluh tahun. Nampaknya hal ini karena kesiapan peserta didik, baik fisik, mental ataupun dari segi ekonomi.[17]
           Setelah usai menempuh pendidikan tingkat rendah, murid bebas memilih bidang studi yang ingin ia dalami di tingkat selanjutnya, umumnya rencana pengajaran itu adalah: al Quran, bahasa Arab dan kesusasteraannya, Fiqh, Tafsir, Hadist, Nahwu/saraf/Balaghah, ilmu-ilmu pasti, Mantiq, Falak, Tarikh, ilmu-ilmu alam, kedokteran dan musik.[18]
           Disamping itu semua, ada mata pelajaran yang bersifat kejuruan, misalnya untuk menjadi juru tulis di kantor-kanntor. Selain dari belajar bahasa, murid disini harus belajar surat menyurat, pidato, diskusi, berdebat, serta tulisan indah.[19]
           Selanjutnya pada tingkat tinggi untuk materi pelajarannya tidak sama diseluruh negara Islam. Umumnya perguruan tinggi terdiri dari dua jurusan, yaitu:
1)   Jurusan ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab serta kesusteraanya (ilmu naqliyah). Materinya adalah tafsir al Quran, hadist, fiqh dan usul fiqh, nahwu/saraf, balagah, bahasa Arab dan kesusteraanya.
Saat itu belum ada spesialisasi dalam satu materi pelajaran seperti sekarang ini, spesialisasi itu lahir kemudian sesudah para peserta didik selesai dari perguruan tinggi.
2)   Jurusan ilmu-ilmu hikmah (ilmu-ilmu aqliah). Materinya adalah: mantik, ilmu-ilmu alam dan kimia, musik, ilmu-ilmu pasti, ilmu ukur, falak, ilahiyah, ilmu hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan, kedokteran.[20]
c)      Pendidik
            Dilihat dari segi sosial ataupun penghasilan, pendidik dapat digolongkan menjadi 3 bagian, yaitu:
1)      Para muallim kuttab
Guru model ini memiliki status sosial yang rendah karena kualitas keilmuan mereka yang dangkal dan kurang berbobot.
2)      Para muaddib
Guru ini mempunyai status social yang tinggi, karena syarat untuk menjadi muaddib sangat sulit, diantaranya: alim, berakhlak mulia dan dikenal masyarakat.
3)      Para guru yang memberikan pelajaran di masjid-masjid dan disekolah-sekolah.
Guru ini beruntung karena mendapat penghormatan dari masyarakat karena penguasaan ilmu pengetahuan yang mendalam[21]
d)     Peserta didik
Peserta didik pada masa keemasan Islam mendapatkan pelayanan dan perhatian yang sungguh-sungguh dari ulama, hartawan dan pemerintah. Pemerintah member keluasan dalam belajar. Mereka tidak diperkenankan untuk membedakan tingkat social dalam proses pendidikan. Mereka harus berkumpul dalam tempat yang sama dan memperoleh pendidikan yang sama pula.[22]
Murid yang telah menamatkan tingkat dasar ini bisa langsung masuk ke sekolah tinggi tanpa masuk ke sekolah menengah. Bahkan kadang-kadang ada yang masuk sekolah tinggi sebelum menamatkan sekolah dasar. Dan murid bebas memilih guru yang mereka anggap paling baik, mereka bebas pindah dari satu guru ke guru lain.[23]
Karena bebas memilih guru dan berganti-ganti, peserta didik di zaman tersebut biasanya membuat mu’jam al-Masyakha yang mengajar. Dafar ini sebagai bukti bahwa mereka telah belajar kepada guru-guru yang terkenal, karena murid zaman dulu tidak puas berguru pada satu guru selain itu juga untuk mengetahui kualitas hadist yang mereka terima.
e)      Metode pengajaran
           Pada masa dinasti Abbasiyah metode pendidikan yang digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu:[24]
1)      Metode lisan (dikte, ceramah, qiraah dan diskusi)
Metode dikte adalah metode penyampaian pengetahuan yang dianggap baik dan aman karena dengan dikte ini murid mempunyai catatan yang akan dapat membantunya ketika ia lupa. Metode ini dianggap penting, karena pada masa klasik buku-buku cetak seperti masa sekarang sulit dimiliki.
Metode ceramah adalah guru menjelaskan dan murid mendengarkan.
Metode qiraah  biasanya digunakan untuk belajar membaca sedangkan diskusi merupakan metode yang khas pada masa ini.
2)      Metode menghafal (ciri umum pendidikan pada masa ini)
Murid-murd harus membaca secara berulang-ulang pelajarannya sehingga pelajaran tersebut melekat pada benak mereka.
3)      Metode tulisan (pengkopian karya ulama)
Metode tulisan adalah pengkopian karya-karya ulama. Dalam pengkopian buku-buku terjadi proses intelektualisasi hingga tingkat penguasaan ilmu murid semakin meningkat.

f)       Rihlah ilmiyah
Yaitu suatu pengembaraan atau perjalanan jauh untuk mencari ilmu. Dengan adanya rihlah ilmia pendidikan Islam pada masa itu tidak hanya dibatasi dengan dinding kelas (school without wall). Sistem ini mempunyai pengaruh yaitu pertukaran pemikiran sehingga dinamika sosial dan peradaban Islam terus berkembang.[25]
g)      Sumber pembiayaan
           Pada masa bani Abbasiyah, sumber pembiayaan pendidikan antara lain:
1) Subsidi pemerintah
Para penguasa dan pimpinan muslim memiliki perhatian yang besar terhadap ilmu pengetahuan sejak masa khulafaur rasyidin. Mereka mendirikan dan menghidupi berbagai sarana penunjang ilmu pengetahuan dan pendidikan, termasuk lembaga-lembaganya.
Masjid jami’[26] yang banyak bermuncluan di masa disnati Abbasiyah dibiayi keberadaan dan operasionalnya oleh pemerintah sepenuhnya.[27]
Selain itu, madrasah-madrasah yang brdiri pada masa Turki Saljuk dilembagakan di bawah pengawasan dan bantuan negara.  Diantaranya, memberikan beasiswa murid pensiun dan ransum kepada murid yang patut menerimanya.[28]
2) Wakaf
Lembaga wakaf menjadi sumber pembiayaan kegiatan pendidikan  saat itu. Sistem wakaf dalam Islam disebabkan oleh system ekonomi Islam, yang menganggap bahwa ekonomi berhubungan erat dengan akidah dan syariat Islam, serta adanya keseimbangan antara ekonomi dan kemaslahatan masyarakat.
Dengan dipelopori oleh penguasa Islam yang cinta ilmu, seperti Harun ar Rasyid dan al Ma’mun, berdirilah lembaga-lembaga pendidikan keilmuan, seperti kegiatan penerjemahan, yang di zaman al Ma’mun kegiatannya lebih sempurna sehingga berdirilah Baitul Hikmah. Pada perkembangan selanjutnya, kebutuhan untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan maka lahirlah ide tentang perlunya lembaga wakaf yang akan menjadi sumber keuangan.[29]
Menurut Syalabi, bahwa khalifah al Ma’mun adalah orang yang pertama kali mengemukakan pendapat tentang pembentukan badan wakaf. Ia berpendapat bahwa kelangsungan kegiatan keilmuan tidak tergantung pada subsidi Negara dan kedermawanan penguasa-penguasa, tetapi juga membutuhkan kesadaran masyarakat untuk bersama-sama Negara menanggung biaya pelaksanaan pendidikan.[30]
3) Orang tua
Biaya pendidikan yang bersumber dari orang tua ini bervariasi dan sangat fleksibel tergantung pada kondisi financial orang tua murid. Biaya ini juga merefleksikan kemajuan murid. Sebab, di samping biaya pendaftran biaya tambahan akan diambil ketika murid telah menyelesaikan suatu paket tertentu dari pelajaran, ditambah sumbangan-sumbangan nonfinansial, seperti bahan pangan dan sandang sesuai keadaan keluarga murid.[31]
Biaya pendidikan agama tidak pernah diadakan, kecuali sedikit jika materi pelajaran ditambah dengan pendidikan nonkeagamaan, seperti tata bahasa dan menulis. Hal ini didasarkan pada anggapan penyebaran misi ilahi harus dilakukan dengan ikhlas.[32]
4) Murid
Seorang ilmuwan yang mengajar di masjid, madrasah atau lembaga pendidikan lainnya diperbolehkan memungut biaya dari muridnya, biasanya jumlah disepakati antara murid dan guru.
para penuntut ilmu yang barasal dari keluarga tidak mampu atau belajar atas inisiatif sendiri sering bekerja di tengah-tengah masyarakat untuk membiayai pendidikannya. Ada juga pelajar yng tidak tetap[33] yang terdiri dari para pekerja.[34]
5) Sumber lain
Pandangan bahwa ilmu agama, terutama al Quran harus diajarkan kepada orang lain sebagai bentuk ibadah mendorong para pengajarnya tidak meminta dan menerima bantuan financial dari siapapun. Mereka berusaha untuk membiayai kegiatan pendidikan dan kehidupannya hanya dari hasil keringat sendiri di luar pekerjaan mengajar.[35]
Selain para pengajar juga ada dari kesadaran para hartawan dan dermawan untuk membiayai pendidikan, seperti misalnya meeka membangun kuttab lalu menggaji para guru-gurunya dengan uang mereka sendiri.[36]
h)     Berkembangnya lembaga-lembaga Pendidikan Islam
           Sebelum timbulnya sekolah dan universitas yang kemudian dikenal sebagai lembaga pendidikan formal, dalam Islam sebenarnya telah berkembang lembaga-lembaga pendidikan yang bersifat non formal. Diantara lain:
1)   Kuttab
Kuttab adalah tempat memberi pelajaran dasar pada anak-anak, menurut Muniruddin Ahmed semua tempat-tempat belajar untuk anak-anak disebut kuttab.[37] Ahmad Salabi menjelaskan kuttab dibagi menjadi 2:
a.       Kuttab untuk belajar menulis dan membaca
b.      Kuttab untuk belajar al Quran dan pokok-pokok agama Islam.[38]
2)   Pendidikan rendah istana-istana
Pendidikan permulaan diistana para khalifah dan pembesar, dimana putera-putera mereka mereka mendapat pendidikan, hal ini untuk menyiapkan mereka agar dapat melaksanakan pekerjaan-pekerjaan berat yang akan dipikulkan keatas pundaknya dimasa depan.
Pendidikan yang semacam ini lebih luas dari pada pendidikan di kuttab, disini ada andil orang tua untuk menentukan mata pelajaran yang akan diajarkan.[39]
3)   Kedai-kedai saudagar kitab
Kedai-kedai ini awalnya dibuka untuk urusan perniagaan, namun pada akhirnya kedai ini dikunjungi para cendekiawan dan ahli-ahli sastra, dan mereka menjadikanya sebagai tempat untuk mengadakan diskusi dan sidang-sidang pembahasan keilmuwan.
Model yang seperti ini sudah lahir sejak awalnya kerajaan bani Abbas, kemudian tersiarlah dengan amat pesatnya diseluruh ibukota dan berbagai negara Islam.[40]  

4)   Rumah-rumah para ulama
Walaupun sebenarnya, rumah bukanlah merupakan tempat yang baik untuk tempat memberikan pelajaran namun pada zaman kejayaan perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam, banyak juga rumah-rumah para ulama dan para ahli ilmu pengetahuan menjadi tempat belajar dan pengembangan  ilmu pengetahuan. Hal ini pada umumnya disebabkan karena ulama dan ahli yang bersangkutan yang tidak mungkin memberikan pelajaran di masjid, sedangkan pelajar banyak yang berminat untuk mempelajari ilmu pengetahuan daripadanya.
Diantara rumah ulama terkenal yang menjadi tempat belajar adalah rumah Ibnu Sina, al Ghazali, Ali Ibnu Muhammad al Fasihi, Ya’qub Ibnu Killis dan lain-lainnya.[41]
5)   Salon-salon kesusasteraan
Salon kesusasteraan adalah suatu majlis khusu yang diadakan oleh khalifah untuk membahas berbagai ilmu pengetahuan. Majlis ini bermula sejak zaman Khulafa al Rasyidin, yang biasanya memberikan fatwa dan musyawarah serta diskusi dengan para sahabat untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi pada masa itu. Tempat pertemuan pertama saat itu adalah di masjid. Setelah masa bani Umayyah tempat majlis dipindahkan ke istana-istana, dan orang yang berhak menghadirinya hanyalah orang-orang tertentu yang diundang oleh khalifah.[42]
6)   Rumah sakit
Dalam rangka menyebarkan kesejahteraan di kalangan umat Islam, maka banyak didirikan rumah-rumah sakit oleh khalifah dan pembesar-pembesar Negara. Rumah-rumah sakit tersebut, bukan hanya berfungsi sebagai tempat merawat dan mengobati orang-orang sakit, tetapi juga mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan dengan perawatan dan pengobatan. Mereka mengadakan berbagai penelitian dan percobaan dalam bidang kedokteran dan obat-obatan, sehingga berkembang ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu farmasi.
Rumah sakit itu juga merupakan tempat praktikum dari sekolah kedokteran yang didirikan di luar rumah sakit, tetapi tidak jarang pula sekolah-sekolah kedokteran tersebut didirikan tidak terpisah dari rumah sakit. Dengan demikian, rumah sakit dalam dunia Islam juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan.[43]
7)   Perpustakaan
Para ulama dan sarjana dari berbagai macam keahlian, pada umumnya menulis buku-buku dalam bidangnya masing-masing dan selanjutnya untuk diajarkan atau disampaikan kepada para penuntut ilmu. Bahkan para ulama dan sarjana tersebut memberikan kesempatan kepada para penuntut ilmu untuk belajar di perpustakaan pribadi mereka.
Di samping itu berkembang pula perpustakaan-perpustakaan yang sifatnya umum, yang diselenggarakan oleh pemerintah atau merupakan watak dari para ulama dan sarjana. Baitul Hikmah di Baghdad yang didirikan oleh khalifah Harun ar Rasyid, merupakan salah satu contoh dari perpustakaan Islam yang lengkap, yang berisi ilmu-ilmu agama Islam dan bahasa Arab, bermacam-macam ilmu pengetahuan yang telah berkembang pada masa itu, dan berbagai buku-buku terjemahan dari bahasa Yunani, Persia, India, Qibty dan Aramy.
Perpustakaan- Perpustakaan dalam dunia Islam pada masa jayanya, dikatakan sudah menjadi aspek budaya yang penting, sekaligus sebagai tempat belajar dan sumber pengembangan ilmu pengetahuan.[44]
8)   Padang pasir
Diwaktu bahasa Arab telah rusak di kota-kota, akibat dari pergaulan bahasa Arab dengan bangsa-bangsa lain, tetaplah bahasa Arab itu berada dalam kemurniannya di gurun-gurun pasir, kerena gurun-gurun pasir ini terhindar dari bangsa-bangsa asing, dan dari orang-orang yang telah rusak bahasanya.[45]
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa padang pasir negeri Arab di abad I, II dan III H adalah merupakan sekolah-sekolah dizaman sekarang. Sehubungan dengan ini menurut Hitti yang dikutib dari Ahmad Salabi, “padang pasir Suriah merupakan sekolah bagi pangeran-pangeran bani Umayyah.”
Putera-putera yang dikirim ke padang pasir ini, tidak hanya putera dari para chalifah bani Umayyah tapi juga dari chalifah bani Abbasiyah, seperti Mutawakkil putera Harun al Rasyid pernah dikirim ke padang pasir untuk mempelajari bahasa yang murni, fasih dan menanamkan cita rasa dalam seni syair dan kesusteraan. [46]
9)   Masjid
Masjid merupakan lembaga pendidikan sejak zaman nabi Muhammad, ia berfungsi sebagai tempat ibadah, pendidikan, pengadilan dan sebagainya.
Pada masa bani Abbas dan masa perkembangan kebudayaan Islam, masjid-masjid yang didirikan oleh penguasa pada umumnya dilengkapi fasilitas untuk pendidikan, yaitu tempat-tempat untuk pendidikan dari ulama-ulama yang merupakan kelompok-kelompok (khalaqah), ruang diskusi dan munazarah serta perpustakaan.[47]
Tahap perkembangan masjid sebagai lembaga pendidikan, yaitu:
1.      Tahap masjid
Ini berlangsung terutama pada abad kedelapan dan kesembilan masehi, masjid yang dimaksudkan sebagai tempat pendidikan adalah masjid biasa (masjid college) yang di samping untuk tempat jama’ah dan shalat, juga untuk majlis taklim. Para penguasa Baghdad seperti Adud Daulah (965), al Sahib Abbas (955) dan Di’il al Sijistani (965) merupakan pelopor yang mendukung perkembangan masjid untuk pendidikan ini.[48]
2.      Tahap masjid Khan
Yaitu masjid yang dilengkapi dengan bangunan Khan (asrama dan pondokan) yang masih bergandengan dengan masjid. Masjid Khan memberikan tempat penginapan yang cukup representative bagi pelajar datang dari berbagai kota. Tahap ini mencapai perkembangan yang sangat pesat pada abad ke-10.
Dikutib dari Dr. H. Maksum yang di ambil dari bukunya Dr. Armai Arif, pada masa awal pemerintahan Badr Hasmawaih al Kindi (1015) yang menjadi gubernur di beberapa wilayah di bawah kekuasaan asus al Daulah mendirikan sekitar 3.000 masjid Khan.[49]

C.         Relevansi Pendidikan Islam Pada Masa Dinasti Abbasiyah Di Zaman Sekarang
               Beberapa konsep pendidikan saat ini secara tidak langsung mengadopsi konsep pendidikan pada masa dinasti Abbasiyah, seperti implementasi dalam model pendidikan multicutrual, home schooling, model pembelajaran diskusi atau batsul masail (majlis tarjih) dalam penyelesaian masalah. Dari beberapa implementasi tersebut bisa dikatakan masih relevan untuk di implementasikan pada pendidikan Islam di zaman sekarang.
               Misalnya konsep pendidikan multicultural yang diterapkan oleh Khalifah al Ma’mun yaitu: nilai-nilai kebebasan berekspresi, keterbukaan, toleransi dan kesetaraan dapat dijumpai pada proses pengumpulan manuskrip-manuskrip dan penerjemahan buku-buku sains dan Yunani untuk melengkapi institusi pendidikan Bayt al Hikmah, perbedaan etnik kultural dan agama bukan halangan dalam melakukan penerjemahan.
               Sebagaimana dikatakan Azyumardi Azra bahwa pendidikan multicultural mencakup tentang subjek-subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan, dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang social budaya, ekonomi, pendidikan dan lain-lain. Sehingga kurikulum pendidikan multicultural mencakup subjek toleransi, tema-tema tentang perbedaan etnik cultural, agama, bahaya deskriminasi, HAM, demokrasi, pluralitas dan kemanusiaan universal.[50]
               Konsep pendidikan multicultural telah dikenal sejak zaman al Ma’mun baik pada institusi pendidikan islam Bayt al Hikmah, masjid, halaqah, kuttab dan lain-lain, yang nyatanya nilai-nilai pendidikan multicultural mulai dikembangkan dalam proses pendidikan oleh beberapa lembaga pendidikan Islam di Indonesia.
               Selanjutnya home schooling, yang merupakan jenis pendidikan informal memberikan solusi bagi para peserta didik yang secara intensif tidak bias mengikuti pendidikan formal. Model home schooling yang dilakukan oleh beberapa anak di Indonesia ini adalah hasil adopsi dari Amerika. Padahal, jika kembali ke kolom sejarah home schooling sudah ada sejak zaman bani Abbasiyah. Bedanya, home schooling pada zaman Abbasiyah hanya berlaku untuk anak para khalifah dan penguasa sedangkan home schooling di Indonesia bebas untuk siapapun yang menghendaki.

PENUTUP
A.    Kesimpulan
           Dari semua deskripsi yang dituliskan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Masa dinasti Abbasiyah berdiri selama kurang lebih 5 abad, dengan para khalifah yang cinta kepada ilmu pengetahuan sehingga mengantarkan pendidikan Islam ke masa puncak kejayaan ilmu pengetahuan. Sehingga menjadi kiblat ilmu pengetahuan bagi negara lainnya.
           Adapun pola pendidikan yang dijalankan saat itu benar-benar tidak lepas dari perhatian negara terhadap ilmu pengetahuan dan masyarakat, sehingga semua komponen dan kebijakan pendidikan saat itu di desain pro rakyat.
           Mulai pembiayaan yang bersumber dari negara, wakaf, orang tua, murid dan perorangan. Pendidik yang harus memiliki syarat alim dan berakhlak mulia, peserta didik yang memiliki kesiapan lahir dan batin sampai kepada metode pendidikan yang dikembangkan saat itu yaitu lisan, menghafal dan tulisan.
           Lembaga-lembaga pendidikan terus berbenah menjadi lebih baik, dari beberapa lembaga pendidikan yang telah dituliskan di atas yaitu: kuttab, pendidikan rendah di istana, kedai-kedai saudagar kitab, rumah ulama’, salon kesusteraan, rumah sakit, perpustakaan, padang pasir dan masjid, hanya kedai saudagar kitab yang baru muncul pada permulaan bani Abbasiyah. Untuk lembaga pendidikan yang lainya, merupakan warisan ide dari pemerintahan dinasti Umayyah, sehingga pemerintahan Abbasiyah tinggal melanjutkan atau merenovasi.
           Dari beberapa keterangan di atas, hemat penulis terdapat relevansi antara konsep pendidikan Islam pada masa bani Abbasiyah dengan pendidikan Islam pada masa sekarang, seperti model pendidikan multicultural, home schooling dan lain-lain.

B.     Saran
            Dinasti Abbasiyah memiliki sejarah yang sangat panjang dibanding dengan dinasti yang lain. Oleh karena itu, tulisan di atas masih sangat jauh dari kesempurnaan karena belum sepenuhnya mencakup point-point tentang peradaban masa itu khususnya pola pendidikan, baik deskripsi atau analisis terhadap pendidikan di era modern.
             Berkembangnya ilmu pengetahuan dan peradaban yang menjadi tonggak puncak peradaban Islam zaman keemasan dalam Islam di sebabkan karena institusi pendidikan Islam yang ada telah menerapkan konsep pendidikan berbasil multicultural. Tentunya tidak hanya itu, masih banyak lagi yang perlu diteliti dari masa kejayaan tersebut sehingga perkembangan pendidikan Islam terutama di Indonesia bisa menjadi kiblat dari pendidikan Islam di seluruh dunia.


DAFTAR PUSTAKA

Arief, Armai. 2004. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Klasik. Bandung: Angkasa.

Asrohah, Hanun. 1999. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana iImu.

Bakar, Istianah Abu. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Malang; UIN Press.

Karim, M. Abdul. 2009. Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.

Nata, Abuddin. 2004. Sejarah Pendidikan Islam: Pada Periode Klasik dan Pertengahan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Nizar, Samsul. 2007. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.

Salabi, Ahmad. 1970. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Suwito dkk. 2005. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media.

Yatim, Badri. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafido Persada.

Yunus, Mahmud. 1989. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: PT Hidakarya Agung.

Zuhairini dkk. 1997. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.



[1] Ibid, hlm. 63-64
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafido Persada, 2010), hlm. 51
[3] Op, cit, hlm. 64
[4] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 73
[5] Op, cit, hlm. 65
[6] Ibid, hlm. 71-80
[7] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009), hlm. 158-159
[8] Op, cit, hlm. 66-68
[9] Ibid, hlm. 84-85
[10] Isti’anah, Ibid, hlm. 84-85
[11] Op, cit, hlm. 57-58
[12] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1989), hlm. 46-47
[13] Ibid, hlm. 47-48
[14] Ibid, hlm. 48
[15] Suwito dkk, Sejarah Sosial Pendidikan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 15
[16] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana iImu, 1999), hlm. 73
[17] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam: Pada Periode Klasik dan Pertengahan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 132
[18] Op, cit, hlm. 55
[19] Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), hlm. 103
[20] Op,it, hlm. 57-58
[21] Ahmad Salabi, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hlm. 207
[22] Abuddin Nata, Loc, it, hlm. 254-255
[23] Hanun Asrohah, Loc, it, hlm. 83
[24] Suwito, Op, cit, hlm. 14
[25] Op, cit, hlm. 89
[26] Pada masa Islam klasik dikenal 2 tipe masjid, yaitu masjid Jami’ dan masjid local. Masjid Jami’ umumnya adalah bangunan besar yang dihiasi dengan indah melalui biaya negaa dan berfungsi sebagai tempat diumumkannya berbagai hal tentang negara dan agama pada masyarakat. Masjid local biasanya lebih kecil, dibangun untuk kebutuhan kelompok masyarakat.
[27] Abuddin Nata, Loc, it, hlm. 218-219
[28] Ibid, hlm. 219
[29] Op, cit, hlm. 90
[30] Ibid, hlm. 90
[31] Abuddin Nata, Op, cit, hlm. 222
[32] Ibid, hlm. 222
[33] Dikutib oleh Abuddin Nata dari Munirul Ahmed, membagi pelajar menjadi 2 kelompok, yaitu pelajar tetap dan pelajar tidak tetap. Pelajar tetap adalah orang yang mempunyai tujuan utama untuk belajar dan menghabiskan sebagian hidupnya untuk ilmu. Pelajar tidak tetap merupakan orang yang mengikuti pelajaran hanya pada waktu-waktu tertentu, biasanya untuk menunjang profesi mereka.
[34] Ibid, hlm. 224
[35] Ibid, hlm. 224-225
[36] Ibid, hlm. 225
[37] Dikutib dari bukunya Hanun Asohah, Ibid, hlm. 48
[38] Ahmad Salabi, Op, cit, hlm. 33-38
[39] Ibid, hlm. 48-50
[40] Ibid, hlm. 53
[41] Zuhairini, Loc, it, hlm. 95
[42] Ibid, hlm. 80
[43] Ibid, hlm. 97-98
[44] Ibid, hlm. 99
[45] Ahmad Salabi, Loc, it, hlm. 89
[46] Ibid, hlm. 80
[47] Op, cit, hlm. 99
[48] Armai Arief, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Klasik (Bandung: Angkasa, 2004), hlm. 58-59
[49] Ibid, hlm. 59

[50] Suwito, Loc, it, hlm. 26

logoblog
Previous
« Prev Post