Oleh: Aries Lailiyah
ANTROPOMORFISME
Manunggaling Kawulo Gusti dalam Wirid Hidayat Jati
Judul : MISTIS ISLAM KEJAWEN RADEN NGABEHI RANGGAWARSITA:
Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati
Penulis : Simuh
Penerbit : Jakarta, UI Press
Tahun terbitan : 2008
Cetakan : I
Halaman : IX, 339 halaman
ISBN : 979-8034-81-9
Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati
Penulis : Simuh
Penerbit : Jakarta, UI Press
Tahun terbitan : 2008
Cetakan : I
Halaman : IX, 339 halaman
ISBN : 979-8034-81-9
ANTROPOMORFISME
Manunggaling Kawulo Gusti dalam Wirid Hidayat Jati[1]
Manunggaling Kawulo Gusti dalam Wirid Hidayat Jati[1]
Pendahuluan
Islam dalam perkembangannya mengalami sejarah yang sangat panjang, baik dari segi agama, suku Jawa sebelum menerima pengaruh agama dan kebudayaan hindu yaitu masa-masa dimana masyarakat memuja roh nenek moyang dan mempercayai adanya kekuatan gaib --tumbuhan, binatang, benda-benda-- yang dianggap sakral, hal ini sering disebut oleh peneliti barat dengan animisme dan dinamisme. Kepercayaan ini belum berwujud menjadi sebuah agama, barulah saat Hindu datang mewarnai kebudayaan dan agama di Jawa.
Di Jawa Hindu menyebar mulai dari kalangan bangsawan dan cendekiawan baru kepada masyarakat secara umum. Para cendekiawan yang memahami bahasa sansekerta kemudihan menuliskan ulang dengan bahawa Jawa dan penggunaan perhitungan tahun Saka, maka disinilah permulaan sejarah bagi suku Jawa sekaligus embrio bagi pertumbuhan dan perkembangan kepustakaan Jawa. Dalam masa selanjutnya saat Islam mulai menyebar di nusantara berkembanglah dua jenis kepustakaan yaitu kepustakaan Islam Kejawen dan kepustakaan Islam santri.
Dalam tulisan ini difokuskan kepada wirid Hidayat Jati yang merupakan salah satu dari kepustakaan Islam Kejawen. Keistimewaan dari wirid ini adalah, pertama, karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, sastrawan fenomenal dari istana Surakarta yang memiliki gelar pujangga penutup. Kedua, disusun dalam bentuk Jawa atau porsa. Ketiga, isi kandungannya usaha untuk menjadi kitab mistik yang cukup lengkap, padat dan bulat. menurut penulis buku (Simuh) bahwa mempelajari ngelmu tuwa (kepustakaan Jawa) tetap menarik hingga kapanpun, mengingat westernisasi terus berkembang di Indonesia dan dengan masa yang tak bisa ditentukan akan menenggelamkan kepribadian bangsa Indonesia.
Sosok Ranggawarsita
Ranggawarsito lahir pada tahun 1802 dan wafat pada 1873, beliau dikeramatkan oleh angkata sesudahnya dengan cerita-cerita yang ajaib yang dinisbatkan kepada kehidupannya. Ada dua naskah yang menuliskan tentang beliau yaitu karya Padwawarsita dan Padwawidagda beserta Honggopradoto. Menurut keterangan beliau berasal dari keluarga Yasadipuran (keluarga pujangga) dan dididik oleh kakeknya Yasadipuran II. Konon beliau juga masih trah dari kerajaan Majapahit dan yang terkenal dengan sebutan Raden Ngabehi Ranggawarsita adalah Ranggawarsita III yang memiliki nama asli Bagus Burhan. Silsilahnya sebagai berikut:
Brawijaya (Raja Majapahit) Putri Majapahit+ Andayaningrat (Dari Pengging)
Kebo Kenongo Adiwijaya (Raja Pajang) Pangeran Benawa Panembahan Raden (Adipati Pajang) Pangeran Wiramenggala II Panegeran Wiramenggala III Pangeran Serang Pangeran Adipati Danapuya Tumenggung Padmanagara (Bupati Pekalongan) Yasadipura I Yasadipura II
Sudiradimeja Ranggawarsita III.
Semasa muda beliau nyantri di tempat Kiai Kasan Besari daerah Tegalsari, Ponorogo, Jawa Timur. Beliau terkenal dengan santri nakal, sesuka hati dan tidak pandai. Sehingga membuat geram kiai Kasan Besari dan hal ini membuat Burham malu yang kemudian beliau memutuskan untuk melakukan tapabrata (merendam diri dalam sungai watu selama emput malam). Setiap harinya beliau makan pisang kluthuk dan pada malam terakhir beliau menanak nasi kemudian sesudah nasinya masak terdapat ikan Wader (pendapat lain: Lele). Setelah itu diceritakan bahwa beliau menjadi anak yang sangat pandai tanpa belajar, fasih membaca alQuran dan sebagainya. Dirasa cukup di Tegalsari, beliau pergi ke beberapa daerah seperti Bali dan lainnya untuk mendapatkan ilmu yang lain serta mendiskusikan pengetahuannya dengan guru-guru ternama seperti Pangeran Wijil dari Kadilangu dan panembahan Buminato.
Karya-karya beliau sebenarnya sangat banyak, namun yang berhasil di terbitkan hanya ada beberapa. Misalnya saja wirid hidayat jati, suluk Saloka Jiwa, Suluk Supanalaya, Serat Pamoring Kawulo Gusti, Suluk Suksma Lelana dan Serat Paramayoga.
Manuskrip Wirid Hidayat Jati
Ada empat macam judul buku yang merupakan karya Ranggawarsita tentang Wirid Hidayat Jati, keempatnya diterbitkan oleh Administrasi Jawi kandha di cetak percetakan Albert Rusch & Co, Surakarta tahun 1908. Buku ini berjudul Serat Wirid, dicetak dalam huruf dan bahasa Jawa Krama, tebal 95 halaman. Candrasengkala yang terdapat di dalamnya berbunyi “Rongsong gawarga snuta salabeting Alip” hal ini menunjukkan tahun 1779 Jawa atau 1850 Masehi.
Sumber penyusunan naskah ini berasal dari kepustakaan Islam Kejawen atau disinyalir dari kepustakaan Melayu. Sebab ajaran martabat tujuh dari Syamsuddin Pasai dan Abdul Rauf mau tidak mau menjadi pengaruh tersendiri terhadap penulis. Adapun kepustakaan Islam Kejawen yang banyak memberikan bahan adalah Serat Centhini dan Serat Dewaruci. Sebagian besar istilah-istilah yang ada dalam wirid hidayat jati ada dalam serta Centhini. Begitu pula tentang isi kandungannya, konsep hayu yaitu hidup yang tidak akan mati juga dapat dijumpai dalam serat Centhini. Namun perbedaannya penulis berusaha mempertemukan ajaran mistis Islam tentang martabat tujuh dengan pokok pikiran yang terdapat dalam serat Dewaruci. Kemudiaan gambaran tentang penghayatan gaib serta konsep kesatuan kawula gusti mencerminkan ajaran serat Dewaruci. Ajaran martabat tujuh bersumber dari kitab Al Tuhfah Al Mursalah ila Ruhi Nabi (karya Muhammad ibn Fadlillah) dari Gujarat, disinyalir ajaran ini sampai di Jawa melalui komentar yang dirumuskan oleh Syamsuddin Pasai,atau bisa jadi melalu penyebaran tarekat Syatariyah oleh murid-murid Abdul Rauf dari Singkel. Di Jawa sendiri, tarekat ini disebarkan oleh murid Abdul rauf yaitu Abdul Muhyi di priyangan, sehingga awal-awalnya tarekat ini menyebar di daerah Cirebon dan Tegal (munculnya Serat Tuhfah gubahan Jawa).
Martabat tujuh adalah suatu ajaran mengenai penciptaan manusia dan alam semesta, dari tajalli Tuhan sebanyak tujuh martabat. Ajaran ini yang menjadi kerangka pemikiran pada naskah Wirid Hidayat Jati. Penjelasan singkatnya di dalam memahami asal usul manusia ada tujuh unsur pembentukan manusia dan ada tujuh martabat penghayatan gaib untuk kembali bersama Tuhan. Bahkan proses perkembangan janin menjadi bayi juga melalui tujuh martabat. Isi dari ketujuh pembentukan manusia ini dianggap berasal dari primbon Jawa yang ditulis abad 16. Uraian ini dalam Wirid Hidayat Jati terdapat dalam tata malige pada Baitul Muharram, diterangkan:
“Sesungguhnya aku mengatur singgasana berada dalam Baitul Muharram, yaitu rumah tempat pingitan-Ku, berada dalam dada Adam, yang ada dalam dada hati, yang ada di antara hati jantung, dalam jantung budi, dalam budi jinem, yakni angan-angan, dalam angan-angan sukma, dalam sukma rahsa, dalam rahsa aku. Tidak ada Tuhan kecuali aku, dzat yang meliputi semua keadaan.
Dilihat dari urutan ataupun kalimat serta isinya, ajaran baitul Muharram dalam Wirid ini sama dengan keterangan dari primbon Jawa, perbedaannya kata “kalbu” disalin dengan kata “hati”.
Selain tentang ajaran Baitul Muharram, terdapat juga ajaran Baitul Muqaddas yang bersumber dari serat Centhini. Ajaran ini dalam serat Centhini mengarah kepada persoalan kemaluan manusia yaitu: mani, madi, wadi, manikem dan rasa. Namun, diperinci dengan Wirid ini menjadi pringsilan, mani, madi, wadi, manikem dan rahsa.
Konsepsi Ketuhanan
Kesatuan antara Tuhan dan manusia dalam naskah ini adalah paham yang mengajarkan bahwa manusia berasal dari Tuhan, sehingga tujuan utama hidup adalah bersatu kembali dengan Tuhan, dalam hal ini dilalui dengan jalan penghayatan mistis. Namun, kesatuan yang sempurna bukanlah di dunia ini, namun setelah ajal atau maut.
Pokok pikiran Tuhan dari naskah ini adalah konsep manunggaling kawulo gusti artinya cita hidup yang harus dicapai oleh manusia adalah mendapatkan penghayatan kesatuan dengan Tuhannya. Caranya yaitu manekung amuntu samadi, mengumpulkan kata-kata kemanunggalan, membaca kalimat-kalimat yang dipercaya punya daya magic dan lain sebagainya.
Tingkah laku manusia adalah cerminan dari Tuhan istilahnya jawata ngejawantah atau ngarcapada. Manunggaling disini adalah gubahan dari ajaran tajalli yang berasal dari paham martabat tujuh. Dasar pemikiran ini bersumber dari penganut faham wahdatul wujud (monisme) yaitu suatu faham yang memandang bahwa alam semesta beserta manusia adalah aspek lahir dari satu hakikat yang tunggal, yaitu Tuhan.
Martabat tujuh adalah tujuh tingkatan yang meliputi, pertama. Dzat Tuhan tidak bernama, karena tidak ada satu namapun yang mampu mewakili keberadaan-Nya. Maka ia disebut Aku, Tuhan Sejati. Berdiri sendiri, tidak berawal, tidak berakhir, Maha Esa. Dia berkeinginan menciptakan makhluk agar makhluk tersebut mengenal-Nya. Tuhan menciptakan makhluk dengan Dzat-Nya, karena tidak ada dzat yang lain. Jadi makhluk bukan barang baru, namun sekedar penampakan dari rupa diri Tuhan. Alam ini bukan ciptaan, namun ada karena menemukan keadaannya, ibarat ombak yang menemukan keadaannya dari samudera. Ombak pada dasarnya adalah tidak ada, yang ada samudera. Makhluk pada dasarnya tidak ada yang ada hanya Yang Esa.
Kedua. penurunan pertama adalah Nur Muhammad. Orang Islam menyebutnya sebagai Allah. Allah hanyalah nama untuk menyebut diri Tuhan. Sejatinya Tuhan sendiri tidak dapat dijangkau dengan nama. Nama untuk memudahkan pengenalan terhadap-Nya. Kalau manusia mengatakan Tuhan itu ada, maka ada yang mewadahi Tuhan, seperti mengatakan gelas itu ada, maka adanya gelas itu menempati ruang dan ruang lebih besar dari gelas. Itulah sebabnya para leluhur mengatakan Tuhan itu tan kena kinaya ngapa, tak dapat diperkirakan. Ada yang menyebutnya sebagai Keberadaan. Penampakan Tuhan dengan nama Allah ini sudah mengurangi kesempurnaan. Allah sebenarnya bersemayam dalam dzat-Nya. Penurunan ini bukan berarti bahwa Tuhan ada dua. Dia menampakkan diri dalam kualitas menurun agar mudah dikenal.
Ketiga, Dengan penurunan diri pun masih belum dikenal secara mudah. Tuhan menurunkan lagi menjadi bersifat kemakhlukan. Pada tahap kemakhlukan ini bersifat berpasang-pasangan sebagai cikal bakal penciptaan alam semesta. Keempat. Dari yang bersifat kemakhlukan ini terurai menjadi bagian-bagian halus yang belum nampak. Itulah alam arwah, roh-roh yang merupakan sumber kehidupan bagi tiap benda. Kehidupan merupakan syarat mutlak bagi makhluk untuk dapat mengenal Tuhan. Kehidupan alam semesta ini dapat disebut semu, karena telah terlepas dari kehidupan sejati dalam Dzat Tuhan. Kehidupan alam semesta ini ada awal dan ada akhirnya.
Kelima, sumber kehidupan berupa roh ini tidak akan mampu mewakili keinginan Tuhan, jika tidak disertai sarana atau wadah. Tuhan menjadikan wadah bagi kehidupan tersebut. Tahapan keempat terurai menjadi bagian-bagian yang terpisah yang masih halus. Dalam alam ini manusia sudah ada namun berbentuk jiwa. Keenam, pada alam ini, Tuhan menampakkan diri secara menyeluruh. Raga adalah perwujudan rupa diri-Nya. Perbuatan, nama, dan sifat alam semesta adalah Wajah-Nya. Ketujuh, setelah mengetahui hakikat diri secara menurun ini, maka tahulah bahwa alam semesta pada hakikatnya adalah gambaran Rupa Tuhan. Manusia adalah makhluk yang paling sempurna, karena dibekali kemampuan untuk mendaki dan menyatu dengan dzat Maulana hingga menjadikan dirinya sebagai wakil Tuhan di dunia.
Konsep manunggaling dalam naskah ini menunjukkan bahwa Tuhan dengan manusia adalah roroning tunggal (dua menjadi satu), antara manusia dan Tuhan masih tetap berbeda, sebagaimana tulisan Ranggawarsita
“Kini kamu menjadi tajalliku, kamu harus mengerti bahwa aku tiada sekeadaan dengan kamu, akan tetapi meliputi kamu, seumpama bunga, kamu rupanya Aku bau harumnya, atau seumpama madu, kamu rupanya Aku manisnya. Jadi kamu dan aku, bisa disebut roroning tunggal. Sembahmu kepa-Ku, dan rasa takutmu kepada-Ku.
Pernyataan ini bisa kita lihat tentang tamsil Wisnumurti konsep “nitis” Dewa Kresna yang ketitisan Dewa Wisnu dan Bimasuci Arya Sena manunggal dengan Dewaruchi. Paham manunggaling naskah ini dalam filsafat dinamakan dengan antropomofisme.
Tuhan dalam wirid ini memang berbeda dengan apa yang dipahami manusia secara umum melalui alQuran, memang secara tegas dalam teks Tuhan digambarkan secara transcendent (berada diluar dan mengatasi alam semesta). Tapi naskah ini mengetengahkan konsepsi tuhan dengan sifat immanent (Tuhan ada dalam diri manusia). selain konsep Tuhan, ada juga konsep tanzih yang menurut pemahaman secara umum menyucikan Tuhan dari keserupaan dengan makhluk-Nya, namun dalam naskah ini cenderung ke arah pemahaman tasybih, keserupaan atau pembauran antara manusia dan Tuhan.
Ilmu Makrifat dan Hubungan Guru dan Murid
Ilmu Makrifat menurut Wirid Hidayat Jati angat sakral dan keramat, sehingga bagi penganutnya hal ini tidak boleh diajarkan ke sembarang orang dan ilmu ini hanya boleh diajarkan dengan melakukan ritual upacara khusus. Tatacaranya:
1. Persiapan, menentukan tempat yang layak untuk memberi pelajaran ilmu makrifat, yakni memilih tempat yang suci dan baik namanya. Tempat itu haruslah tempat terbuka (tidak dilindungi atap dan di dalam rumah), diutamakan di atas bukit di tengah lapangan atau di atas air, tempatnya harus sunyi, tidak dapat di dengar orang lain, di halaman masjid dan lain sebagainya.
Setelah penentuan tempat adalah penentuan hari, misalnya hari yang baik untuk mengajarkan ilmu makrifat ketika tanggal satu bulan Jawa jatuh pada hari Jum’at dan bulan purnama. Selain itu bisa juga Selasa Kliwon, Jum’at Kliwon dan sebagainya.
Kemudian, menyiapkan sesaji yang akan dipergunakan saat waktu tiba, diantaranya di keempat sudut ditanami tumbuh-tumbuhan yang hidup, dibentangkan tikar pamejangan dan diatasnya lagi dibentangkan lagi tikar pasir (anyaman daun pandan) yang baru, dibentangkan lagi diatasnya kain putih rangkap tujuh lapis, atau minimal tiga lapis, di atas kain putih itulah nanti pendidik dan peserta didik akan duduk. Selain itu juga ditaburi berbagai macam bunga.
Sesaji yang disiapkan adalah pisang raja, daun sirih muda, kembang mayang serakit, minyak wangi, uang perak seberat satu tahlil dan kemenyan seberat ringgit, benda-benda ini ditaruh di kotak dan ditutup dengan warna kain putih,
2. Kegiatan Inti, tengah malam guru dan murid mengambil air wudhu, memakai pakaian suci (tidak memakai baju dan emas), memakai wangi-wangian, berkalungka tiga macam bunga, memakai tutup kepala (kuluk), telinga kiri bersubang bunga lalu duduk ditempat belajar. Murid menghadap ke arah barat duduk bersila sambil membakar menyan, lalu dimulailah pengajarannya.
Ilmu yang diajarkan adalah ilmu 8 Wali Jawa (inti Wirid Hidayat Jati) dan beberapa ilmu makrifat lainnya yang terangkum dalam wirid Hidayat Jati kemudian guru membacakan istigfar dan qabul, hal ini agar terhidar dari bencana sebab telah mengajarkan ilmu keramat. Di akhir prosesi transfer of knowledge ada sebuah perjanjian untuk berhati-hati dalam menggunakan ilmu ini, boleh menambah ilmu yang lain ke guru yang berbeda dengan syarat harus minta ijin dan sebagainya.
3. Penutup, sesudah keluar dari lingkungan belajar itu, langsung menuju tempat upacara, yakni selamatan untuk kesejahteraan jiwa raga mereka masing-masing, dengan tujuan:
a. Untuk mengirim makanan kepada Nabi Muhammad SAW, sajiannya nasi uduk, ingkung ayam atau telor, kerupuk, garam, Lombok dan terong.
b. Untuk mengirim makanan kepada sahabat Nabi dan para Wali Allah, sajiannya nasi golong, pecel ayam, sayur menir dan daging kerbau yang digoreng.
c. Untuk mengirimkan kepada roh para guru yang telah memberi pelajaran ilmu makrifat, dengan sajian makanan yang mereka gemari semasa hidup ditambah daun sirih dan bunga konyoh.
Doa yang dibaca adalah doa keselamatan, pemujaan kepada Rasul dan sahabat dan doa-doa yang lainnya.
Hubungan guru dan murid dalam hal ini memang sangat erat, apalagi jika kita menengok kepada hubungan guru murid zaman ini. Naskah ini memberikan pengertian bahwa tidak setiap orang boleh menjadi guru atau menjadi murid makrifat. Syarat khusus menjadi guru murid dalam versi ini adalah keluhuran akhlak dan budi luhur.
Kekurangan dan Kelebihan
Tulisan ini menjadi sangat representative ketika pendekatan yang digunakan tidak hanya filologi saja, namun juga menggunakan pendekatan filosofis dan antropologis, sehingga setiap pemaknaan teks bisa dipahami dan dirasionalkan, apalagi perbandingan-perbandingan yang diungkapkan penulis di dalamnya sangat rinci dan panjang lebar, meskipun ada beberapa hal yang keterangan tentang naskah aslinya sedikit dan singkat kemudian penjelasan dari perbandingannya sangat panjang lebar. Namun, Keahlian dan keseriusan penulis dalam menguak nilai-nilai naskah Jawa nampak dalam setiap pembahasannya mengalir begitu saja yang menjadi pertimbangan dan semangat untuk generasi selanjutnya dalam memperkaya kajian-kajian naskah Kuno yang nyatanya sudah sangat jarang diminati.
Kekurangannya, dalam penerjemahan naskah kuno, belum ada penerjemah tersumpah untuk bahasa Jawa layaknya penerjemah bahasa Inggris atau Arab, sehingga sedikit disanksikan, bisa saja dalam memahani dan menterjemahkan naskah ada kalimat yang tidak sesuai dengan apa yang dimaksud penulis. Terlepas dari hal teknis tersebut, tulisan Prof Simuh ini berhasil membaca ulang naskah yang ditulis pada abad 18 –an ke abad 20-an.
[1] Judul di konsep oleh Aris Nurlailiyah, dipresentasikan pada perkuliahan Studi Pendekatan Islam yang dibimbing oleh Dr. Sangkot Siraet, program Doktor, Kependidikan Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.