PENDIDIKAN KUNCI KEBOBROKAN BANGSA


Sudah saatnya wajah ironis pendidikan negeri ini ditampakkan, pendidikan tidak lagi memanusiakan manusia sebagaimana mestinya. Pendidikan sekarang ini hanya milik segelintir orang, hanya orang borjuis yang dapat menikmati pendidikan tersebut. Sehingga peserta didik tidak lagi mementingkan proses belajar akan tetapi mementingkan “cepat lulus” dan cepat mendapatkan kerja. Dengan alasan biaya pendidikan yang cukup mahal dan alasan yang paling ekstrim adalah ingin membantu meringankan beban orang tua.

Hal ini merupakan bukti konkrit yang sering dilontarkan oleh para pelajar. Realitas ini pula yang sudah merubah kontrsuk para pelajar bahkan masyarakat umum lainnya. Akhirnya orang-orang yang berpendidikan pada saat ini tidak lagi peduli dengan realitas sosial, melupakan dirinya sebagai makhluk sosial yang hidup bermasyarakat.

Sudah menjadi langganan, permasalahan pendidikan dari tahun ketahun tidak pernah terselesaikan hingga akhirnya menumpuk. Seringkali permasalahan itu dianaktirikan oleh elemen pemerintah maupun elemen masyarakat lainnya. Semestinya pendidikan menjadi permasalahan kunci dari kebobrokan bangsa ini. Apabila bangsa tidak bisa memberi solusi terhadap permasalahan pendidikan masa kini maka tentunya akan berimplikasi terhadap permasalahan yang lain.

Perdebatan tentang pendidikan yang cukup ulet ini tidak hanya dilakoni oleh para pakar pendidikan saja tapi berbagai elemen juga turut serta sehingga tidak heran jika permasalahan itu tidak pernah menemukan jalan keluarnya. Mestinya permasalahan tahun kemarin menjadi pelajaran supaya tidak terulang kembali di tahun mendatang. Akan tetapi, realitanya malah sebaliknya, permasalahan kemarin terulang lagi. Parahnya, permasalahan kemarin belum terselesaikan malah datang permasalahan baru, Lubang lama belum tertutupi di tambah lagi lubang yang baru.

Permasalahn tentang pendidikan yang terjadi tidak hanya terfokus pada satu problem, mulai dari lemahnya “political will” pemerintahan terhadap pendidikan, rendahnya kesadaran kepemimpinan bangsa bahwa pendidikan adalah investasi utama bagi kelangsungan bangsa dan kesadaran akan makna pendidikan sebagai investasi utama. Lemahnya “political wiil” pemerintah terhadap pendidikan ini di sebabkan oleh beban hutang negara yang sangat besar terhadap luar negeri. Dana pendidikan yang seharusnya besar menjadi kecil karena alokasi tersebut dialihkan untuk hutang negara yang mendesak terhadap hutang luar negeri. Sehingga implikasi yang harus diterima oleh lembaga pendidikan untuk mencukupi kebutuhannya tidak lagi tercukupi.

Ketidakseriusan dalam menangani permasalahan pendidikan menunjukkan Minimnya kesadaran pemerintah bahwa pendidikan adalah investasi utama, ini terbukti dengan fenomena yang terjadi dari generasi ke-generasi mulai pemerintahan orde lama sampai pascareformasi tidak ada yang fokus untuk menangani pendidikan sebagai investasi utama.

Saat orde lama yang hanya mementingkan pendidikan rakyat melalui gerakan massa yang bersifat politik, orde baru yang membawa pendidikan demi kepentingan para pemodal, pendidikan ditujukan untuk mencetak para pekerja yang bisa dibayar dengan upah murah, kebebasan dalam dunia pendidikan, khususnya dunia kampus pun dipasung dengan sedemikian durjana sehingga bangsa pun tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali tersungkur dibawah keterpanggangan pembungkaman kebebasan berpendapat dan berekspresi. Ironisnya lagi, pascareformasi yang diharapkan mampu menjadi mujaddid dalam dunia pendidikan, ternyata tidak beranjak dari persoalan-persoalan yang semakin parah dan amburadul, adanya kebijakan otonomi pendidikan yang kemudian memberikan hak sepenuhnya kepada setiap penyelenggara pendidikan dan satuan pendidikan. Bukti kongkrit, pendidikan berada dalam kerentangan komersialisasi pendidikan sehingga menjadi keniscayaan apabila pendidikan pun menjadi komoditas yang siap diperjualbelikan dengan harga sangat tinggi.

Pemerintahan lintas generasi itu membawa efek yang sangat besar terhadap kebobrokan lembaga pendidikan dan generasi didik bangsa. Tidak heran jika masyarakat selalu mempertanyakan output pendidikan sendiri. Seringkali yang kita lihat output dilapangan adalah generasi koruptor terdidik. Sebab, sejak awal mulai dari penerimaan murid baru atau mahasiswa baru sekalipun dalam lembaga dunia pendidikan adalah tawar menawar harga. Barang siapa yang memiliki banyak uang dialah yang akan mendapatkan lembaga pendidikan yang bermutu. Disini terjadi ketimpangan yakni diskriminasi antara kaya dan miskin. Dan lagi penyeleksian lembaga pendidikan yang bermutu masih terjebak dengan sistem nilai yang tinggi.

Sehingga yang terjadi pula diskriminasi antara orang pintar dan bodoh. Maka yang namanya orang ketiga yakni miskin dan bodoh tidak mendapatkan jatah untuk menduduki pendidikan yang bermutu sebagaimana khalayak yang lain. Tidak jarang kita lihat, dengar, dan mebaca diberbagai media, anak-anak kecil ngamen dijalanan di waktu jam sekolah, siswa bunuh diri, itu semua dikarenakan tidak mempunyai cukup biaya untuk biaya pendidikan dan masih banyak lagi generasi bangsa ini yang nasibnya serupa dengan mereka padahal UUD 1945 menyatakan secara adil dan merata. Tentunya hal ini menjadi kritik bagi pemerintah dan elemen lainnya untuk lebih sadar memperhatikan pendidikan sebagai investasi utama bangsa, dan memeperbaiki wajah pendidikan yang porak poranda sehingga orientasi pendidikan kembali seperti apa yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa.

Oleh karena itu, perlunya pemerintah mengoptimalkan dalam menangani dan menyelesaikan problem-problem pendidikan, jika perlu silahkan menata ulang konsep dan meletakkan kembali pilar-pilar pendidikan. Sekali lagi, pendidikan merupakan ujung tombak bangsa untuk memperbaiki kebobrokan dan menjunjung tinggi nama baik republik tercinta ini. Maka warisan terakhir bangsa ini yang sebenarnya adalah pendidikan. Jika keadaan tanah air ini bobrok maka bisa kita lihat dari wajah pendidikannya seekaligus pendidikan sebagai kunci jawaban terakhir bangsa ini.
logoblog
Previous
« Prev Post
Oldest
You are reading the latest post