Pendekatan Gender


   

    Pendekatan Gender
Sebagaimana layaknya teori sosial lainnya, seperti analisis kelas, analisa kultural dan analisa diskursus, analisa gender adalah alat untu analisa untuk memahami realitas sosial. Sebagai teori tugas utama analisa gender adalah memberi makna, konsepsi, asumsi, ideology, dan praktek hubungan baru antara kaum laki-laki dan perempuan, serta implikasinya terhadap kehidupan sosial yang lebih luas (sosial, ekonomi, politik, kultural) yang tidak dilihat dari teori ataupun analisa sosial lainnya.[1]
Sehingga tidak ada lagi pandangan yang tidak adil terhadap perempuan dengan anggapan dasar bahwa perempuan itu irasional, emosional, lemah dan lain-lainnya, menyebabkan penempatan perempuan dalam peran-peran yang dianggap kurang penting.[2]
Menurut Oakley yang dikutip dari bukunya Khoiruddin gender didefinisikan dengan perbedaan antara laki laki dan perempuan berdasar konstruksi social bukan sekedar biologi dan bukan kodrat tuhan. Sedang sex (biologi) karena kodrat tuhan. Karena itu, gender bisa berubah dari waktu ke waktu, dari satu tempat ke tempat lain, bahkan satu kelas ke kelas lain. Sementara biologi (sex) tetap sama. Dengan sendirinya kalau perbedaan sex adalah kodrati, karena perbedaannya permanen.
Begitu juga menurut Caplan dalam bukunya The Cultural Contruction of Sexuality menyebut, perbedaan antara laki-laki dan perempuan bukan sekedar biologi namun secara social dan cultural.[3]
Ketidakadilan peran gender yang sudah membudaya tersebut akan mengakibatkan perempuan mengalami proses imarginalisasi, subordinasi, stereotip keperempuanan yang cenderung negative, tindak kekerasan dan pelecehan serta beban kerja domestic yang terlalu banyak. Sementara itu gerakan menuju kesetaraan gender sering mendapat perlawanan dan hambatan karena ketidakmengertoan mengapa status perempuan hars dipertanyakan, serta mengapa hak-hak istemewa yang dimiliki dan dinikmati laki-laki harus digugat.[4]
B.     Perkembangan Historis Pendekatan Feminis
Pembebasan akal dari belenggu teologi gereja, telah menghasilkan revolusi ilmu pengetahuan di abad 17, yang mendorong lahirnya faham liberalism yang akhirnya mencetuskan revolusi perancis di akhir abad 17. Revolusi ini kemudian menimbulkan prahara social politik demokratisasi Eropa Barat. Bersamaan dengan liberalisasi social politik demokratisasi itu kaum wanitapun bangkit untuk memperjuangkan hak-haknya. Inilah awal gerakan feminisme individualis yang dipelopori oleh Mary Wollstonecraft di Inggris yang menulis a findication of the rights of women pada tahun 1792.[5]
Revolusi akhir abad 18 diikuti oleh revolusi industry abad 19, yang pada giliranya, melahirkan gerakan sosialisme di baad 19 yang didirong oleh kondisi buruk kaum buruh Eropa pada waktu itu. Banyak wanita yang ikut menderita sebagai kaum buruh yang di bayar sangat murah tentu saja ikut bergerak bersama rekan-rekannya pria melahirkan gerakan feminism jenis baru yang dikenal kemudian sebagai feminism sosialis. Diantara mereka adalah Charlote Perkins Gilman (1860-1935), pelopor  feminism non Marxis di Amerika dan Alexandra dan Colontai (1872-1952) di Rusia, seorang pelopor feminism sosialis Marxis.
Pada paruh pertama abad 20 yang diwarnai oleh dua buah perang dunia, perjuangangan kaum feminisme individualisme berhasil dengan dicantumkannya hak-hak pilih dan suara mereka dalam berbagai konstitusi Negara-negara barat. Trauma perang dunia pertama menyebabkan surutnya gerakan feminism dalam bentuknya yang progresif, tetapi sebaliknya usainya perang dunia ke-2 dengan membaiknya kondisi ekonomi dunia Barat justru feminisme mengalami  radikalisasi.
Radikalisasi feminism ini bermula dengan diterbotkannya filosof eksistensialis wanita, kawan kumpul kebo Jean Paul Sarte sang pangeran filsafat eksistensialisme, Simone de Beauvoir.[6]
Berlawanan dengan kesalahpahaman yang telah populer, studi feminis terhadap agama memiliki asal usul panjang dan menarik. Adalah mungkin meletakkan seorang perempuan atau sekelompok perempuan dalam suatu periode sejarah, yang menentang pembatasan-pembatasan yang dikenakan oleh otoritas keagamaan kepada mereka. Asal usul bentuk yang dapat dikenal dari feminisme religius Anglo-American yang terorganisir muncul pada abad XIX dan didominasi oleh dua isu utama, perbedaan tentang persamaan akses terhadap jabatan pendeta (ministry) dan kritisisme Injil.[7]
Keterlibatan feminis dengan agama di abad XIX merupakan suatu yang rumit dan berbelit, namun mengilhami baik tanggapan yang konservatif maupun radikal. Feminisme Evangelis mendasarkan seruannya pada perluasan peran kewarganegaraan perempuan yang mendasarkan pada definisi tradisional feminis, memuji bakat perempuan terhadap pengasuhan dan kecenderungannya untuk menafikan dirinya demi kepentingan orang lain sebagai kualitas moral yang patuh dicontoh.
Sebagaimana feminis abad XIX membangun analisis yang mereka tawarkan berdasar mainstream perempuan maka sarjana-sarjana agama perempuan kontemporer menerima dorongan ideologis yang sangat besar dari persoalan-persoalan yang dimunculkan oleh gelombang feminism kedua tahun 1960 dan 1970. Seperti pendekatan teoritis para pendahulunya, proyek kritis feminism kontemporer dimulai dengan pembahasan yang komprehensif terhadap misoginitas agama barat.[8]
Dimensi kritis dekonstruktif menandai fase pertama analisis feminis, kemunculan teologi feminisme sering ditetapkan sejak munculnya artikel sebelumnya yang ditulis oleh Valerie Saiving tahun 1960 dalam The Human Situation: A Feminine View. Saiving menuntut reformulasi definisi teologi tradisional tentang dosa bahwa dosa adalah kesukaan menonjolkan diri sendiri (self assertion) sehingga secara khusus mencakup kecenderungan perempuan pada keterbelakangan atau penafian diri.[9]
Ia menyadari bahwa generasi pengalaman yang diasumsikan oleh metodologi androsentris lebih sering menunjukkan suatu persoalan tentang penafian atau pengabaian perempuan secara terus terang daripada permusuhan palsu, meskipun hasilnya sama. Perempuan yang dimaksudkan ke dalam norma laki-laki universal palsu, secara historis dibuat tidak kelihatan dan secara sistematis dikeluarkan dari kerangka kerja cultural dalam penciptaan makna dan keyakinan.
Selain itu, ia tidak hanya menjelajahi fenomena keagamaan baru yang bertalian dengan perempuan, mereka juga menentang asumsi-asumsi akademis tentang bebas nilai dengan melakukan pengujian kembali atas materi-materi dan konsep-konsep lama dari sudut pandang gender dan relasi kekuasaan.[10]

C.    Teori-Teori Feminis
Berbicara tentang pendekatan gender kurang lengkap sebelum membicarakan pendekatan feminis. Sebab dapat dikatakan bahwa gender itu sendiri adalah bagian dari feminis.[11]
Feminism adalah suatu gerakan dan kesadaran yang berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan menagalami deskriminasi dan usaha untuk menghentikan deskriminasi tersebut. Dengan pengertian seperti itu, sesungguhnya kaum feminis tidak harus perempuan dan boleh jadi seorang muslim atau muslimat. Persoalan muncul ketika mereka berusaha menjawab pertanyaan mengapa kaum perempuan di deskriminasi atau diperlakukan tidak adil? Jawaban tersebut membedakan mereka kepada empat golongan:[12]
1.      Feminis Liberal
Bagi mereka mengapa kaum perempuan terbelakang adalah “salah mereka sendiri” karena tidak bisa bersaing dengan kaum laki-laki. Asumsi dasar mereka adalah, bahwa kebebasan dan equalitas berakar pada rasionalitas. Oleh karena itu dasar perjuangan mereka adalah menuntut kesempatan dan hak yang sama dalam setiap individual termasuk perempuan, karena perempuan adalah mahluk rasional juga. Mereka tidak mempersoalkan struktur penindasan dari ideology patriarkhi dan struktur politik ekonomi yang didominasi oleh laki-laki.
Golongan pertama tersebut sangat dominan dan menjadi dasar teori modernisasi dan pembangunan. Bagi mereka, perbedaan antara tradisional dan modern adalah pusat masalah. Dalam perspektif feminis liberal kaum perempuan di anggap sebagai masalah ekonomi modern atau partisipasi politik. Keterbelakangan perempuan adalah akibat dari kebodohan dan sikap irasional, serta teguh pada nilai-nilai tradisional. Industrialisasi dan modernisasi adalah jalan untuk meningkatkan status perempuan, karena akan mengurangi akibat dari ketidaksamaan kekuatan biologis antara laki-laki dan perempuan. Uapaya lain lebih dikonsentrasikan pada usaha pendidikan pada kaum perempuan maupun berbagai proyek kegiatan yang ditujukan untuk memberi peranan kepada kaum perempuan, seperti misalnya program “women indevelopment” (WID).

2.      Feminis Radikal
Bagi mereka dasar penindasan perempuan sejak awal adalah dominasi laki-laki, dimana penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki dianggap sebagai bentuk dasar penindasan. Dalam patriarkhi, yakni ideology yang kelelakian dimana laki-laki dianggap memiliki kekuasaan superior dan privillage ekonomi adalah akar masalah perempuan.
Dalam menjelaskan penyebab penindasan perempuan, mereka menggunakan pendekatan ahistoris, dimana patriarkhi dianggap sebagai masalah universal dan mendahului segala bentuk penindasan. Mereka mereduksi hubungan gender pada perbedaan natural dan biologi. Dan karenanya, mereka melawan segala bentuk kekerasan seksual termasuk pornografi dan sexsual turism. Bagi mereka, personal political. Bagi perempuan kaum radikal revolusi terjadi pada setiap individu perempuan dan dapat terjadi hanya pada perempuan yang mengambil aksi bentuk mengubah gaya hidup, pengalaman dan hubungan mereka sendiri. Penindasan perempuan adalah urusan subyektif individual perempuan, suatu hal yang bertentangan dengan kerangka marxis yang melihat penindasan perempuan sebagai realitas obyektif.

3.      Feminis Marxis
Mereka menolak gagasan kaum feminis radikal bahwa biologi sebagai dasar pembedaan. Bagi mereka, penindasan perempuan adalah bagian dari eksploitasi kelas dalam relasi produksi. Isu perempuan selalu diletakkan dalam kerangka kritik terhadap kapitalisme. Namun, modus penindasan perempuan telah lama sebelum zaman kapitalisme karya Engel The origin of the Family: Private Property and the State, mengupas awal jatuhnya status perempuan, yakni dimulai sejak perubahan organisasi kekayaan, yakni saat munculnya era hewan piaraan dan petani menetap, dimana menjadi awal kondisi penciptaan surplus yang menjadi dasar private property surplus kemudian menjadi dasar bagi perdagangan, dan produksi untuk exchange mendominasi produksi for use. Karena laki-laki mengontrol produk untuk exchange, maka mereka mendominasi hubungan social dan politik masyarakat; dan akhirnya perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Maka sejak saat itu, dominasi laki-laki terhadap perempuan dimuali.
Dalam era kapitalisme modern, penindasan perempuan diperlukan karena menguntungkan kapitalisme. Bentuk dari penindasan ini bermacam-macam, diantaranya:
a)      Eksploitasi pulang ke rumah, dalam analisa ini perempuan diletakkan sebagai buruh yang dieksploitasi laki-laki di rumah tangga. Eksploitasi di rumah akan membuat buruh laki-laki di pabrik pekerja lebih produktif. Oleh karena itu, kapitalisme diuntungkan oleh eksploitasi perempuan di rumah tangga.
b)      Perempuan juga berperan dalam reproduksi buruh murah, sehingga memungkinkan harga tenaga kerja juga murah, yang akhirnya menguntungkan kapitalisme.
c)      Masuknya perempuan sebagai buruh, dengan upah lebih rendah sehingga menciptakan buruh cadangan. Melimpahnya buruh cadangan ini memperkuat posisi tawar menwar kapitalis dan mengancam solidaritas kaum buruh. Kesemuannya itu mempercepat akumulasi capital bagi kapitalis.
Oleh karena itu penganut feminism Marxisme beranggapan bahwa penyebab penindasan perempuan bersifat structural (akumulasi capital, dan devisi kerja internasional), maka revolusi atau memutuskan hubungan dengan system kapitalis internasional adalah solusinya.

4.      Feminis Sosialis
Mereka merupakan sintesa antara teori kelas Marxisme dan the personal is political dari radikal feminis. Bagi mereka, penindasan perempuan ada di kelas manapun. Mereka menolak Marxis klasik, dan tidak menganggap eksploitasi ekonomi sebagai lebih esensial dari pada penindasan gender. Bagi mereka ada ketegangan antara kebutuhan kesadaran feminis disatu pihak dan kebutuhan untuk menjaga integritas materialisme Marxisme dipihak lain, sehingga analisa patriarkhi perlu ditambahkan dalam analisa mode of production. Mereka mengkritik asumsi umum, bahwa ada hubungan antara partisipasi perempuan dalam produksi dan status perempuan.
Partisipasi perempuan dalam ekonomi memang perlu, tetapi tidak selalu menaikkan status perempuan memeng ada korelasi antara tingkat partisipasi dengan status perempuan, namun keterlibatan perempuan justru menjerumuskan, karena mereka dijadikan budak (virtual slafes). Bagi mereka, meningkatkan partisipasi perempuan dalam ekonomi lebih membawa pada antagonism seksual daripada meningkatkan status mereka. Kegagalan mentransformasi posisi kaum perempuan di eks Uni Sofiet , China dan Kuba membuktikan bahwa revolusi tidak serta merta membebaskan perempuan.
Oleh karena itu, kritik terhadap kapitalisme harus disertai kritik dominasi atas perempuan. Teori Zillah Eisenstein ‘capitalist patriarchy’ teori yang menyamakan dialektika struktur kelas dengan struktur hirarki seksual, adalah bentuk sintesa tersebut. Eisenstein mulai dengan thesis ‘perempuan sebagai suatu kelas’, yakni menerapkan konsep alienasi Marx terhadap kaum perempuan. Seperti proletarisasi buruh, perempuan juga ditekan oleh kapitalisme dan patriarkhi untuk mencapai nilai esensi mereka. Penindasan perempuan juga bisa menimbulkan kesadaran revolusi. Mereka menolak anggapan women as sex dari radikal feminis, dimana biologi dianggap menentukan nasib perempuan. Bagi Eisenstein, ketidak adilan tidaklah semata akibat perbedaan biologis tetapi lebih karena penilaian dan anggapan (social kontruktion) terhadap perbedaan itu.
Dalam bukunya Pengantar Studi Islam, Khoiruddin nasution menambahkan satu teori lagi tentang feminism Islam, yaitu Islam memberikan kesejajaran antara laki-laki dan perempuan dalam melakukan karya (amal). Unsur yang membedakan seorang dari orang lain adalah kualitas diri (taqwa), bukan jenis kelamin, bukan warna kulit, bukan etnis, bukan bangsa dan yang lain-lain.[13]
Setiap teori feminis memiliki perspektif yang berbeda di dalam memahami hakikat ketidak adilan dan penindasan terhadap kaum wanita. Masing-masing teori memiliki pendekatan dan strategi yang beragam pula dalam menganalisis ketidakadilan gender ini. Variasi pemikiran ini selain merefleksikan bagaiamana feminisme berusaha merespon terhadap krtitik yang dilontarkan oleh setiap madzab satu sama lain, juga menunjukkan bahwa feminism merupakan  paradigma yang cairm responsive dan tidak dogmatis. Biarpun banyak madzab namun madzab-madzab feminisme memiliki beberapa kesamaan, diantaranya:[14]
1)      Menjunjung hak asasi perempuan untuk terbebas dari penindasan.
2)      Member kesempatan pada wanita berbicara atas nama dirinya dan berdasarkan suaranya sendiri.
3)      Mendengarkan apa yang seharusnya oleh wanita
4)      Menghargai kontribusi wanita dll.
KESIMPULAN

Secara prinsipil dan normative Islam menghargai dan menjunjung tinggi pemberdayaan kaum perempuan. Namun dalam relaitasnya konstruksi gender yang mengakibatkan kaum perempuan didiskriminasikan. Untuk itu perlu upaya guna menegakkan keadilan gender dengan mengkontruksi hubungan gender dalam Islam secara lebih adil.
Dilihat dari teori gender yang mengkontruksi dari teori feminis antara lain ada 5 teori:
1.      Feminis liberal
2.      Feminis fundamental
3.      Feminis marxis
4.      Feminis sosialis
5.      Feminis Islam
Setiap teori feminis memiliki perspektif yang berbeda di dalam memahami hakikat ketidak adilan dan penindasan terhadap kaum wanita. Masing-masing teori memiliki pendekatan dan strategi yang beragam pula dalam menganalisis ketidakadilan gender.


DAFTAR PUSTAKA

Connolly, Peter. 2002. Aneka Pendekatan Studi Agama. trj. Imam Khoiri.
Yogyakarta: LKIS.

Shihab, Qurais. 1993. Wanita Islam Indonesia Dalam Kajian Tekstual Dan Kontekstual. Jakarta: INIS.

Suharto, Edi. Teori Feminis dan Pekerjaan Sosial, http://www.policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/YogyaFEMINISMESocialWork.pdf, diakses 2 Maret 2012

Mernissi, Fatima. 1994. Wanita di Dalam Islam. Bandung: Penerbit Pusaka.

Mufidah. 2003. Paradigma Gender. Malang: Bayumedia Publishing.

Nasution, Khoiruddin. 2009. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA.

Rachman, Fazlur. 1992. Islam. Jakarta: PT Bumi AKsara.



[1] Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam (Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009), hlm. 219
[2] Mufidah, Paradigma Gender (Malang: Bayumedia Publishing, 2003), hlm. 52
[3] Op, it, hlm. 220
[4] Muhammad Thohir, Op, it, hlm. 95
[5] Fatima Mernissi, Op, it, hlm. viii
[6] Ibid, hlm. viii
[7] Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama (Yogyakarta: LKIS, 2002), trj. Imam Khoiri, hlm. 65
[8] Ibid, hlm. 71
[9] Ibid, hlm.75
[10] Ibid, hlm. 76
[11] Op, it, hlm. 221
[12] Mansor Fakih dkk, Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), hlm. 39-45
[13] Op,It, hlm. 222
[14] Edi Suharto, Teori Feminis dan Pekerjaan Sosial, http://www.policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/YogyaFEMINISMESocialWork.pdf, diakses 2 Maret 2012

 
logoblog
Previous
« Prev Post