FILSAFAT ILMU-ILMU KEISLAMAN




General Review Mata Kuliah Filsafat Ilmu-Ilmu Keislaman

A.       Pendahuluan
Umat Islam meyakini, bahwa sumber utama pengetahuan Islam adalah Al Quran dan Hadist, landasan teologis ini sering kali membuat ilmu-ilmu keislaman terkotak-kotak sebagaimana suatu produk keilmuan yang dimasukan ke dalam kardus agar bisa dilihat mana produk ilmu buatan NU, Muhammadiyah, LDII atau lebih luas lagi keilmuan produk Indonesia, Barat, atau bahkan Arab sebagai negara pembawa misi Islam.
Pada era sekarang terdapat problem turunan mengenai epistemology studi Islam, yaitu menjadikan teks-teks suci sebagai satu-satunya sumber kebenaran yang tak bisa diganggu gugat lagi. Jika sebuah teks mengatakan A, maka aplikasinya adalah A, tidak membutuhkan dialog ataupun kritik. Sehingga, jika teks tersebut dipandang menggunakan pendekatan-pendekatan keilmuan baru semisal HAM (Hak Asasi Manusia), anthropology, sosiologi, sejarah dan keilmuan modern lainnya yang telah berkembang akan terlihat tidak sesuai.
Sementara saat ini, pergulatan manusia untuk memahami makna universalitas sebuah teks terkungkung pada ruang dan waktu. Bahkan tidak jarang, penerima pesan (manusia pada umumnya) terpenjara oleh tradisi, budaya, sosial, dan berbagai macam kepentingan subyektif lainnya. Sehingga sulit untuk mendapatkan substansi makna universal dari teks melalui interpretasi menuju standar obyektif dari Sang Pemberi pesan (Tuhan.)
Problem ini terus berlanjut pada generasi-generasi berikutnya, bahkan muncul gerakan fundamentalime Islam, termasuk di Indonesia yang memahami agama secara eksklusif. Tidak jarang dijumpai pemikiran-pemikiran Islam yang memvonis pemikiran “yang lain” adalah salah dan sesat, dan menganggap pemikirannya yang paling benar. Sehingga mereka terjebak pada tindakan “otoritarianisme interpretasi”. Namun ini adalah keos yang menjadikan perputran dunia ini menjadi seimbang, jika gerakan fundamentalis tidak muncul maka tak akan ada gerakan liberal.
Misalkan saja pemahaman tentang hadist-hadist misoginis (Fatimah Mernissi), banyak orang menafsirkan hadist tersebut dengan leterlek, sehingga pada akhirnya banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga seperti pemukulan terhadap istri, perselingkuhan dan lain sebagainya. ini tak lain disebabkan dengan otoritasan sebuah teks oleh yang menggunakan.
Maka untuk menghindari otritarianisme penafsiran teks, misalkan saja Abou El Fadl menawarkan dua pendekatan metodologis yang dapat digunakan. Pertama, kita dapat menganalisis persoalan otoritas dari sudut pandang rasional yang bersifat normatif. Dengan kata lain, kita dapat melihat otoritas Tuhan dan manusia dan keterkaitan keduanya dari perspektif yang murni bersifat rasional dan filosofis.
Pendekatan alternatif yang kedua adalah pendekatan hermeneutik, dengan pendekatan ini, misalnya dapat mengambil teks alqur’an, semata sebagai sebuah teks, menentukan apa yang kita pandang sebagai penentu makna –pengarang (author), teks (text), pembaca (reader), atau ketiganya, atau tak satupun dari ketiganya- dan terus mengembangkan sebuah teori tentang otoritas yang didasarkan pada pembacaan kita terhadap teks. Dengan melakukan pendekatan ini, kita akan mendasarkan argumentasi kita kepada ketiga unsur itu dalam teks, dan meneruskan pembacaan yang cermat terhadap teks untuk mencari konsep tentang otoritas.
Sebenarnya pemahaman semacam ini --disaat pertama kali Nabi wafat-- tidak terlepas dari corak berpikir para pemikir Islam yang bisa diidentifikasikan kaku hanya melihat suatu pandangan ilmu di suatu tempat saja. Dari sinilah pandangan Amin Abdullah menggagas tentang konsep integrasi-interkoneksi paradigma keilmuan. Konsep ini memberikan tawaran untuk merubah cara pandang yang tidak lagi normative, sehingga esensi dari teks-teks Islam bisa dirasakan keadilan dan sesuai dengan tuntutan zaman.
Adanya mata kuliah Filsafat Ilmu-ilmu Keislaman  yang diampu oleh Prof. Dr. H. Amin Abdullah, MA tidak hanya memberikan kesan mendalam bagi kami atas pemikiran-pemikiran beliau dalam merekontruksi bangunan keilmuan kami semua mahasiswa doktor, tapi kedalaman spiritual yang disampaikan melalui dialognya yang renyah membuat kami sadar akan hakikat kemanusiaan yang tidak serta merta memiliki hubungan dengan Tuhan, tapi juga manusia dan lingkungan yang lain. Kamanungsan yang memiliki karakter mulia dalam segala aspek pikiran dan perilaku sehingga memberikan pemahaman bahwa tidak ada manusia yang sempurna.
Dalam manajemen pengelolaan kelas, beliau selalu menyampaikan materi dengan sangat bijak dan percaya diri. Entah energi apa, kami selalu takjub dan terbengong dengan materi-materi yang beliau sampaikan, bahkan kadang apa yang beliau sampaikan jauh dari angan-angan kami yang biasanya memahami konteks keislaman ternyata masih sebatas kulitnya saja. Setiap kali pertemuan selalu menyuguhkan hal baru, tentang belief and meaning, pendekatan dalam pengkajian Islam, insider dan outsider menurut Kim Knott, pemikiran Jaser Auda hingga ke Sorous. Dari sini, meskipun harus berlari saat mendapatkan pencerahan dari beliau, namun kami sangat puas, karena apa yang ditawarkan beliau seperti oase dalam keringnya intelektual. Teori-teori yang disampaikan menyuguhkan problem based learning sekaligus menawarkan berbagai pendekatan dan perspektif dalam memahami problematic kemanusiaan yang dialami muslim sekarang ini.
Dalam konsentrasi kami di Kependidikan Islam, apa yang disampaikan beliau memberikan arah cara pandang berbeda yang lebih responsive dengan kehidupan sekarang. Sehingga banyak kesan yang kami dapatkan dari kuliah yang diampu oleh Prof. Amin Abdullah.

B.       Kontribusi mata Kuliah Filsafat Ilmu-Ilmu Keislaman kepada Pendidikan
Dimulai dari kegelisahan akademik kami setelah mengikuti mata kuliah ini. Diantara kegelisahan-kegelisahan tersebut adalah menyangkut penguasaan metodologi dan materi yang ditekuni dalam perkuliahan. Perkuliahan ini rasanya singkat sekali, pasalnya tema-tema yang ditawarkan seakan membuat kami larut dalam keilmuan, mulai tentang pendekatan dan metode dalam mengkaji Islam. Menurut beliau, untuk mengkaji studi Islam perlu menggunakan berbagai macam pendekatan keilmuan yang bersifat historis empiris antara lain ilmu sejarah agama, sosiologi agama, psikologi agama, antropologi agama dan pendekatan kontemporer lainnya. Dalam hal ini kita bisa lihat teori beliau tentang jarring laba-laba,
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgYwX58lNfPR1_Xsig6352EoxiuihbShE20OcjDT2iJ7xBpu4RkiZLKkJ9DAzEPpYacLmNepQa6zXGwqc2rqi3rewmqoEzmJZzdifsSCE8v1NbZFf0pIx8SyXiic9EP1nDSD-tTUUMJA7k/s1600/sentralkeilmuan.png












Gambar diatas tidak menggunakan garis tertutup, karena diantara ilmu satu dengan yang lain memiliki keterkaitan dan antara pendekatan satu dan yang lain juga memiliki hubungan yang bisa digunakan.
Dalam dunia pendidikan di Indonesia khususnya pada Perguruan tinggi Islam, rasanya sangat sulit jika harus menerapkan integrasi-interkoneksi. Salah satu penyebabnya adalah kebijakan pemerintah mengenai “linieritas keilmuan”. Sehingga mahasiswa yang mengambil satu jurusan ia akan terfokus dengan satu bidang ilmu tersebut, mau tidak mau dia akan sulit untuk mengakses keilmuan yang lain. Mahasiswa Tarbiyah mulai semester satu hingga semester akhir akan selalu menjadi mahasiswa Tarbiyah. Tidak ada kesempatan untuk masuk ke kelas Biologi, Kimia, Syariah atau yang lain.
Namun ada beberapa usaha yang nyatanya belum menghasilkan sesuatu yang dianggap signifikan. Misalkan saja, di fakultas Tarbiyah mulai diberikan mata kuliah yang berhubungan dengan ilmu Biologi, Psikologi dan ilmu-ilmu sosial yang lain  meskipun jamnya masih sangat sedikit. Seharusnya Fakultas tarbiyah memberikan peraturan agar mahasiswa bisa mengambil kuliah di fakultar yang berbeda.
Nyatanya tidak akan cukup dan sempit jika belajar hanya dalam satu “linieritas” apalagi menggunakan satu pendekatan yang tidak mampu mendialogkan antara problem-problem yang ada. Sehingga banyak masalah yang berhenti tanpa ada solusi yang jelas, apalagi tidak ada space untuk kritik.
Seorang pendidik dalam menjalankan transfer of knowledge terutama mengenai perilaku keberagamaan di Indonesia. Bagaimana seorang guru bisa menjelaskan esensi teks ketika ia tidak memahaminya. Dan untuk memahami teks, tentu dibutuhkan pendekatan dan beberapa keilmuan yang mumpuni. Sehingga keraguan-keraguan dalam agama bisa diselesaikan dengan pendekatan tersebut.
Hal ini karena mayoritas masyakarat Indonesia masih menggunakan fiqih klasik dalam berfikir. Sehingga agama menjadi kaku dan seakan-akan tak akan pernah bisa didialogkan dengan keilmuan lain. Berangkat dari pemahaman tersebut tugas yang diemaban oleh Fak. Tarbiyah sangatlah berat, karena tidak hanya cukup menciptakan sumber daya yang berakhlak baik secara perilaku namun juga memiliki integritas diniyah (tafaquh fi al din) dan loyalitas nasional.
Dalam tulisannya Amin Abdullah memberikan perhatian yang besar juga terhadap pendidikan Islam melalui kontribusi intelektualitasnya. Ia telah memberikan pencerahan atas problematic yang dihadapu masyarakat. Misalkan saja:
1)         Integrasi epistemology keilmuan umum dan agama dala sistem sekolah dan madrasah.
2)         Pengembangan pendidikan non formal berbasis kehidupan beragama
3)         Pendidikan karakter; mengasak kepekaan hati nurani
4)         Nilai-nilai perennial agama untuk masyarakat dan pemerintah bebas korupsi; timbal balik antara teori dan praktek
5)         Agama dan pembentukan kepribadian bangsa di Indonesia
6)         Usaha memahami kemiskinan secara multidimensional ditinjau dari agama
7)         Pesan Islam untuk perdamaian dan anti kekerasan
8)         Mempertautkan ‘ulum al Din, al Fikr al Islamiy dan Dirasat Islamiyyah; sumbangan keilmuan Islam untuk peradaban global.
9)         Hak kebebasan beragama dan berkeyakinan; pendekatan Filsafat sistem dalam usul Fikih Sosial.
Akan tetapi, sebenarnya tidak selalu agama itu bisa di kritik. Agama memiliki dua aspek, yaitu historis dan normative. Agama dipandang secara historis akan dapat dikritik dari segi banyak hal, tapi agama secara normative itu tak akan bisa dikritik karena itu berkaitan dengan faith dan beliefe.
Berbagai tawaran pendekatan, teori dan tipologi pemikiran dalam studi Islam berasal dari para sarjana dan tokoh intelektual Muslim maupun non muslim. Implikasinya dan konsekuensinya ternyata dapat menjadikan Islam sebagai agama yang mampu berdialog dengan berbagai persoalan keislaman kontemporer tanpa meninggalkan sumber primernya yaitu Al-Quran.
Meskipun persoalan tentang penafsiran pesan Tuhan yang dilakukan oleh para ahli agama Islam (ulama) menampilkan varian kompleks yang mengerucut pada ambiguitas sikap para ulama tentang pemegang otoritas yang berusaha menangkap pesan Tuhan. Kondisi semacam ini terjadi pada hampir seluruh bidang keilmuan yang berkembang di dunia Islam. Dan salah satu bidang kajian yang paling menonjol dalam menampilkan ambiguitas tersebut adalah perdebatan dalam penetapan hukum Islam yang tidak pernah menemukan titik temu yang bisa memuaskan.

C.       Agenda Selanjutnya
Sudah saatnya kita berubah, dimulai dari diri sendiri dan instansi-instansi terutama yang menanguni pendidikan. Linieritas mungkin bagus dalam satu sisi, tapi tetap tidak meninggalkan hubungan dengan keilmuan yang lain. Selain itu, kita diharuskan membaca literature-literatur yang memiliki kualitas primer serta bahan-bahan pendukung yang relevan. Sebab ilmu tidak akan memiliki batas kapan harus berhenti. Untuk menebarkan rahmatallilalamin sudah sewajarnya kita tidak memandang agama sebagai kenormativan dengan harga mati, sehingga kita menjadi penganut Islam yang ortodoks. Sudah saatnya pula kita membuka diri dengan pengetahuan-pengetahuan yang kontemporer, menggunakan berbagai pendekatan dan metode ilmiah di dalam memahami agama dan permasalahan yang berhubungan dengan sosial.

logoblog
Previous
« Prev Post