Sejarah Islam Indonesia: Kerajaan Mataram

Kerajaan Mataram Islam

Oleh:
Arina irsyadah, Nadiyatul Khoiriyah, Mutia Ika Purbandari, Zahrotus Syarifah
Fakultas Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam
Institut Ilmu Al-Qur`an An-Nur Yogyakarta

 


Kerajaan Mataram Islam merupakan salah satu kerajaan Islam terbersar yang ada ditanah air khususnya di pulau Jawa. Kerajaan Mataram adalah kerajaan Islam terbesar di Jawa yang hingga kini masih mampu bertahan melewati masa-masa berakhirnya kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia, walaupun dalam wujud yang berbeda dengan terbaginya kerajaan ini menjadi empat pemerintahan swa-praja, yaitu Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Puro Mangkunegaran dan Puro Pakualaman. Sebelumnya memang ada kerajaan-kerajaan Islam di Jawa (Tengah) yang lain yang mendahului, seperti Demak dan Pajang. Namun sejak runtuhnya dua kerajaan itu, Mataramlah yang hingga puluhan tahun tetap eksis dan memiliki banyak kisah dan mitos yang selalu menyertai perkembangannya. Paling tidak Mataram berkembang dengan diringi oleh mitos perebutan kekuasaan yang panjang. Karena itu informasi tentang kerajaan mataram islam tidak begitu sulit kita dapat karena himgga saat ini kerajaan tersebut masih eksis di tanah Jawa walaupun dengan konteks yang berbeda.

 



Letak Strategis Kerajaan Mataram Islam

Kerajaan Mataram berdiri pada tahun 1582. pusat kerajaan ini terletak di sebelah tenggara kota Yogyakarta, yakni di Kotagede. Para raja yang pernah memerintah di Kerajaan Mataram yaitu penembahan Senopati (1584 – 1601), panembahan Seda Krapyak (1601 – 1677). Lahirnya Mataram Islam berkaitan dengan perkembangan kerajaan Pajang. Sebelum menjadi raja Pajang dengan gelar Sutan Hadiwijaya (1546-1586), Joko Tingkir atau Mas Karebet harus berperang melawan Adipati Jipang yang bernama Arya Penangsang. Joko Tingkir dapat mengalahkan Arya Penangsang berkat bantuan Danang Sataujaya. Namun, kemenangan itu terjadi karena strategi bagus yang diberikan oleh ayah Danang Sataujaya (yaitu Ki Ageng Pemanahan) dan tokoh lainnya yang  bernama Penjawi. Oleh karena itu, Sutan Hadiwijaya memberi hadiah tanah Mentaok (sekitar Kota Gede Yogyakarta) kepada Ki Ageng Pemanahan. Kemudian, Ki Ageng Pemanahan membangun Mentaok menjadi sebuah Kadipaten yang berada di bawah kekuasaan Pajang. Danang Sataujaya (putra Ki Ageng Pemanahan) menjadikan Kadipaten yang dibangun ayahnya itu menjadi sebuah kerajaan baru yang bernama Mataram Islam. Saat itu, setelah Sutan Hadiwijaya wafat, Pajang merosot. Danang menjadi raja pertama Mataram dengan gelar Panembahan Senopati (1584-1601). Selama masa kepemimpinanya, semua daerah di Jawa bagian tengah dan timur (kecuali Blambangan) berhasil ia taklukkan.

 
Kehidupan Politik Kerajaan Mataram Islam


Dalam sistem politik di kerajaan Mataram periode Senopati hingga Susuhunan Amangkurat I mengalami turun-naik secara drastis. Periode Raden Mas Jolang kemudian dengan anaknya Raden Mas Rangsang. Kemudian Susuhunan Amangkurat I bertolak belakang dengan apa yang telah ditempuh pendahulunya.

Untuk sistem politik yang sifatnya intern, terutama menyangkut konsolidasi tata pemerintahan, seperti sistem birokrasi, sistem penggantian raja, masing-maasing mereka hampir tidak mengalami perbedaan, akan tetapi dalam hal penguasaaan wilayah, kadang-kadang mengalami naik-turun. Seperti pada masa Panembahan Senopati, ia mampu mengangkat martabat Mataram ke strata yang lebih tinggi, yakni menjadikan Mataram berdiri sendiri (yang semula merupakan daerah bawahan Kerajaan Pajang). Ketika kendali pimpinan beralaih ke tangan susuhunan amangkurat 1 martabat mataram menjadi merosot kembali, wilayah kekuasaan mulai menciut karena hubungannya dengan kolonial Belanda.

Keabsahan kedudukan dan kekuasaan raja mataram, diperoleh karena warisan. Secara tradisional pengganti raja-raja ditetapkan putra laki-laki dari istri selir pun biasa dinobatkan sebagai pengganti raja. Apabila dari keduanya tidak mendapatkan anak laki-laki, maka.paman atau saudara laki-laki tua dari ayahnya bisa menjadi pengganti.

Mengenai sistem politik eksternalnya, diantara penguasa Mataram bisa ditemui perbedaan yang mencolok dalam menerapkan sistem untuk menghadapi penetrasi barat. Ada yang menempuh sikap kompromistis dan ada pula yang anti pati sama sekali. Pada masa panembahan senopati, usaha tersebut memang belum ditemui. Hal ini disebabkan walaupun saat itu orang-orang Eropa sudah berada di Nusantara, konsentrasi politik sedang dicurahkan untuk konsolidasi dan penguasaan kerajaan-kerajaan disekitarnya. Sedangkan pada masa Raden Mas Jolang, kehadiran belanda diterima dengan baik diakhir kekuasaannya. Beda hal dengan penguasa Mataram berikutnya, Sultan Agung, beliau termasuk penguasa yang antipatis pada kompeni. Berbagai usaha telah dikerahkan untuk mengusik keberadaan dan membendung penetrasinya yang kian kuat di bumi Nusantara. Dua kali sesudah ekspansinya, pasukan militer, ia kirimkan ke Batavia untuk memukul mundur VOC, masing-masing pada tahun 1628 dan 1629 walaupun pada akhirnya memperoleh kegagalan


Kemajuan-Kemajuan Kerajaan Mataram Islam


 

  • Bidang Ekonomi
    Kemajuan dalam bidang ekonomi meliputi hal-hal berikut ini: Sebagai negara agraris, Mataram mampu meningkatkan produksi beras dengan memanfaatkan beberapa sungai di Jawa sebagai irigasi. Mataram juga mengadakan pemindahan penduduk (transmigrasi) dari daerah yang kering ke daerah yang subur dengan irigasi yang baik. Dengan usaha tersebut, Mataram banyak mengekspor beras ke Malaka. Penyatuan kerajaan-kerajaan Islam di pesisir Jawa tidak hanya menambah kekuatan politik, tetapi juga kekuatan ekonomi. Dengan demikian ekonomi Mataram tidak semata-mata tergantung ekonomi agraris, tetapi juga karena pelayaran dan perdagangan.
     
  • Bidang Sosial Budaya
    Kemajuan dalam bidang sosial budaya meliputi hal-hal berikut:
    1. Timbulnya kebudayaan kejawen, unsur ini merupakan akulturasi dan asimilasi antara kebudayaan asli Jawa dengan Islam. Misalnya upacara Grebeg yang semula merupakan pemujaan roh nenek moyang. Kemudian, dilakukan dengan doa-doa agama Islam. Saampai kini, di jawa kita kenal sebagai Grebeg Syawal, Grebeg Maulud dan sebagainya. 
    2. Perhitungan Tarikh Jawa, Sultan Agung berhasil menyusun tarikh Jawa. Sebelum tahun 1633 M, Mataram menggunakan tarikh Hindu yang didasarkan peredaran matahari (tarikh syamsiyah). Sejak tahun 1633 M (1555 Hindu), tarikh Hindu diubah ke tarikh Islam berdasarkan peredaran bulan (tarikh komariah). Caranya, tahun 1555 diteruskan tetapi dengan perhitungan baru berdasarkan tarikh komariah. Tahun perhitungan Sultan Agung ini kemudian dikenal sebagai “tahun Jawa”. 
    3. Berkembangnya Kesusastraan Jawa, Pada zaman kejayaan Sultan Agung, ilmu pengetahuan dan seni berkembang pesat, termasuk di dalamnya kesusastraan Jawa. Sultan Agung sendiri mengarang kitab yang berjudul Sastra Gending yang merupakan kitab filsafat kehidupan dan kenegaraan. Kitab-kitab yang lain adalah Nitisruti, Nitisastra, dan Astrabata. Kitab-kitab ini berisi tentang ajaran-ajaran budi pekerti yang baik.

      Pengaruh Mataram mulai memudar setelah Sultan Agung meninggal pada tahun 1645 M. Selanjutnya, Mataram pecah menjadi dua, sebagaimana isi Perjanian Giyanti (1755) berikut:

      1. Mataram Timur yang dikenal Kesunanan Surakarta di bawah kekuasaan Paku Buwono III dengan pusat pemerintahan di Surakarta. 
      2. Mataram Barat yang dikenal dengan Kesultanan Yogyakarta di bawah kekuasaan Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I dengan pusat pemerintahannya di Yogyakarta.

      Perkembangan berikutnya, Kesunanan Surakarta pecah menjadi dua yaitu Kesunanan dan Mangkunegaran (Perjanjian Salatiga 1757). Kesultanan Yogyakarta juga terbagi atas Kesultanan dan Paku Alaman. Perpecahan ini terjadi karena campur tangan Belanda dalam usahanya memperlemah kekuatan Mataram, sehingga mudah untuk di kuasai.
      Sultan Agung meninggal pada Februari 1646. ia dimakamkan di puncak Bukit Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Selanjutnya, Mataram diperintah oleh putranya, Sunan Tegalwangi, dengan gelar Amangkurat I (1646-1677). Dalam masa pemerintahan Amangkurat I, kerajaan mataram mulai mundur. Wilayah kekuasaan mataram berangsur-angsur menyempit karena direbut oleh kompeni VOC. Yang paling mengenaskan, pada tahun 1675, Rade Trunajaya dari Madura memberontak. Pemberontakannya demikian tak terbendung, sampai-sampai Trunajaya berhasil menguasai keraton Mataram yang waktu itu teletak di Plered. Amangkurat terlunta-lunta mengungsi, dan akhirnya meninggal di Tegal.

      Sepeninggal Amangkurat I, Mataram dipegang oleh Amangkurat II yang menurunkan Dinasti Paku Buwana di Solo dan Hamengku Buwana di Yogyakarta. Amangkurat II meminta bantuan VOC untuk memadamkan pemberontakan Trunajaya. Setelah berakhirnya Perang Giyanti (1755), wilayah kekuasaan mataram semakin terpecah belah. Berdasarkan perjanjian giyanti, mataram dipecah menjadi dua, yakni mataram sukrakarta dan mataram yogyakarta. Pada tahun 1757 dan 1813, perpecahan terjadi lagi dengan munculnya Mangkunegara dan pakualaman. Di masa pemerintahan Hindia Belanda, keempat pecahan kerajaan mataram ini disebut sebagai vorstenlanden. Saat ini, keempat pecahan Kesultanan Mataram tersebut masih melanjutkan dinasti masing-masing. Bahkan peran dan pengaruh pecahan mataram tersebut, terutama kesultanan Yogyakarta masih cukup besar dan diakui masyarakat.


  • Bidang Politik
    Kemajuan politik yang dicapai Sultan Agung adalah menyatukan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa dan menyerang Belanda di Batavia.

    1. Penyatuan kerajaan-kerajaan Islam
      Sultan Agung berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Usaha ini dimulai dengan menguasai Gresik,Jaratan, Pamekasan, Sumenep, Sampang, Pasuruhan, kemudian Surabaya. Salah satu usahanya mempersatukan kerajaan Islam di Pulau Jawa ini ada yang dilakukan dengan ikatan perkawinan. Sultan Agung mengambil menantu Bupati Surabaya Pangeran Pekik dijodohkan dengan putrinya yaitu Ratu Wandansari.
       
    2. Anti penjajah Belanda
      Sultan Agung adalah raja yang sangat benci terhadap penjajah Belanda. Hal ini terbukti dengan dua kali menyerang Belanda ke Batavia, yaitu yang pertama tahun 1628 dan yang kedua tahun 1629. Kedua penyerangan ini mengalami kegagalan. Adapun penyebab kegagalannya, antara lain:

      • Jarak yang terlalu jauh berakibat mengurangi ketahanan prajurit mataram. Mereka harus menempuh jalan kaki selama satu bulan dengan medan yang sangat sulit. 
      • Kekurangan dukungan logistik menyebabkan pertahanan prajurit Mataram di Batavia menjadi lemah. 
      • Kalah dalam sistem persenjataan dengan senjataa yang dimiliki kompeni Belanda yang serba modern
      •  Banyak prajurit Mataram yang terjangkit penyakit dan meninggal, sehingga semakin memperlemah kekuatan
      • Portugis bersedia membantu Mataram dengan menyerang Batavia lewat laut, sedangkan Mataram lewat darat. Ternyata Portugis mengingkari. Akhirnya Mataram dalam menghadapai Belanda tanpa bantuan Portugis
      •  Kesalahan politik Sultan Agung yang tidak menadakan kerja sama dengan Banten dalam menyerang Belanda. Waktu itu mereka saling bersaing
      •  Sistem koordinasi yang kurang kompak antara angkatan laut dengan angkatan darat. Ternyata angkatan laut mengadakan penyerangan lebih awalm sehingga rencana penyerangan Mataram ini diketahui Belanda
      •  Akibat penghianatan oleh salah seorang pribumi, sehingga rencana penyerangan ini diketahui Belanda sebelumnya.

Runtuhnya Kerajaan Mataram Islam

Kerajaan Mataram Islam runtuh akibat adanya campur tangan VOC sejak zaman pemerintahan Sunan Amangkurat 1 (Sultan Amangkurat Senapati ing Alaga Ngabdur Rahman Sayidin Panatagama) yang meliputi hal politik untuk melawan Trunajaya.

Akibatnya muncul pemberontakan Trunajaya (Madura) yang dibantu oleh Pangeran Kajoran dan para pejabat dan masyarakat yang sudah sangat tertekan. Tanggal 28 Juni 1677 Trunajaya berhasil merebut istana Plered. Amangkurat I dan Mas Rahmat melarikan diri ke barat. Istana Plered berhasil direbut kembali oleh Pangeran Puger (Kanjeng Susuhunan ing Alaga Ngabdur Rahman Sayidin Panata Gama) yang menyerang dari Jenar. Babad Tanah Jawi menyatakan, dengan jatuhnya istana Plered menandai berakhirnya Kesultanan Mataram. Sepeninggal Amangkurat I dia digantikan oleh Amangkurat II (Amangkurat Amral), sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang tidak puas dan pemberontakan terus terjadi. Pada masanya, kraton dipindahkan lagi ke Kartasura (1680).

Setelah Amangkurat II meninggal diganti Amangkurat III, tetapi VOC tidak senang dengan Amangkurat III karena dia menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I sebagai raja, akibatnya Mataram memiliki dua raja dan inilah yang menjadikan perpecahan Internal, Amangkurat III akhirnya memberontak tapi akhirnya kalah dan ditangkap di Batavia lalu diasingkan di Ceylon, Srilanka dan meninggal tahun 1734.

Kekacauan politik dari masa kemasa akhirnya dapat terselesaikan pada masa Pakubuana III  setelah wilayah Mataram dibagi menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Suarakarta  tanggal 13 Februari 1755, pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti , perjanjian Giyanti adalah kesepakatan yang dibuat oleh pihak VOC, pihak Mataram( diwakili oleh Pakubuwana III) dan kelompok pangeran Mangkubumi. Nama Giyanti diambil dari lokasi penjanjian tersebut ( ejaan Belanda, sekarang tempat itu berlokasi didukuh Kerten , Desa Jantiharjo) ditenggara kota Karanganyar, Jawa Tengah, perjanjian ini menandai berakhirnya kerajaan Mataram yang sepenuhnya independen.

Berdasarkan perjanjian ini wilayah Mataram terbagi menjadi dua, wilayah disebelah timur kali Opak dikuasai oleh pewaris tahta Mataram yaitu Sunan Pakubuwana III dan tetap berkedudukan di Surakarta, sementara wilayah disebelah barat diserahkan kepada  Pangeran Mangkubumi sekaligus ia diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwono I yang berkedudukan di Yogyakarta.

Perpecahan terjadi lagi dengan munculnya Mangkunegara ( R.M Said) yang terlepas dari kesunanan Surakarta dan Pakualaman ( P. Nata Kusuma) , dan keempat pecahan Mataram Kesultanan Mataram tersebut masih melanjutkan dinasti masing – masing , bahkan pecahan Mataram tersebut terutama kesultanan Yogyakarta masih cukup besar dan diakui masyarakat hingga sekarang.

 
Kesimpulan


Mataram merupakan sebuah kerajaan Islam yang letaknya berada di pedalaman. Mataram pada mulanya merupakan sebuah hutan di wilayah kerajaan Pajang. Mataram diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan atas jasanya dalam pembunuhan Sunan Prawoto. Oleh Ki Ageng Pemanahan, mataram dibangun menjadi sebuah Kadipaten.
Oleh Sutawijaya, Mataram dibangun menjadi sebuah kerajaan yang besar. Menggantikan kerajaan Pajang yang berhasil dikalahkan. Sutawijaya bergelar penembahan Senopati ing Alaga. Senopati berhasil meluaskan wilayah Mataram hingga hampir seluruh Jawa.
Sultan Agung mempersiapkan pasukan, persenjataan, dan armada laut serta penggemblengan fisik dan mental. Usaha Sultan Agung akhirnya berhasil pada tahun 1625 M. Kerajaan Mataram berhasil menguasai seluruh Jawa, kecuali Banten, Batavia, Cirebon, dan Blambangan. Untuk menguasai seluruh Jawa, Sultan Agung mencoba merebut Batavia dari tangan Belanda. Namun usaha Sultan selama dua kali untuk mengempung Batavia mengalami kegagalan.
Mataram runtuh akibat adanya pengaruh VOC sejak zaman pemerintahan Amangkurat 1. Serta adanya dualisme kepemimpinan dalam Mataram sejak diangkatnya Pakubuana 1. Sehingga Mataram memiliki dua raja.
Oleh karena itu, pada perjanjian Giyanti, Mataram dibagi menjadi dua wilayah yaituKesultanan Ngayogyakarta dan Kasunan Surakarta.
Berdasarkan perjanjian Giyanti wilayah Mataram terbagi menjadi dua, wilayah disebelah timur kali Opak dikuasai oleh pewaris tahta Mataram yaitu Sunan Pakubuwana III dan tetap berkedudukan di Surakarta, sementara wilayah disebelah barat diserahkan kepada  Pangeran Mangkubumi sekaligus ia diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwono I yang berkedudukan di Yogyakarta


 

Terkait:
Napak Tilas Raja Mataram https://arieslailiyah.blogspot.com/2019/05/makam-raja-mataram-napak-tilas-mataram.html

logoblog
Previous
« Prev Post